-ads-
Home New Hope Kyai Ahong dari Makam Wali Ningxia

Kyai Ahong dari Makam Wali Ningxia

Oleh: Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Inilah pengalaman saya Jumatan di salah satu dari 3.100 masjid di propinsi Ningxia, Tiongkok.

Saya memilih masjid ini demi kepraktisan. Lokasinya di tengah kota. Bersebelahan dengan restoran. Selama saya Jumatan istri saya makan siang. Bersama beberapa teman saya yang mengaku bertuhan tapi tidak beragama.

Sebenarnya saya bisa Jumatan di satu masjid berumur 600 tahun. Bahkan ada dua yang segitu tuanya. Sama-sama besarnya. Sama-sama seperti kelenteng bentuknya. Yang pagi itu juga sana-sama saya kunjungi.

-ads-

Tapi hari masih terlalu pagi. Lebih baik waktu yang tersedia saya manfaatkan untuk ziarah ke makam wali penyebar Islam di Ningxia: Kyai Hong Shou-lin.

Saya membayangkan betapa sulitnya Kyai Hong Shou-lin membawa Islam ke Tiongkok. Hingga ada 70 juta orang Islam di sana saat ini.

Makam ini letaknya di tengah gurun pasir. Dua jam naik mobil dari kota Wuzhong, tempat saya Jumatan tadi. Tidak ada kampung di dekat makam ini.

Dari jarak setengah jam saya sudah bisa melihat makam itu. Dari menara-menaranya yang tinggi. Semula saya pikir itu masjid besar. Ada empat menara setinggi menara masjid Istiqlal Jakarta. Di tengah menara-menara hijau itu terlihat qubah besar yang juga betwarna hijau.

Itukah masjid utama di komplek makam ini?

Ternyata bukan. Menara-menara itu ternyata hanya pintu gerbang. Di balik bangunan gerbang ini masih banyak bangunan lain. Masing-masing memiliki gerbang sendiri. Juga bermenara.

Yang paling belakang barulah bangunan seperti masjid dua lantai. Saya menapaki tangga-tangga itu. Ternyata inilah makamnya. Tiga orang terlihat lagi berdoa di dekat makam itu. Satu orang lagi berada di lantai atas lagi menyimak kitab.

Saya tidak mau menegur mereka. Agar tidak mengganggu. Saya langsung menyiapkan diri untuk sembahyang sunnah. Menghadap searah dengan mihrab, tempat imam, yang lagi kosong.

Begitu melakukan gerakan takbiratul ikram, orang yang menyimak kitab tadi berteriak-teriak ke arah saya. Marah-marah. Saya membatalkan sembahyang saya. Saya datangi dia.

“Saya tidak mengerti mengapa Anda marahi saya,” kata saya. Dalam bahasa Mandarin.

“Anda ini Islam atau bukan?”

“Islam,” jawab saya.

“Kok tidak tahu cara sembahyang?,” tanyanya masih dengan nada tinggi.

Saya memahami sikapnya itu. Orang Islam di Tiongkok umumnya curiga dengan orang asing. Atau orang yang bukan suku Hui.

“Apanya yang salah?,” tanya saya.

“Menghadap ke mana sembahyangmu itu,” tegurnya.

Oh, saya tahu.

Saya tadi ternyata menghadap ke utara. Bukan menghadap ke barat.

Lalu saya jelaskan bahwa saya tadi hanya mengikuti arah mihrab. Tempat imam.

“Itu bukan tempat Imam,” katanya, “itu kamar saya”.

Saya baru sadar bahwa ini bukan masjid. Ini bangunan makam. Meski bentuknya, besarnya dan penataan karpetnya seperti masjid.

Usai ziarah ini, di halaman ke dua komplek ini, barulah saya bertemu dengan rombongan yang berdoa tadi.

Dialah yang memberitahu saya siapa yang dimakamkan di situ. “Beliau itu wali Allah,” katanya. Dia sendiri datang dari satu desa sekitar 30 menit dari situ. Ternyata dia juga seorang kyai. Yang di Tiongkok disebut Ahong.

Kalau lagi tidak liburan musim panas, ada 200an santri yang mondok di situ.

Cucu wali Hong Shou-lin ini sekarang juga jadi tokoh agama. Tinggalnya di ibukota propinsi Ningxia, Yinchun. Namanya kyai Hong Yang. Beliau tamatan Beijing University dan kini menjabat wakil ketua DPRD propinsi Ningxia.

