Wilayah pesisir Mempawah sempat berada di ambang kehancuran. Lantaran rusaknya ekosistem hutan mangrove. Oleh aktivitas manusia. Kini, penggiat lingkungan hidup terus berupaya memperbaikinya.
Ari Sandy, Rizka Nanda, Mempawah
eQuator.co.id – Mempawah memang memiliki luasan kawasan mangrove yang sangat besar. Mencapai 1.521,39 hektare. Tuntutan ekonomi melatarbelakangi masyarakat melakukan penebangan pohon mangrove. Yang jamak disebut sebagai pohon bakau itu. Eksploitasi kayu mangrove ini tak lagi memikirkan fungsi ekologis hutan.
Pendiri Mempawah Mangrove Conservation (MMC), Raja Fajar Azansyah, menjelaskan upaya konservasi terus dilakukan untuk memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan wilayah pesisir yang rusak itu. Ini merupakan komitmen dan program kerja MMC, yang menggelar Mempawah Mangrove Festival 2018.
“Bertujuan mensosialisasikan kepada masyarakat di daerah sekitar pesisir untuk menanam pohon mangrove di sekitar pantai, guna membentengi bibir pantai dari abrasi ketika pasang tinggi, serta melindungi biota laut yang hidup di bawah pohon mangrove, serta menyumbang oksigen untuk kehidupan di bumi,” tuturnya.
Mempawah Mangrove Festival 2018 itu meriah. Sukses. Baru saja usai pada 28 Agustus 2018.
Dipusatkan di Mempawah Mangrove Park (MMP) Desa Pasir, Mempawah Hilir, festival didukung berbagai pihak. Mulai dari Pemerintah Kabupaten Mempawah, organisasi luar seperti WWF Program Kalbar, Bank Indonesia, Bank Kalbar Mempawah, BRI Peduli, Indofood, Yeremia, PT. Media Utama Konsulindo, Universitas Tanjungpura (Untan), dan berbagai pihak lainnya.
Wisata Mangrove memang layak menjadi jualan bagi pemerintah daerah setempat. Bagaimana tidak, cuaca yang rindang di hutan bakau MMP membuat nyaman siapapun yang berada di sana. Ada gertak yang dibangun. Menjadi jalur bagi para wisatawan untuk menikmati rindangnya pohon mangrove. Gertak itu dicat berwarna-warni. Belum lagi berbagai macam plang dengan beraneka tulisan unik. Yang menambah daya tarik MMP.
Selain menanam 5.000 pohon bakau secara massal, festival mangrove dimeriahkan dengan berbagai perlombaan. Ada lomba bercerita, melukis bebas, mewarnai, foto dan video pendek, dan summer camp.
Sejumlah perwakilan mahasiswa dari berbagai negara turut hadir. Dari Malaysia, Brunei Darussalam, Taiwan, dan Jepang.
Secara geografis, Ketua MMC, Fajar menerangkan, luasan lahan mangrove di Mempawah berada diantara 0o44’ LU dan 0o00,4’ LS dan 108o24’ BT dan 109o21,5’ BT. Sebaran mangrove yang paling padat terdapat di 4 kecamatan pesisir (lihat grafis).
Menurut Fajar, pesisir Mempawah yang pernah mengalami abrasi parah pada tahun 1980-an memaksa pemerintah melakukan antisipasi darurat. Dengan membangun pemecah gelombang “seawall” yang berupa balok-balok batu.
Dikatakannya, sebagian pesisir Mempawah telah dipasang seawall. “Untuk jangka panjang, tinggi bangunan seawall tidak dapat menahan tingginya gelombang dan ombak serta tidak mengurangi terpaan angin ke arah darat,” jelas Fajar.
Namun, lanjut dia, penanaman mangrove pada daerah seawall ke dalam atau ke arah daratan cenderung mengalami kesuksesan. Kekuatan ombak dirasakan sangat berkurang.
Awal berdirinya MMC diperakarsai dirinya bersama Roni Priyadi dan Sap Pardiansyah. Yang berkomitmen untuk membesarkan upaya konservasi mangrove di pesisir Mempawah. Yang terus dilakukan hingga saat ini. Yang dapat dilihat di berbagai kecamatan di Kabupaten Mempawah.
“Berawal dari kondisi pesisir Mempawah yang mengalami abrasi yang cukup parah dan diketahui banyak hutan mangrove yang menghilang, bahkan ada di beberapa pantai yang sama sekali tidak memiliki hutan mangrove, inilah dasar utama kami tergerak untuk membangun MMC,” ungkapnya.
Berdasarkan data MMC, kondisi abrasi pesisir terparah terjadi di dua kecamatan. Yaitu Sungai Pinyuh dan Mempawah Timur.
Beranjak dari kondisi tersebut, MMC melakukan “Gerakan Penyelamatan Hutan Mangrove dan Kawasan Pesisir Kabupaten Mempawah”. Yang dimulai sejak 2011.
