Letupan Rio

AZRUL ANANDA - CEO Jawa Pos Group

Istilah ’’mencatat sejarah’’ sangatlah tidak cukup untuk menyebut betapa istimewanya Rio Haryanto seandainya dia benar-benar masuk Formula 1.

Dalam lubuk hati yang paling dalam, saya sering sedih ketika ada yang menggunakan istilah-istilah berikut ini:

’’Event ini sangat baik untuk menemukan bibit-bibit olahraga masa depan Indonesia.’’

’’Event ini sangat baik untuk masa depan generasi muda Indonesia.’’

Karena selama bertahun-tahun, mungkin sudah belasan atau puluhan tahun, kalimat-kalimat seperti itu sangat sering disampaikan oleh orang-orang yang mengaku peduli, mengaku cinta, kepada olahraga tertentu.

Pada akhirnya, toh selama belasan tahun –mungkin puluhan tahun– tidak ada satu pun cabang olahraga yang memiliki sustainability atau konsistensi. Baik itu dalam menyelenggarakan kompetisi, meningkatkan partisipasi, apalagi meraih prestasi.

Kalaupun ada prestasi, biasanya berdasar ’’letupan-letupan’’ kecil. Atlet hebat tidak sengaja ditemukan, bukan dibina atau dikembangkan.

Selama puluhan tahun, ada begitu banyak orang yang mengaku cinta pada dunia olahraga, dan mengaku cinta pada induk organisasi olahraganya. Kenyataannya: Hidup, partisipasi, dan prestasi tidak bisa diraih hanya dengan pernyataan cinta.

Mereka yang cinta itu ternyata malah banyak yang bergantung pada orang lain, mengemis kepada orang lain. Mereka yang cinta itu kadang malah tidak punya manajemen atau organizational skill untuk membuktikan cintanya. Pokoknya cinta.

Dan kadang yang cinta itu begitu buta matanya. Sehingga membuat banyak orang mumpuni malah memilih minggir. Karena takut ketularan penyakit cinta buta, atau malas menghadapi orang yang tidak ingin membagi cintanya dengan olahraga tersebut.

Mungkin karena terlalu cinta, akhirnya olahraga kita sangat jarang menghasilkan atlet kelas dunia. Penduduk lebih dari 250 juta, tapi tidak mampu banyak bersaing di kancah dunia.

Sebagai perbandingan: Australia hanya punya sekitar 20 juta penduduk. Tapi, peringkat perolehan medali Olimpiade-nya tidak jauh dari lima besar.

Waktu mengunjungi Australia Institute of Sports di Canberra beberapa tahun lalu, saya sempat kagum dengan ucapan salah satu pelatih di sana (cabang olahraganya tidak mau saya sebut).

Dia menekankan pentingnya kekuatan pembinaan fundamental. Bahwa semua atlet sejak dini sudah harus dimatangkan fundamentalnya. Harus dimaksimalkan potensialnya.

Mereka tidak bisa seperti negara-negara berpenduduk banyak seperti Amerika atau Tiongkok. Di mana atlet bisa digantikan dengan mudah karena pilihannya jauh lebih banyak (istilah kasarnya gagal langsung buang).

Di Indonesia, yang mungkin memiliki cinta lebih dalam pada olahraga-olahraga tersebut, akhirnya muncul lebih banyak pengamat dan komentatornya.

Dan lagi-lagi, penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta hanya berfungsi sebagai penggembira, sebagai penyorak. Menjadi ’’pasar’’ bagi ajang-ajang di negara lain.

Setiap rupiah yang kita keluarkan untuk membeli jersey sepak bola Liga Inggris, bisa membantu perkembangan olahraga di sana. Setiap rupiah yang kita keluarkan untuk sepatu basket impor, bisa membantu perkembangan basket di Negeri Paman Sam.

Terus terang, saya menertawakan diri sendiri lewat tulisan ini.

Saya dulu kolektor sepatu basket. Saya punya banyak jersey asli olahraga, baik itu sepak bola, basket, dan lain sebagainya. Saya juga pernah sepuluh tahun jadi ’’pengamat’’ dan komentator F1/balap di beberapa stasiun televisi Indonesia.

Saya juga pernah bermimpi jadi atlet, pernah tergabung di klub bulu tangkis Djarum selama tiga tahun (terganjal sekolah). Pernah juga main-main go-kart (terganjal dana dan kuliah).

