KPU Kalbar Berupaya Cegah Calon Tunggal Pilkada 2018

Variasi Pilihan Rakyat Jadi Minim

Ilustrasi-RMOL

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Kendati calon tunggal diperbolehkan dalam Undang-Undang, hal ini tetap dinilai kurang baik bagi demokrasi. Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalbar akan berupaya secara sungguh-sungguh mencegah terjadijya fenomena calon tunggal pada Pilkada 2018.

“(Karena) bisa saja di Pilkada 2018 muncul lagi fenomena calon tunggal. Harus ada upaya sungguh-sungguh dari KPU untuk mencegah calon tunggal,” tutur Ketua KPU Kalbar, Umi Rifdiawaty, baru-baru ini.

Dia tidak menampik bahwa fenomena calon tunggal adalah sebuah keniscayaan. Pembenaran calon tunggal ini merupakan hasil judicial review, ketika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tidak mengatur adanya mekanisme pasangan calon tunggal.

“Dimana hanya ada satu pasang calon yang mendaftar dan hanya satu pasangan calon yang memenuhi syarat,” ujarnya.

Salah satu untuk meminimalisir munculnya calon tunggal, Undang-Undang juga memberikan batasan jelas. Antara lain, KPU dapat memperpanjang waktu atau masa pendaftaran.

“Kemudian pasangan calon harus diusung oleh gabungan dari partai politik bukan calon dari perseorangan,” jelas Umi.

Calon tunggal bisa memimpin, jika berhasil mengalahkan “kotak kosong”. Namun jika pasangan calon tunggal tak meraih suara 50 persen + 1, maka pemerintahan di suatu daerah terpaksa dipimpin penjabat sementara.

“Daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat (Pj) Bupati, Pj Wali Kota atau Pj Gubernur. Bukan berarti vakum, akan ditunjuk sesuai tingkatannya. Tidak akan terjadi kekosongan kekuasaan, sudah ada mekanismenye,” tandasnya.

Memang, pemilihan kepala daerah 15 Februari mendatang semestinya menjadi ajang kontestasi antarcalon dalam merebut hati masyarakat. Namun ironisnya, aura tersebut tidak terjadi di 101 daerah. Pasalnya, ada 9 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon.

Kesembilan daerah itu terdiri dari enam kabuaten, yakni Kabupaten Tulang Bawang Barat, Pati, Buton, Landak, Maluku Tengah, dan Tambrauw. Serta tiga kotamadya, antara lain Kota Tebing Tinggi Kota Sorong, dan Kota Jayapura.

Angka tersebut, jauh lebih tinggi dibanding Pilkada sebelumnya, yakni 3 daerah, antara lain Tasikmalaya, Blitar dan Timor Tengah Utara. Padahal, daerah yang menggelar pilkada tahun lalu mencapai 269 daerah.

Secara umum pun demikian, di mana rata-rata jumlah paslon di setiap daerahnya menurun. Jika Pilkada 2015 rata-rata tiga sampai empat paslon, pada pilkada kali ini hanya dua sampai tiga paslon saja.

Pengamat Politik Lembaga Survei Indonesia Dodi Ambardi menilai, maraknya calon tunggal sebagai potret dari kegagalan partai mencetak kader yang berkualitas. Akibatnya, partai hanya ikut mendukung paslon yang ada.

“Itu salah satu kemungkinan, bahwa partai gagal membentuk kader yang kompetitif,” ujarnya kepada Jawa Pos, Minggu (12/2).

Pasalnya, lanjut Dodi, partai politik tampaknya mulai menyadari. Di mana mencalonkan dan memenangkan paslon bukanlah perkara yang mudah. Mengingat dibutuhkannya sumber daya ekonomi dan politik yang tidak sedikit.

“Kalau peluangnya kecil, mereka memilih untuk memberikan dukungan ke kandidat yg berpeluang menang,” imbuhnya.

Dia tak membantah, jika masyarakat dirugikan dengan minimnya variasi calon. Namun di sisi lain, sulit untuk menekan partai mengusung jagoannya dalam kontestasi, mengingat rasionalitas politik menjadi hal yang alamiah.

Lantas, apakah perlu pembatasan koalisi? Dodi menilai hal tersebut tidak perlu dilakukan. Pasalnya, banyaknya paslon belum menjamin kualitasnya.

Sebaliknya, yang perlu didorong adalah upaya partai dalam menghadirkan kader yang berkualitas. Sebab jika memiliki “jagoan”, maka secara otomatis, partai akan berani mengusung calonnya masing-masing.

“Agar setiap kandidat memiliki pemahaman minimal tentang politik anggaran dan kemampuan untuk merumuskan kebijakan,” terangnya.

KPU sebagai penyelenggara sudah berupaya agar Pilkada setidaknya bisa diikuti oleh dua pasangan calon. Mulai dari membuka pendaftaran tahap dua, hingga memperbolehkan bongkar ulang koalisi demi menambah peserta. Sayangnya, hal tersebut kurang mendapat respon.

Anggota Komisi II Achmad Baidowi menyatakan, munculnya calon tunggal untuk pilkada tahun ini tidak bisa dihindari. Bahkan, kata dia, jumlahnya meningkat tiga kali lipat dibanding pilkada serentak pada 2015 lalu. Menurut dia, pada 2015 jumlah calon tunggal hanya terjadi di tiga daerah. Sedangkan tahun ini jumlahnya meningkat menjadi 9 daerah.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP itu menyatakan, jika tidak ada langkah antisipatif, maka jumlah calon tunggal pada periode mendatang tidak menutup kemungkinan akan meningkat. “Kalau tahun ini tidak bisa dihindari lagi, kalau 2018 masih ada waktu untuk melakukan antisipasi agar hal itu tidak terjadi lagi,” terang dia.

Caranya, kata dia, penyelenggara pemilu harus melakukan sosialiasi secara masif. Pemerintah daerah dan KPUD harus betul-betul mendekati masyarakat bawah dan juga masyarakat di perkotaan. Penyelenggara pemilu perlu menjelaskan pentingnya memilih kepala daerah. Partai politik juga harus menyiapkan kader terbaik atau tokoh lokal yang siap bertarung dalam pilkada.

Ada beberapa penyebab terjadinya calon tunggal. Yaitu, petahana yang maju kembali sebagai calon kepala daerah. Elektabilitasnya tinggi, sehingga membuat pesaingnya ciut nyali untuk bersaing. Ada pula modus borong suara parpol. Jadi, semua parpol mendukung satu calon, sehingga tidak ada calon lain.

Menurut legislator asal Dapil Jatim XI itu, munculnya calon tunggal menunjukkan bahwa tujuan demokratisasi belum terwujud. Sebab, proses demokrasi adalah memberi kesempatan kepada semua warga negara untuk tampil sebagai pemimpin.

Dari fenomena calon tunggal, lanjut dia, yang perlu diantisipasi juga ialah rendahnya minat masyarakat untuk mengikuti pemilihan “Jika itu terjadi maka menjadi preseden buruk bagi demokrasi yang hakekatnya pelibatan masyarakat secara luas. Karena demokrasi itu dari, oleh dan untuk rakyat,” papar pria asal Sumenep, Madura itu.

 

Laporan: Fikri Akbar, Jawa Pos/JPG

Editor: Mohamad iQbaL