Tiga hari saya keliling propinsi Ningxia ini. Terutama ke gurun pasir Gobi. Untuk meninjau pembangkit listrik tenaga angin. Yang lagi dibangun besar-besaran di gurun pasir ini. Yang satu kincirnya sudah bisa menghasilkan 2 MW.

Dalam perjalanan dua jam dari makam wali ke kota Wuzhong saya melintasi desa-desa pertanian Tiongkok. Tapi perasaan saya seperti melintasi desa-desa di Lombok: begitu banyak masjidnya. Tiap desa pasti ada satu atau dua masjid besarnya. Terlihat dari menara-menara tingginya. Yang satu masjid umumnya memiliki tiga menara.

Akhirnya saya tiba di masjid besar kota Wuzhong. Masih ada waktu setengah jam untuk menemani istri dan teman-teman makan siang. Tapi saya memilih ke masjid lebih awal. Ada dzikir tertentu yang harus saya lakukan sebelum Jumatan itu.

Tepat jam 13.00 imam masjid tiba dan duduk di dekat mihrab. Tujuh orang yang semua berpakaian persis imam duduk berjajar di belakangnya. Saya mengembalikan tasbih dan duduk di barisan berikutnya. Masjid yang di lantai dua itu sudah mulai penuh.

Sang imam berbalik menghadap ke jamaah. Lalu bersama-sama yang hadir melafalkan sholawat nabi. Yang dibaca dari buku tipis.

Ada dua podium di masjid itu. Yang satu di dekat tempat imam. Bentuknya mirip podium pidato. Satunya beratap hiasan  ukiran. Letaknya jauh di kanan sana.

Tepat jam 13.30 sang imam berdiri menuju podium. Pidato. Ceramah agama. Dalam bahasa Mandarin. Tanpa assalamualaikum. Di awalnya maupun di akhirnya. Begitulah kebiasaan di sana. Kutipan ayat Quran dan haditsnya sangat fasih.

Lima belas menit kemudian, ada adzan. Lalu salat sunnah empat rakaat. Hanya saya sendiri yang dua rakaat. Khawatir jadi pusat perhatian saya salat lagi dua rakaat.

Sesaat kemudian salah satu dari tujuh orang tadi berdiri. Menuju podium jauh. Mengambil tongkat. Dan mulai mendendangkan kalimat-kalimat berbahasa Arab.

Semula saya pikir ini muadzin yang akan akan mengantar khotib naik mimbar. Tapi dendangnya kok tidak selesai-selesai. Lima menit kemudian dia duduk sekedipan mata lalu mendendangkan lagi kalimat-kalimat berbahasa Arab dengan lagu mengalun-alun.

Dendang itu secara total sekitar 7 menit.

Lalu ada qamah. Tanpa mulai salat.

Oh, dendang tadi ternyata khotbah.

Begitu singkat dan simple Jumatan ini. Oh, karena itu ada ceramah sebelumnya. Karena kalau mengandalkan dari isi khotbahnya saja pasti tidak banyak yang paham apa maksudnya.

Habis Jumat saya ngobrol dengan beberapa anak muda di serambi masjid. Ternyata mereka para ustadz madrasah. Dari propinsi lain: Yunnan.

Saya pun bertanya apakah di Yunnan khotbahnya juga dilagukan.

“Tidak,” katanya.

Saya tahu Islam di Tiongkok hampir semuanya bermadzhab Hanafi. Dan hampir semuanya penganut tarekat. Satu prinsip yang mengutamakan hubungan batiniyah. Bukan hanya lahiriyah. Tapi umumnya tarekat mereka terbelah dalam aliran sufi yang sangat banyak.

Wali tadi misalnya, mengajarkan filsafat sufi Khuffiyah. Dzikr Khuffiyah. Di seberangnya ada aliran Jahriyyah. Sedang anak muda dari Yunnan tadi mengaku menganut Qadiriyah.

Selama 35 tahun terakhir mengikuti perkembangan Tiongkok saya melihat ini: kian banyak anak muda datang ke masjid. Ini sangat berbeda dengan 35 tahun lalu yang kalau ke masjid hanya melihat orang-orang yang renta. (*)

Exit mobile version