“MMC dibentuk pada tanggal 14 Desember 2011. Mempawah Mangrove Conservation juga dikukuhkan secara resmi berdasarkan SK Kepala Badan Lingkungan Hidup Penanggulangan Bencana Daerah (BLHPBD) Kab. Pontianak No. 14 Tahun 2011 tentang Pembentukan Organisasi Masyarakat Mempawah Mangrove Conservation, Tanggal 21 Desember 2011,” papar Fajar.
Secara manfaat, Fajar menyebut, ekosistem mangrove memiliki bermacam-macam fungsi: fisik, ekonomi atau produksi, dan biologi. Fungsi fisik dari ekosistem mangrove bertujuan untuk menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai, menyerap kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, mengendapkan lumpur, dan menyaring bahan pencemar atau limbah.
Fungsi ekonomi atau produksi diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu: kayu bakar, arang, kayu konstruksi, dan sebagainya. Dan hasil bukan kayu, yaitu sebagai tempat pariwisata.
“Untuk fungsi biologinya, mangrove sebagai tempat pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan menjadi tempat bersarangnya burung-burung serta menjadi habitat alami berbagai jenis biota,” terang Fajar.
Fungsi lain, yang menjadi perhatian dunia, adalah hutan mangrove berkontribusi menghambat laju perubahan iklim akibat pemanasan global efek gas rumah kaca. Ini terkait kemampuannya menyerap karbon. Hutan Mangrove dapat mengikat dan menyimpan karbon di bagian atasnya sebesar 100 – 120 ton/hektar. Dan di bagian bawahnya 1.200 – 1.300 ton/hektar.
“Manfaat dan fungsi dari mangrove sendiri masih sangat banyak,” tandasnya.
Ditambahkan Kiki P. Utomo, Dosen Teknik Lingkungan Untan, festival mangrove diharapkan dapat dikenal secara luas ke dunia. Sehingga semakin banyak masyarakat yang peduli akan mangrove.
Fakultas Teknik Untan sendiri telah membuat website untuk MMC dengan alamat mangrovekalbar.com. Dengan adanya website ini, diharapkan MMC dapat terpublikasi hingga mancanegara. Dalam festival, Fakultas Teknik juga mengerjakan beberapa program dari pembuatan alat pengolahan air bersih dan planbag.
Terpisah, kepada Rakyat Kalbar, Fakultas Kehutanan Untan menyatakan mangrove termasuk ekosistem laut. Dapat dikembangkan sebagai blue carbon (karbon biru).
“Blue carbon yang dimaksud adalah potensi karbon yang tersimpan pada wilayah lautan,” ujar Mahasiswa Fakultas Kehutanan, Taufik Imam, Minggu (2/9).
Ia menyebut, kemampuan mangrove dalam menyerap dan menyimpan karbon sangat signifikan. Oleh karena itu banyak yang menyebut mangrove sebagai bank karbon. Sehingga kerusakan pada mangrove dapat mempengaruhi iklim dunia. Ia pun menilai isu-isu mengenai potensi karbon pada hutan mangrove harus diikuti dengan upaya penyelamatan dari kerusakan yang terjadi.
“Untuk pengenalan ekosistem mangrove telah didapat saat semester 2. Antara lain mengenai zonasi/pembagian wilayah pada hutan mangrove. Pada semester 3 juga diperdalam dengan mata kuliah pengenalan hutan lahan basah yang di dalamnya termasuk hutan mangrove,” tuturnya.
Dikatakannya, pengelolaan yang tidak tepat terhadap hutan mangrove akan berpengaruh pada laju kerusakan hutan mangrove. Oleh karena itu mahasiswa Kehutanan diharuskan peka terhadap hal ini.
Mahasiswa semester 5 ini menilai, hutan mangrove dapat dimanfaatkan asalkan memperhatikan kepentingan ekologis dan ekonomi. Seperti dengan metode silvofishery atau pertambakan yang dilakukan pada wilayah hutan mangrove tanpa harus terjadi perubahan fungsi lahan.
Selain itu, pemberian pakan udang dan pengairan limbah juga harus diperhatikan. Agar residu yang terendap pada lahan tersebut tidak merusak keseimbangan ekosistem mangrove.
“Pemanfaatan mangrove sebagai kayu energi juga harus memperhatikan kaidah kelestarian hutan mangrove dengan menerapkan ilmu manajemen hutan dan silvikultur,” tutur pria berusia 19 tahun itu.
Kendati begitu, dirinya tak menampik masih banyak masyarakat yang memanfaatkan kayu mangrove untuk memproduksi arang dan mata pencaharian. Untuk itu harus dilakukan penyuluhan dan edukasi mengenai pengelolaan hutan yang lestari. Dan setiap elemen masyarakat, dari akademisi hingga pejabat, harus mulai concern terhadap penyelamatan mangrove. Mengingat Indonesia memiliki 20%-25% dari total luasan hutan magrove dunia.
“Tentu kita semua bertanggung jawab atas keselamatan hutan mangrove,” tukasnya.
