Lion Air

eQuator – Senin pagi (23/11) saya terbang ke Surabaya dari Bandara Sepinggan Balikpapan, naik Lion Air JT-361. On time. Di boarding pass ditulis boarding time jam 08.45 wite. Saya lihat jam di mobile phone saya, yang statusnya “mode pesawat mati” ketika saya sudah duduk di dalam pesawat, jam 09.15 sudah ada pengumuman pintu pesawat segera ditutup. Pesawat akan segera berangkat.

Sebelumnya, Kamis pagi lalu (19/11) saya juga naik pesawat Lion JT-361, yang jadwalnya terbang jam 09.15. juga on time. Jam 09.15 pesawat sudah tutup pintu dan langsung ke landasan pacu. Selesai membereskan pekerjaan di kantor pusat Jawa Pos di Surabaya, Sabtu pagi 21 November, saya balik lagi ke Balikpapan naik Lion Air JT-362.

Senin kemarin saya kembali lagi ke Surabaya karena ada janji bertemu dengan bigbos saya, Dahlan Iskan, membicarakan rencana membangun pembangkit listrik di Papua. Selain melaporkan pekerjaan rutin saya; mengunjungi koran-koran dalam jaringan Jawa Pos Grup yang terbit di Bumi Papua.

Selasa malam nanti saya melanjutkan perjalanan ke Biak, terlebih dahulu transit di Makassar, naik Garuda. Setelah menginap semalam di Biak, Kamis 26 November saya melanjutkan perjalanan ke Sorong, dan Sabtu 28 November kembali lagi ke pangkalan di Balikpapan naik Sriwijaya Air.

Ke Papua kali ini saya disertai tiga pengusaha asal Balikpapan, yakni Achmad Asfia, Johnny Santoso dan Velly Ongkowijoyo. Mereka tertarik melihat-lihat Papua, siapa tahu ada peluang usaha di sana. Tentu saya ikut senang jika mereka mengembangkan usaha ke Papua.

Setiap bulan saya rutin mengunjungi banyak kota di Indonesia, untuk menengok koran-koran dalam jaringan Jawa Pos Grup, yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Karena itu saya termasuk yang mendapatkan berkah adanya Lion Air, karena punya banyak alternatif untuk terbang. Lion Air memiliki rute paling banyak untuk penerbangan domestik.

Saya sendiri pemegang kartu platinum GarudaMiles. Itu artinya sudah beberapa tahun, setiap tahun saya terbang bersama Garuda sedikitnya 60 kali. Tetapi saya juga sering terbang bersama Lion Air, dan anak perusahaannya Wings Air yang pesawatnya berbaling-baling itu.

Dengan Wings Air saya sudah terbang dari kota Luwuk ke kota Palu di Sulawesi Tengah. Dari Bali ke Waingapu di Nusa Tenggara Timur, dari Surabaya ke Lombok di Nusa Tenggara Barat, dari Manado ke Sorong di Papua, dan beberapa tempat lagi yang terpanjang jika saya sebutkan semuanya.

Sering kali saya terbang ke banyak tempat di Indonesia itu, naik Wings maupun Lion, nyaris tidak pernah delay. Kalau pun pernah merasakan delay, biasanya ketika terbang dari Jakarta ke Balikpapan. Itupun selalu mendapatkan informasi pemberitahuan terlebih dahulu lewat short message system (SMS). Kadang saya malah diuntungkan karena diubah naik Batik Air, penerbangan full service, milik Lion Grup.

Saya menilai upaya Lion Air Grup untuk memberikan layanan sebaik-baiknya sudah dilakukan. Bisa jadi, saya termasuk yang beruntung hanya sesekali merasakan delay-nya Lion Air. Tetapi saya sangat bersyukur dengan keberadaan Lion Air yang terus tumbuh dan berkembang, karena menjadi lebih mudah mengurus pekerjaan yang tersebar di banyak kota di Indonesia.

Delay di Jakarta sangat sulit dihindari karena infrastruktur yang sangat terbatas. Untuk take off, maupun landing, di Jakarta sering kali saya hitung harus menunggu sampai 15 menit, bahkan lebih, karena padatnya penerbangan. Sementara landasan pacunya cuma ada dua, dan harus digunakan bergantian oleh banyak pesawat. Tentu delay di Jakarta itu hanya pemerintah yang bisa mengatasinya, sebab Bandaranya milik pemerintah.

Soal desahan dari ruang pilot, atau bahkan ada menawarkan pramugari yang janda, saya meragukannya. Pilot tergolong manusia ber-IQ cukup tinggi, tentu tidak akan melakukan hal-hal konyol seperti.

Lion Grup disebut sering delay, tetapi faktanya pesawat-pesawat Lion masih menjadi pilihan banyak orang untuk terbang. Hukum pasar yang berlaku adalah jika kita buruk melayani konsumen, kita akan ditinggalkan. Tapi faktanya Lion belum ditinggalkan oleh konsumennya.

Masih ada beberapa pilihan untuk terbang selain dengan Lion. Ada Garuda dan anaknya, Citilink. Ada Sriwijaya. Ada juga monster dari negeri jiran Malaysia, Air Asia, yang sudah memiliki banyak rute di negeri kita.

Saya yakin Lion menyadari persaingan di bisnis penerbangan tidak bisa dianggap enteng. Karena itu saya yakin Lion tidak akan dengan sengaja melakukan delay terhadap penerbangannya. Sebab resikonya sangat tidak menguntungkan mereka.

Sampai saat ini Lion tampaknya belum dihukum pasar. Boleh jadi karena Lion menjadi pilihan utama, karena memiliki pesawat paling banyak dan rute paling banyak. Bisa juga karena harga tiketnya paling murah, sementara pesawatnya semuanya baru.

Nah, dalam situasi seperti itu sebaiknya pemerintah tidak perlulah ikutan menghukum Lion. Yang diperlukan adalah justru membinanya, serta melayaninya dengan layanan terbaik, agar bisa memuaskan pengguna jasanya.

Sebab faktanya, jika ada jalur Lion yang dibekukan, atau tidak dilayani permohonannya membuka rute baru, maka yang dirugikan konsumen juga. Jika jumlah penerbangan dibatasi, yang biasa terjadi adalah hukum permintaan dan penawaran. Setiap kali permintaan meningkat dan penawaran terbatas, maka harga langsung bergerak naik. Tentu yang dirugikan adalah konsumen juga. (Penulis adalah Direktur Jawa Pos *)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.