Laser Batu Ginjal Lamongan

DISWAY Oleh: Dahlan Iskan

RIRS. Dokter Asro Abdah mengerjakan RIRS di kamar operasi RSM Lamongan. Alat seperti mesin fotokopi bertuliskan RevolixDuo merupakan sumber holmium dan thulium. Asro Abdah for Dahlan Iskan
RIRS. Dokter Asro Abdah mengerjakan RIRS di kamar operasi RSM Lamongan. Alat seperti mesin fotokopi bertuliskan RevolixDuo merupakan sumber holmium dan thulium. Asro Abdah for Dahlan Iskan

eQuator.co.id – “Pak Dahlan, Lamongan juga punya lho,” ujar dokter Asro Abdah.

Ia ahli urologi. Lulusan Unair. Juniornya dokter Boyke Subhali, yang di Samarinda itu. (Baca Disway edisi Senin 2 Juli 2018).

Maksudnya: punya alat baru seperti yang di Samarinda itu. Yang bisa dipakai untuk mengambil batu dalam ginjal. Yang posisi batunya nyelempit sekali pun.

Nama alatnya:  flexible ureteroscope (FURS). Memang RSUD Wahab Syachranie Samarinda yang pertama memilikinya. Sampai sekarang pun masih satu-satunya: yang kekuatan lasernya 100 watt.

Yang seangkatan dengan Samarinda itu adalah Balikpapan. Dengan kekuatan laser 30 watt.

Di balik kemajuan dua kota utama di Kaltim itu ternyata satu orang: dokter Rahim Dinata itu. Kepala RSUD Samarinda saat itu. Yang berjuang keras meyakinkan gubernur Kaltim. Untuk membeli alat tersebut.

Itulah sebabnya calon-calon ahli urologi dari Unair magang di Kaltim. Sebagian magang di Balikpapan. Di bawah bimbingan dokter Widiyanto Prasetyawan. Yang dulu magang di Jerman.

Sebagian lagi magang di Samarinda. Dibimbing dokter Boyke. Yang dulu magang di Korea.

”Sepulang magang di Kaltim itu saya berjuang ke direksi. Untuk dibelikan alat itu,” ujar dokter Asro.

Asro kelahiran Majalengka, Jabar. NU asli. Setamat SD ia mondok di Darul Ulum Jombang. Lalu terpilih untuk masuk SMA Insan Cendekia Tangerang. Binaan Pak Habibie itu.

Begitu jadi dokter, Asro kerja di RS Muhammadiyah Lamongan. Tidak memilih jalur menjadi dokter pemerintah. RS Muhammadiyah itulah yang menyekolahkannya lebih tinggi: spesialisasi urologi.

Dokter Asro bersyukur direksi RS Muhammadiyah Lamongan berani maju. ”Alat ini tidak murah. Sekitar Rp 7 miliar,” ujar Asro.

Teman-teman Asro pada kagum. Banyak yang menghubunginya. Bagaimana mungkin RS Muhammadiyah di kota kecil seperti Lamongan seberani itu. Surabaya saja belum punya.

“Saya jawab saja yang hebat itu direksinya,” ujar Asro sambil tertawa. Logat Sundanya sudah hilang.

Saya minta maaf padanya: tidak membawa istri saya ke Lamongan saja. Setahu saya alat itu itu baru ada di Samarinda.

Saya tidak tahu RS Muhammadiyah Lamongan hebat. Lamongan dekat sekali dari Surabaya. Hanya satu jam pakai mobil. “Tapi bapak kan niatnya sambil pulang kampung,” ujar Asro merendah.

“Memang banyak yang belum tahu kalau RS Muhammadiyah Lamongan sudah memilikinya. Baru mulai beroperasi Februari lalu,” tambahnya.

Di RS Muhammadiyah Lamongan itu baru sedikit pasiennya. Yang perlu ditangani dengan menggunakan alat itu baru dua pasien satu hari. Jadi, tidak perlu antre.

“Dari pengalaman  lima bulan ini, dengan laser 30 watt sebenarnya juga cukup. Masih bisa diatasi,” kata dokter Asro.

Watt yang lebih tinggi diperlukan untuk kasus-kasus khusus. Misalnya karena batunya keras sekali.

“Dengan laser 30 watt juga bisa diatasi. Tapi harus diulang-ulangi. Kadang harus diulangi seminggu kemudian,” katanya.

Dengan FURS yang fleksibel alat itu bisa belok-belok. Bisa menuju lokasi batu. Di tempat yang nyelempit sekali pun. Setelah ujung alat itu menemukan batunya, dokter bisa melihat sang batu dengan amat jelas.

Urolog lantas mengarahkan lasernya tepat pada batunya: dihancurkan. Istilahnya: batu itu dijadikan debu. Agar bisa keluar bersama air kencing.

Selama pengerjaan itu pasien sadar. Bisa melihat sendiri proses penghancuran batunya. Pasien hanya dibius separo badan.

Kini tinggal pilih. Sudah mulai  banyak kota yang memiliki FURS. Saya memilihkan istri di Samarinda. Saya sendiri memilih jangan punya batu ginjal. (dis)