eQuator.co.id – Pontianak-RK. Ketika mentari hampir berkulminasi, puluhan bahkan ratusan anak-anak dan kawula muda Tionghoa terjun di sepanjang Sungai Kapuas memperingati adat Ngougwekcot, alias hari besar bulan 5 Imlek, Kamis (9/6).
Di berbagai sisi sungai, ramai mereka lempar-lemparan makanan khas bakcang, penganan ketan berbungkus daun bambu khusus berisi daging, jamur, kacang, ebi, dan kaulak. Bergembira merayakan kociet.
Kearifan lokal ini ternyata bisa jadi hiburan sekaligus obyek wisata religi warga Tionghoa maupun Chineese Oversea di belahan Asia dan benua lainnya. Namun, hanya di Kalbar, khususnya Kota Pontianak, makan bakcang menjadi tradisi yang terjaga ratusan tahun. Meskipun banyak generasi muda sudah tak paham lagi sejarahnya.
“Perang air ini merupakan simbolisasi mandi U Shi. Mandi tengah hari pada tanggal lima bulan lima penanggalan China,” ujar Jesslyn, Meme Pontianak 2016. Mandi U Shi rangkaian dari festival Tuan U ciek kali ini dikemas cukup menarik.
Para amoy yang cantik-cantik berpakaian tradisional membagikan bak cang kepada warga. Ini festival ketiga di Kota Pontianak yang lumayan meriah di bulan puasa.
“Setelah acara mandi-mandi di sungai selesai, ada ciak toakay di rumah-rumah. Kami akan melaksanakan Kwe Cot, makan besar bersama seluruh anggota keluarga,” tutur Jesslyn.
Muda-mudi Tionghoa yang berpartisipasi dalam festival bakcang ini ingin agar agenda tahunan tersebut bisa masuk kalender wisata selain Capgome dalam rangkaian Imlek. “Kami berharap acara ini menjadi perhatian pemerintah, selain melestarikan tradisi, dapat menjadi agenda wisata di Kalbar, khususnya di Pontianak,” kata Rico, salah seorang warga Tionghoa.
Sebenarnya, dukungan dari otoritas keamanan sudah ada dari Polda Kalbar. Setiap tahun, Polisi Air dan Udara (Airud) mengawal dengan speedboat di Sungai Kapuas. Patroli itu dilakukan karena khawatir anak-anak muda yang mandi kerap berenang ke tengah di arus deras yang berbahaya.
“Kondisi selama acara aman dan kondusif. Kita menurunkan lima armada, dua kapal, dua speedboat, dan satu perahu karet. Yang di perahu karet itu tim SAR kita,” ujar AKP Badarudin, Direktur Pol Air Polda Kalbar, via telpon.
Imbuhnya, “Keberadaan kita karena tradisi masyarakat berkaitan dengan sungai. Ini juga wujud kemitraan Pol Air dengan masyarakat, biar lebih dekatlah dengan masyarakat”.
Kisah Tuan U Ciek
Tradisi itu konon berawal saat seorang panglima perang di Cina yang berusaha untuk menertibkan kehidupan masyarakatnya. Dia berjuang memberantas korupsi dan kemiskinan. Sayang, usahanya gagal. Sedih, Sang Panglima menceburkan diri ke sungai.
Pengorbanan untuk mencapai kebajikan inilah yang dikenang dalam festival tuan u ciek. Setiap tanggal lima bulan lima pada penanggalan Imlek, masyarakat Tionghoa merayakan peringatan adat leluhur tuan u ciek. Mulai dari prosesi mandi u shi, membagikan bak cang atau ki cang, serta kwe cot.
U shi, kulminasi matahari pada pukul 12.00. Masyarakat yang merayakan mandi, merendam tubuh di sungai. Menurut kepercayaan, mandi di saat u shi untuk membuang sial atau segala tabiat dan perilaku yang tidak baik. Masyarakat Tionghoa juga percaya mandi u shi berpengaruh pada kesehatan.
“Air sungai yang mengalir, yang diambil pada siang hari tanggal lima bulan lima penanggalan Imlek merupakan air yang mengandung berkat. Dapat dijadikan obat dan dapat disimpan jika sewaktu-waktu diperlukan,” kata Jesslyn, Sang Duta Wisata dan Budaya Tionghoa Pontianak.
Setelah melakukan mandi u shi, masyarakat Tionghoa membagikan bak cang atau ki cang. “Penganan ini harus ada pada saat festival tuan u ciek. Itu sebabnya festival ini sering dikenal sebagai acara mandi bak cang,” jelas Jesslyn.
Bak cang atau cang (kue) yang berisi bak (daging). Kue berbentuk kerucut terbuat dari beras ketan, diisi daging babi, kacang tanah, udang, jamur kering, dan kaulak (kenari). Ukurannya sebesar kepalan tangan pria dewasa.
Selain bak cang, ada juga ki cang. Bak cang dalam ukuran kecil. Ukurannya hanya sebesar buah pinang. Orang Tionghoa membuat ki cang dari beras ketan tanpa isi apapun. Beras yang di bungkus dengan daun bambu ini dimasak dengan ki cui, air abu.
Ki cui dibuat kapur atau abu yang dikentalkan, terbuat dari pembakaran kulit kerang. Ki cui memberi efek warna agak kekuningan pada ki cang dan bertekstur kenyal. “Biasanya dimakan dengan air gula pasir,” ujar Nikolas, Ge Ge 2016, juga duta wisata dan budaya Tionghoa.
Dulu, bak cang dan ki cang di bungkus dengan sejenis daun bambu tua. Tali pengikat bak cang atau ki cang dibuat dari pandan air yang tumbuh di rawa, tali kiam chau. Sekarang, masyarakat Tionghoa membuat bak cang atau ki cang menggunakan daun pisang dan rafia.
Masyarakat Tionghoa menutup festival tuan u ciek dengan acara kwe cot atau ko ciat. Acara makan besar yang diadakan di rumah-rumah. Masakan yang dihidangkan terdiri dari ayam, babi, bebek, mie dan sayur mayur. “Acara makan-makan ini diikuti oleh semua anggota keluarga besar,” tutup Nikolas.
Laporan: Marselina Evy
Editor: Mohamad iQbaL