eQuator.co.id – Musim kering memang tengah menerpa Kalbar. Terlihat lebih dari setengah lambung kapal-kapal motor yang tertambat di parit dermaga ujung Gang Salak IV, Pontianak Barat, berada di atas air yang tenang tak beriak. Hanya saja, di balik ketenangan itu tersembunyi sesuatu yang terbilang berbahaya.
Tiang-tiang dermaga tempat merapatnya kapal pencari ikan milik keluarga Joni itupun tampak lebih tinggi, lumpur sungai mulai kelihatan. Tanda debit air jauh merosot. Di sanalah Joni dan beberapa temannya menemukan Crocodylus Porosus yang lebih dikenal sebagai buaya muara. Buaya tersebut belum bisa diidentifikasi jenis kelaminnya. Namun, kita sebut saja Mas Boy.
Ketika terlihat penampakannya, ia tengah bersembunyi di antara tiang-tiang dermaga pada Sabtu (9/7). Untung saja, Mas Boy yang kemudian ditangkap Joni dan kawan-kawan tersebut masih tergolong ‘imut’ untuk kategori buaya muara. Baru berukuran sekitar 1,5 meter. Usianya diperkirakan 8-12 bulan.
Setelah berhasil diamankan, Mas Boy dimasukkan ke dalam keranjang besi yang biasa digunakan untuk bongkar muat ikan. “Sejak ditangkap, dia (Mas Boy) tak mau makan. Kita kasi ikan,” ujar Joni kepada Rakyat Kalbar.
Khawatir dengan kesehatan Mas Boy, Senin (11/7) ia menghubungi Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar. “Kami serahkanlah biar diurus balai,” tuturnya.
Berhubung masih dalam suasana lebaran, petugas BKSDA baru bisa memenuhi panggilan kemarin (13/7). Didatangi petugas di rumahnya, Joni pun meneken berita acara penyerahan.
Setelah itu, petugas BKSDA pun memasung Mas Boy. Dia sempat berontak, namun petugas dengan sigap mengikat mulut dan kakinya. Matanya pun ditutup supaya tidak stres. Kemudian dimasukkan ke dalam mobil BKSDA. Setakat ini, Mas Boy menunggu surat jalan untuk masuk ke Sinka Zoo Singkawang.
Lantas, kenapa bisa buaya memasuki wilayah padat manusia? Berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, Kepala BKSDA Kalbar, Sustyo Iriono menyebut, saat musim kering makanan buaya seperti ikan dan satwa liar lainnya susah didapat.
“Nah, beberapa buaya yang tidak dapat asupan makanan dalam kompetisi antarbuaya muncul di pemukiman warga,” tuturnya. Namun, Sustyo menolak anggapan habitat buaya di Kalbar sudah sangat rusak.
Sebelumnya, BKSDA mengevakuasi buaya sejenis di Desa Kapur, Kubu Raya, Senin (4/7). Ini kali ketiga evakuasi dilakukan kurun 2016. Buaya muara tersebut berjenis kelamin betina dan sudah cukup dewasa, berukuran lebih dari dua meter.
Buaya itu diserahkan secara sukarela oleh Noviansyah (30 tahun), warga Gang Daiman Dalam RT 03 Rw 03 Sungai Raya, Kubu Raya. Buaya ditangkap dari lokasi bongkaran pasir di sekitar Jalan Adisutjipto, Sabtu (2/7).
Mencermati kemunculan buaya yang cukup sering di Kota Pontianak dan sekitarnya ini, Sustyo memaparkan pihaknya kini memusatkan perhatian ke muara-muara sungai. “Yang pasti, kita sangat excited (senang) terhadap masyarakat yang sudah mulai sadar untuk melestarikan satwa dan tumbuhan liar. Kita berharap jika warga mengetahui informasi lain tentang satwa liar bisa menelpon ke BKSDA di nomor (0561) 74700,” tutupnya.
Di sisi lain, Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan tak menampik kemunculan binatang buas di pemukiman manusia akibat dari rusaknya habitat mereka. Programer Officer Sampan Kalimantan, Dede Purwansyah mengatakan, ekosistem buaya di rawa-rawa rusak karena pemukiman kini menjalar hingga ke sudut-sudut kota.
“Tempat mereka berkembang biak dan makan berkurang, ya otomatis berkeluaran,” ujar Dede.
Hal ini sama halnya dengan kerusakan habitat orang utan. “Harus dicarikan solusi agar ekosistem terjaga dan pembangunan juga berjalan,” tuturnya.
Ia melanjutkan, kerusakan lingkungan ini juga diakibatkan industri berbasis hutan dan lahan seperti perkebunan dan penambangan. Ia menduga beberapa perusahaan dijalankan tak sesuai analisis dampak lingkungan (Amdal) yang diterbitkan pihak terkait.
“Yang mengakibatkan seperti ini karena ada perusahaan yang nakal tak memperhatikan Amdal. Mereka harus diperingatkan,” tegas Dede. (*)
Marselina Evy dan Isfiansyah, Pontianak