Dekan Fakultas Kehutanan Untan, Gusti Hardiansyah menuturkan, pemanfaatan blue carbon adalah salah satu upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida. Sehingga bisa memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim.
“Berarti selain untuk menarik tingkat kepariwisataan di Kalbar. Mangrove ini juga berperan banyak dalam pengaturan klimatis,” ungkap Gusti.
Ia mengatakan pepohonan dari ekosistem mangrove komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili. Dan terdiri atas 12 genus tumbuhan berbunga: Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus.
“Yang penting adalah benteng dari tsunami,” tegasnya.
Pria yang karib disapa Deden ini mengatakan, tujuan Fakultas Kehutanan memilih salah satu fokus pembelajaran terhadap mangrove, yakni ingin membuat kaum muda melalui mahasiswa bisa berpikir luas tentang pentingnya menjaga mangrove. Berdasarkan data, 30 – 50% mangrove dunia rusak akibat kerakusan manusia.
Begitu juga pesisir mangrove Kalbar. Hal itu diakibatkan karena pembangunan jalan, pemukiman, illegal logging, tambak dan lain-lain.
“Ayo kita dukung dan dorong serta amalkan gerakkan-gerakan rehabilitasi, reboisasi, restorasi, regreening ekosistem mangrove. Pemerintah melalui kebijakan terintegrasi dan kolaborasi mengawal butir di atas,” ajak Deden.
Senada, Kepala Dinas Perumahan, Permukiman dan Lingkungan Hidup (Perkim & LH) Kalbar, Adi Yani. Ia menegaskan keberadaan mangrove sangat penting. Terutama dalam menjaga keutuhan lahan di Kalbar dengan luasan 14 juta hektar.
“Supaya tidak terjadi abrasi air dari hulu ke hilir. Yang dapat mengakibatkan banjir,” ujarnya.
Di samping itu, Adi menjelaskan, ada wilayah penyanggah antara daratan dan lautan. Namanya pesisir. Di situ ada batasnya. Di sinilah bagaimana antara laut dengan daratan bisa menyanggah areal perbatasan tersebut. Itulah peran mangrove.
Ia mencontohkan kota Pontianak. Di daerah Siantan (Pontianak Utara) adalah pulau Kalimantan. Sedangkan wilayah seberangnya yang dipisahkan Sungai Kapuas adalah delta.
“Sampai sekarang bisa bertahan, akibat dari mangrove yang menjaga agar hempasan air laut tidak langsung menyebabkan abrasi. Sehingga daratan tidak mudah terkikis,” terang Adi.
Nah, lanjut dia, di kota Pontianak, kalau musim kemarau, air PDAM akan terasa asin. Hal itu dikarenakan sudah banyak pohon mangrove yang hilang. Mengakibatkan air laut dengan mudahnya masuk ke wilayah perairan tawar.
Adi menjelaskan, di Kalbar ini, tepatnya Kabupaten Kubu Raya, ada areal hutan mangrove yang besar. Sekitar 58 ribu hektar. Hutan itu sekarang sedang dijaga.
Menjaga hutan mangrove ini, menurut dia, menjadi salah satu program pemerintah untuk mempertahankan laut. Fungsi lainnya, juga agar laut tetap terhindar dari pencemaran dan kerusakan.
Belum lama ini, Dinas Kelautan juga mengambil sampah dari laut. Hal itu bertepatan dengan program internasional dalam peringatan hari lingkungan hidup pada 5 Juni 2018 lalu. Yang mengambil isu tentang meminimalkan sampah plastik.
“Karena diduga sampah plastik yang susah untuk diurai, ternyata dari berbagai negara membuangnya di laut. Makanya ada progam itu juga,” ungkapnya.
Bagaimana dengan masyarakat yang masih bergantung pada mata pencaharian dengan pembuatan arang dari kayu mangrove? Adi menuturkan, polemik ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Pada saat itu ada 2 perusahaan mangrove. Bagaimana perusahaan itu mempertahankan mangrove sementara sebagian ditebang. Masyarakat juga diharapkan dapat berperilaku seperti itu.
“Maka di sana juga ada LSM-LSM. Mereka lakukan pembinaan kepada masyarakat agar tidak melakukan penebangan mangrove untuk arang,” bebernya.
Pembinaan itu dengan mengajak bagaimana masyarakat dalam merubah pola hidup untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan. Seperti yang sudah dijalankan pada saat ini. Diantaranya budidaya kepiting dan ternak madu kelulut.
Kendati begitu, Adi tak menampik semua belum terlaksana dengan baik. Pasti ada masyarakat yang menebang mangrove.
“Mungkin ada yang diisolir. Misalnya ada mangrove yang sampai ke masyarakat. Mungkin itu yang ditebang. Tapi kita lamban laun, secara bertahap, berusaha agar masyarakat tidak lagi menebang mangrove,” pungkasnya. (*)
Editor: Mohamad iQbaL