eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Kubu capres 01 Prabowo Subianto mengajukan tujuh petitum agar permohonan sengketa hasil pilpres dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Semua berpangkal pada penilaian bahwa KPU dianggap lalai melaksanakan tugas sehingga membiarkan terjadinya kecurangan selama pemilu.
Dalam berkas permohonan yang diajukan ke MK dan beredar di kalangan wartawan, kecurangan itu dijabarkan menjadi tiga tahap. Sebelum, saat berlangsung, dan setelah pemungutan suara 17 April lalu. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menilai setiap kecurangan dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Lebih lanjut, ada lima kecurangan yang dianggap paling parah.
Salah satunya adalah ketidaknetralan aparatur negara. BPN menilai hal itu terjadi pada institusi Polri dan intelijen. Pengakuan seorang polisi di Jawa Barat memperkuat penilaian tersebut. Polisi itu mengaku telah dipaksa korpsnya untuk mendukung salah satu paslon di Pemilu 2019. Sedangkan pilihan tersebut tidak sesuai dengan keinginan hatinya.
Bukti lainnya adalah pendataan kekuatan dukungan capres di desa-desa. Hal itu dituliskan di contoh ketiga penjabaran tentang ketidaknetralan aparatur kepolisian dan intelijen. Sayang, dalam dokumen permohonan BPN ke MK, data tersebut hanya dilengkapi screenshot dari salah satu media online alias tanpa pengecekan di lapangan.
BPN juga menjabarkan empat dugaan kecurangan lainnya. Yakni penyalahgunaan APBN dan/atau program pemerintah, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan pers, serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum. Namun, lagi-lagi BPN hanya melengkapi temuannya dengan bukti berupa screenshot berita media online tanpa didukung dokumen lain.
Dengan bukti-bukti tersebut, BPN mengajukan tujuh petitum di akhir gugatan. Dalam permohonannya, BPN meminta MK bertindak sebagaimana mestinya. Bukan menjadi ”mahkamah kalkulator”, yang menetapkan presiden dan wakil presiden, hanya karena salah satu paslon menang di perolehan suara. Tapi juga mempertimbangkan adanya kecurangan yang terjadi di pemilu tersebut.
Salah satu petitum yang dimohonkan adalah pembatalan Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu 2019. Baik presiden dan wakil presiden maupun DPR dan DPD. Juga menganulir paslon 01 Jokowi-Ma’ruf).
Dikonfirmasi terkait penjabaran surat permohonan BPN ke MK, Denny Indrayana sebagai salah seorang kuasa hukum BPN enggan menjelaskan secara terperinci. Dia bahkan menyatakan belum bisa memastikan keaslian dokumen permohonan tersebut. ”Ditunggu waktu sidang saja ya,” katanya singkat kemarin (26/5).
Denny mengaku tidak bisa membenarkan argumentasi bukti yang dijabarkan di surat permohonan di MK. Termasuk tulisan tentang ”mahkamah kalkulator” dalam permohonan BPN ke MK tersebut.
”Ibarat bayi, saat ini mereka ini sedang berada di kandungan. Kalau dipaksa lahir, nanti bayinya akan menjadi prematur. Jadi tunggu saja. Semua argumentasi akan dijabarkan, termasuk soal mahkamah kalkulator tersebut,” terang pria kelahiran Kotabaru, Kalsel, itu.
Sesuai jadwal, sidang akan dimulai 14 Juni dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Denny memprediksi putusan bakal keluar pada akhir Juni. ”Target sih akan rampung semuanya 28 Juni ini. Kita doakan saja tidak ada masalah selama persidangan,” ujar mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut.
Sementara itu, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menganggap gugatan ke MK tersebut sebagai langkah pertanggungjawaban KPU. Sebagai penyelenggara pemilu, pihaknya harus hadir untuk berhadapan dengan tim kuasa hukum Prabowo di MK. ”Dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di MK ini, KPU kan berkedudukan sebagai termohon. Jadi, mau tidak mau kami harus hadir,” ucapnya.
Menurut Pramono, KPU menyiapkan dua langkah. Pertama, mempelajari pokok permohonan BPN. ”Hal ini dilakukan untuk memastikan locus persoalan dan apa substansi yang dimohonkan,” kata Pramono. Kedua, berkoordinasi dengan satuan kerjanya di seluruh Indonesia. Baik KPU kabupaten/kota maupun provinsi.
Pramono menjamin tanggapan atas permohonan BPN akan disampaikan dengan uraian secara jelas sesuai yang diminta pemohon. ”Kami akan maksimalkan untuk membantah dalil-dalil yang diajukan pemohon serta mematahkan tuduhan bahwa KPU telah melakukan berbagai kecurangan selama proses tahapan pemilu,” tegas pria kelahiran Semarang itu. (Jawapos/JPG)