Layangan Maut, Hakim Tak Punya Hati Nurani

Ombudsman Kalbar Soal Efek Jera

Ilustrasi NET

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Perlukah seorang hakim sekali tempo melihat mayat korban koyak lehernya dirobek tali layangan? Sehingga tidak lagi menjatuhkan hukuman denda cuma Rp100 ribu kepada pelaku?

Bisa jadi jengkel dan kecewa melihat murahnya nyawa di meja hijau, Ombudsman Kalbar bicara kepada media soal efek jera kasus maut pemain layangan, Selasa (23/7).  Banyak sudah korban luka-luka, begitupun meregang nyawa akibat tali layangan mengoyak leher. Vonis yang dijatuhkan hakim dinilai tak memberikan pelajaran yang berarti.

“Dengan denda100 ribu rupiah yang dijatuhkan oleh hakim, ini tidak memberikan efek jera pelaku. Hakim dalam memberikan putusan tidak punya hati nurani. Sebab, dia belum lihat orang meninggal di jalan akibat tali layangan,” ujar Kepala Ombudsman Kalbar, Agus Priyadi, kepada sejumlah awak media, Selasa (2/7).

Perdebatan di masyarakat pun tak kurang serunya. Antara kesadaran masyarakat dan tingkah laku aparat hukum menangani kasus-kasus korban tali kelayang. Terutama yang berakibat fatal hingga tewas mengenaskan.

“Sebenarnya bukan masyarakat, tapi hakim dulu yang perlu diingatkan. Kalau dendanya cuma segitu orang akan berbuat hal yang sama,” tegas Agus bernada kecewa.

Dalam banyak kasus yang berakibat luka parah dan bahkan tewas akibat tali layangan, masyarakat menilai lembaga terkait ragu-ragu dalam menerapkan aturan. Muaranya adalah pada Pengadilan, dan hakim sebagai ujung tombaknya.

Kata Agus, sebetulnya pihaknya sudah mengagendakan pertemuan seluruh instansi untuk persiapan standar kepatuhan layanan publik. Termasuk pembahasan permainan layang-layang maut itu.

“Terlebih untuk larangan main layangan, ini sudah ada Perdanya. Pemkot tinggal menyempurnakan peraturan daerahnya. Misalnya, ada yang menjual alat-alat permainan yang membahayakan, tindak tegas. Kalau masih menjual tutup saja usahanya. Untuk di Kubu Raya tinggal mempercepat apa yang sudah dilakukan Kota Pontianak. Artinya bisa meniru,” ujarnya.

Menurut dia, selain menimbulkan korban, layangan juga kerap mengganggu instalasi kelistrikan. Pemkot melalui Satpol PP, kata Agus, sudah melakukan razia terhadap pemain layangan. Namun hukuman yang ringan dipandang sebelah mata. Bahkan bisa jadi ditertawakan pemain layangan bertali kawat.

“Seperti yang diucapkan Ibu Kasatpol PP pada pertemuan acara Komunitas Peduli Listrik (KPL) beberapa waktu lalu. Ibu Syarifah sudah mengungkapkan bagaimana ia dan timnya merazia pemain layangan ini. Bahkan pernah dikejar dengan senjata tajam oleh masyarakat. Artinya pihaknya sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan,” tegas Agus.

Terkait kelistrikan sendiri, layangan merupakan gangguan cukup serius pada instalasi yang berakibat serius. Selain layangan juga akibat pohon tumbang, yang menurutnya juga perlu dilakukan koordinasi dengan pihak Pemkot.

“Ini yang perlu dikerjasamakan. PLN dalam hal ini jangan takut untuk menebang pohon jika memang mengganggu instalasi jaringan listrik. Kalau akibat layangan kan tidak mungkin kita pasang kelambu biar kelayang tidak masuk di jaringan,” kata Agus pula.

Ia menilai, sejauh ini tidak ada komitmen pihak-pihak terkait baik instansi maupun aparat hukum yang berupaya memberikan efek jera para pelaku layangan. Padahal, permainan apapun yang membahayakan keselamatan dan jiwa manusia, hakim bisa saja memberikan sanksi yang jauh lebih besar.

“Hakim bisa saja beri denda Rp50 juta atau maksimal berapa. Kalau tidak kurung pelaku sebulan atau tiga bulan, jangan cuma Rp100 ribu. Saya juga pernah jadi korban tali layangan hingga bagian wajah saya harus dijahit 14 jahitan. Dampaknya lagi, saya jadi trauma mau keluar rumah khawatir kena lagi. Makanya hakim harus punya hati nurani,” paparnya.

Namun begitu, ia tidak mau sertamerta menghilangkan permainan ini. Langsung menghentikannya secara paksa tentu cukup sulit. Terlebih permainan ini juga sudah menjadi budaya.

“Maka dari itu, baik pemerintah ataupun stakeholder lainnya, mengedukasi masyarakat terkait layangan yang bisa dimainkan dan tidak. Dengan melakukan festival layangan hias di areal tertentu, yang ujung-ujungnya bisa menjadi agenda wisata di daerahnya sendiri,” harap Agus.

 

Laporan: Nova Sari

Editor: Mohamad iQbaL