Meski demikian, saya berusaha untuk tidak sekadar bilang cinta. Ada lah satu dua event olahraga yang saya pegang yang berhasil. Dan saya selalu berusaha untuk konsisten. Terserah orang mau mengakuinya atau tidak.

Kembali ke Indonesia di kancah internasional. Jangankan tingkat dunia, tingkat Asia Tenggara saja kita masih pas-pasan. Kita mungkin harus belajar lebih dari sekadar mencintai untuk bisa meraih hasil yang lebih tinggi dan konsisten.

Sekali lagi, kita selalu menunggu ’’letupan-letupan’’ kecil yang bisa melonjakkan kiprah Indonesia di ajang olahraga dunia. Tahun ini, sepertinya ada satu lagi ’’letupan’’.

Namanya Rio Haryanto. Di ambang menjadi pembalap Indonesia pertama yang berlaga di ajang balap mobil paling bergengsi di dunia: Formula 1.

Jujur, saya tidak kenal baik dengan Rio maupun keluarganya. Ketika saya pensiun jadi komentator F1 tahun 2010, dan tidak lagi rutin meliput langsung balapan ke luar negeri, Rio masih kecil, belum mencuat ke permukaan.

Jadi, saya tidak akan mengaku sok kenal dan sok tahu soal Rio. Sebagai penggemar berat F1 (saya hati-hati untuk tidak bilang ’’Cinta F1’’), saya tentu luar biasa senang akhirnya akan ada pembalap Indonesia yang berlaga.

Dan kalau Rio benar-benar masuk, ini sangat beda dengan ketika Malaysia kali pertama punya pembalap F1 pada 2002 lalu. Rio telah menunjukkan kemampuan kelas dunia, bisa memenangi lomba di level GP2 (tertinggi setelah F1).

Memang, akan butuh dana tidak sedikit untuk ’’membelikan’’ Rio kesempatan masuk F1. Tapi, dia benar-benar pantas menjadi satu di antara 22 pembalap yang berlaga di F1 2016.

Ingat. Michael Schumacher pada 2001 juga membeli lomba pertamanya bersama Tim Jordan-Ford. Niki Lauda pada zaman baheula juga membeli kesempatan berlombanya.

Dan ini ’’letupan’’ yang benar-benar global.

Walau mungkin tidak lagi pada zaman emas, F1 tetap menjadi salah satu arena paling ditonton di dunia. Setiap lombanya ditayangkan di sekitar 200 negara, dengan jumlah pemirsa miliaran.

Hanya Olimpiade (setiap empat tahun sekali), dan Piala Dunia (juga empat tahun sekali) yang punya jumlah pemirsa melebihi F1. Berapa pun mahalnya tiket Rio masuk F1, itu bisa tidak sebanding dengan nilai exposure yang didapatkan.

Dan sekali lagi, ini cabang yang benar-benar global. Tidak bermaksud menyinggung, tapi sehebat apa pun kita di arena bulu tangkis, exposure-nya tidak akan sama dengan F1 (ingat, saya juga pemain dan penggemar bulu tangkis).

Saya menyadari betapa besarnya pengorbanan yang sudah dilakukan keluarga Rio untuk bisa mencapai ke titik sekarang ini. Betapa beratnya perjuangan keluarga dan manajemen Rio untuk melakukan ’’The Final Push’’, mendorongnya masuk ke ajang tertinggi.

Rio, mungkin, adalah kesempatan terakhir Indonesia untuk punya pembalap di ajang balap tertinggi. Kita semua harus mengakui betapa sulitnya mencapai apa yang telah dicapai Rio. Kemampuan finansial saja tidak cukup tanpa talenta yang real. Dan untuk mencapai ajang tertinggi, apa pun itu, talenta tetap banyak berbicara.

Indonesia ini termasuk kontributor besar industri motor, yang kemudian menyokong arena MotoGP. Tapi, tanda-tanda bakal ada pembalap Indonesia di arena itu juga sulit bukan?

Ironisnya, kalau ternyata Rio nanti benar-benar sukses di F1, dia justru membantu membuka jalan bagi yang lain untuk mengikuti langkahnya. Jadi yang pertama memang berat luar biasa… (*)