Saya membedakan antara ‘sikap keuangan’ dan ‘ahli keuangan’.
Belum tentu orang yang ahli keuangan punya ‘watak keuangan’. Sebaliknya belum tentu yang punya ‘sikap keuangan’ adalah ‘ahli keuangan’.
Yang terbaik adalah ahli keuangan yang punya ‘sikap keuangan’.
Saya kagum dengan direktur keuangan PT Garuda Indonesia itu. Ia pasti sangat ahli keuangan. Kalau tidak, mana mungkin bisa. Dalam keadaan bisnis seperti itu Garuda bisa laba Rp 70 miliar. Di laporan keuangan tahun 2018 yang ia buat.
Saya ingin melansir satu mantra berikut ini:
“Mereka boleh pintar, kita tidak boleh bodoh”. Mantra yang saya beri tanda kutip itu baiknya dipegang oleh siapa saja.
Apalagi dalam hubungan dagang dengan Tiongkok. Atau dengan siapa pun. Jangan pernah salahkan mereka yang pintar itu. Tapi kita juga harus ingat: kita jangan bodoh!
Kita harus mengakui direktur keuangan Garuda itu sangat pintar. Sangat ahli keuangan: bagaimana bisa membuat Garuda terlihat laba Rp 70 miliar. Padahal rugi Rp 2,4 triliun. Sungguh pintar sekali.
Tapi OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tidak bodoh.
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tidak bodoh.
Menteri Keuangan tidak bodoh.
Dua komisaris Garuda itu tidak bodoh.
Mereka menolak laporan keuangan Garuda tahun 2018 itu. OJK dan pasar modal menjatuhkan sanksi denda. Denda itu sebesar Rp 100 juta untuk perusahaan. Denda Rp 100 juta kepada seluruh jajaran direksi. Serta denda Rp 100 juta yang ditanggung bersama oleh jajaran direksi dan komisaris yang menandatangani laporan keuangan 2018.
Kepintaran direktur keuangan itu bisa dilihat dari sini: rencana pendapatan masa depan dimasukkan ke dalam pendapatan tahun lalu.
Nilainya besar pula. Lebih dari Rp 2 triliun.
Rencana pendapatan itu datang dari kontrak jangka panjang. Yang ditandatangani tahun lalu.
Kerjasama itu — pintarnya lagi — bukan dilakukan langsung oleh Garuda. Tapi oleh anak perusahaannya: Citilink. Makanya penumpang Citilink sudah pada tahu: akan ada pelayanan wifi di atas pesawat. Sebentar lagi. Sangat menggembirakan. Juga membanggakan.
Mungkin banyak yang mengira wifi itu nanti gratis. Seperti yang di dalam terminal bandara.
Tentu tidak akan gratis.
Bisakah jasa wifi itu menghasilkan uang Rp 2 triliun dalam waktu 10 tahun?
Saya tidak mampu menghitungnya. Belum tersedia data pendapatan pesawat dari sektor wifi.
Saya sering naik pesawat yang sudah memiliki layanan wifi. Selama di Amerika. Atau dalam penerbangan jarak jauh. Tapi hanya sekali menggunakannya. Itu pun hanya karena ingin merasakan. Yang benar-benar untuk keperluan mendesak belum pernah. Masih terlalu mahal. Menurut perasaan saya.
Apalagi untuk penerbangan Citilink di dalam negeri. Yang jarak terbangnya hanya satu sampai dua jam. Adakah begitu pentingnya urusan yang sampai tidak bisa ditunda dua jam? Sampai harus menggunakan wifi yang mahal?
Untuk ukuran saya saja masih merasa mahal. Apalagi untuk umum. Entahlah, mungkin saya yang salah sikap. Meski bukan orang keuangan saya sudah tertular untuk punya ‘sikap keuangan’.
Mungkin juga karena Citilink punya konsultan yang hebat. Yang tahu cara menghitung pendapatan masa depan. Terutama pendapatan dari sektor wifi. Mungkin saja mereka punya data penggunaan wifi di dalam pesawat di negara lain.
Atau ada jenis kontrak yang lebih istimewa. Yang lebih pasti. Bagi Citilink. Misalnya: kontrak dengan sistem take or pay. Perusahaan swasta itu diwajibkan membayar Rp 2 triliun. Selama 10 tahun. Tidak peduli berapa pun yang menggunakan wifi. Resiko ada di pihak swasta itu. Kalau rugi. Durian runtuh juga milik swasta itu. Kalau untung.
Belum sampai selesai membuat perkiraan, saya keburu membaca berita baru: kerjasama itu dibatalkan.
Ya, sudah.
Tetap saja saya mengakui. Ahli keuangan itu hebat. Bisa membuat perusahaan rugi menjadi kelihatan laba. Ia yang mencarikan jalannya. Caranya. Taktiknya.
Ialah yang mencarikan bedak dan gincunya.
Bagi seorang yang punya ‘sikap keuangan’ tidak akan mau melakukan itu. Ia justru akan mengingatkan atasannya. Mengenai resiko bagi perusahaan. Kalau hal seperti itu dilakukan.
Ada beberapa motif yang biasanya melatarbelakangi.
Untuk perusahaan publik, kepintaran seperti itu semata-mata untuk menipu pasar. Agar harga sahamnya naik.
Untuk sebuah perusahaan negara bisa karena sikap asal bapak senang. Atau alasan politik.
Untuk manajemen, bisa karena mengejar bonus. Laba besar berarti bonus besar.
Garuda adalah perusahaan publik, milik negara, dan memiliki sistem bonus (tantiem) untuk manajemennya.
Di swasta juga dikenal bonus. Juga dilihat dari besarnya laba. Tapi ‘laba’ tidak sama dengan ‘laba’. Ada laba dengan kualitas baik. Ada pula laba yang kualitasnya tidak baik.
Laba yang kualitasnya rendah tadi sering saya sebut sebagai ‘laba yang penuh lemak dan kolesterol’.
Kelihatannya saja laba. Tapi justru bisa mematikan.
Salah satu kolesterol itu adalah ‘piutang’. Terutama ‘piutang ragu-ragu’. Yang belum tentu bisa benar-benar menjadi pendapatan.
Bisa saja tiba-tiba orangnya meninggal. Atau bangkrut. Atau justru menggugat.
Bisa juga alasan administrasi: fakturnya salah, bunyi kontraknya tidak jelas, atau tagihannya tidak sampai.
Piutang itu bermuara ke laba. Laba menjadi sumber pajak dan bonus. Atau menjadi dasar kenaikan gaji.
Pajak sudah dibayar. Bonus sudah dibayar. Gaji sudah dinaikkan.
Pendapatan yang sudah dibukukan itu ternyata uangnya tidak jadi masuk.
Sangat mematikan.
Masih banyak jenis ‘lemak’ dan ‘kolesterol’ dalam sebuah laporan keuangan. Sumber-sumber penyakit itu kadang tidak terlihat. Manakala justru manajemenlah yang menghendaki dimasukkannya lemak-lemak itu. Dan kolesterol-kolesterol itu.
Maafkan, seperti kuliah akuntansi tingkat TK.
Mana yang lebih baik: orang keuangan yang ahli keuangan atau yang punya sikap keuangan?
Yang terbaik adalah: yang ahli keuangan sekaligus punya sikap keuangan.
Kalau saya dihadapkan hanya pada satu pilihan —antara yang ahli keuangan dan yang punya sikap keuangan– saya akan memilih mana?
Anda pasti tahu yang mana pilihan saya. (Dahlan Iskan)
Catatan: Admin DI’s Way telah mengubah ilustrasi naskah ini