eQuator.co.id – Mereka masih di atas pesawat. Tidak lama lagi pesawat dari Beijing itu mendarat di Washington DC.
Saat itulah Washington mengunumkan: resmi mendakwa Sabrina Meng. Pimpinan puncak Huawei yang lagi ditahan di Kanada itu. Dengan 24 tuduhan kriminal.
Diumumkan juga permintaan resmi segera diajukan: minta Sabrina diekstradisi ke Amerika. Berkas tuduhan itu sebagai lampirannya.
Yang segera mendarat itu adalah Wakil Perdana Menteri Tiongkok, Liu He. Beserta rombongannya. Termasuk lima wakil menteri. Untuk melanjutkan perundingan dagang dengan Amerika. Setelah terjadi perang selama setengah tahun terakhir.
Pengumuman soal Huawei itulah sambutan pertama yang diterima Liu He. Sebuah pertanda-pertanda.
Tapi kedua negara tampaknya saling tenggang saraf. Saraf otak. Perang dagang di satu saraf. Soal Huawei di saraf yang lain. Tidak saling berhubungan. Tapi sama-sama berada di dalam batok kepala.
Hari ini tinggal 27 hari lagi. Batas waktu gencatan senjata. Perundingan harus dikebut. Sebelum 1 Maret nanti harus ada keputusan: meneruskan perang atau berdamai. Atau jangan-jangan gencatan senjatanya yang diperpanjang.
Perundingannya sendiri terbagi dua. Soal mobil dan hasil pertanian di satu kamar. Soal perubahan hukum, pencurian teknologi dan hak cipta di kamar yang lain.
Ini kelanjutan dari perundingan tahap pertama di Beijing. Saya tidak bisa membayangkan betapa alotnya perundingan itu. Amerika lebih banyak mengajukan tuntutan. Dengan tinju-tinju Mac Tysonnya. Tiongkok harus pawai dalam berkelit. Dengan gaya kungfu Pandanya.
Saya yakin Liu He menjadi lupa: kalau minggu depan sudah Imlek. Mungkin ia juga tidak sempat berpikir lagi: apakah bisa bertahun baru di tengah keluarganya.
Di Beijing sendiri seluruh tokoh Partai Komunis baru saja berkumpul. Dari seluruh daerah. Yang dibicarakan adalah kesiapan seluruh negeri. Untuk menghadapi keadaan yang terburuk. Misalnya: perang dagang berlanjut. Boikot terhadap teknologi komunikasi Tiongkok meluas di negara barat. Perang Taiwan. Dan atau ekonomi melemah.
Bersamaan dengan pertemuan besar itu dua kapal perang Amerika kembali masuk selat Taiwan. Disambut dengan percobaan senjata baru Tiongkok. Yang bisa menjangkau jarak jauh.
Di Washington perhatian lebih terbagi. Amerika lagi siap-siap mengirim 5.000 pasukan ke Venezuela. Mendukung tokoh oposisi yang ingin menggulingkan Presiden Nicolas Maduro.
Amerika juga lagi menghadapi sekutunya di dekat Tiongkok: Korea Selatan. Amerika tidak mau lagi menanggung sendiri: biaya untuk melindungi Korsel dari ancaman Korut.
Amerika lagi menagih dana perlindungan itu: sekitar Rp 90 triliun. Yang harus dibayar Korsel. Yang membuat Korsel terkaget-kaget. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di tahun-tahun lalu tidak pernah ada tagihan seperti itu.
Korsel harus memilih: tidak perlu lagi perlindungan, damai dengan Korut atau bayar saja tagihan itu. Atau siapa tahu bisa minta diskon.
Soal Huawei tampaknya sektor yang tidak kalah serunya. Tetap saja dianggap melakukan pencurian teknologi. Dan melakukan transaksi dagang dengan negara Islam Iran.
Kian banyak pula negara barat yang memboikot Huawei. Terutama untuk teknologi switching. Yang sangat diperlukan perusahaan telekomunikasi. Di mana pun. Dengan kualitas terbaik. Dan harga termurah.
Tapi Huawei terus saja kian besar. Terutama penjualan handphone-nya. Terutama di Tiongkok sendiri. Yang dulu dikuasai iPhone dan Samsung.
Kini Huawei sudah nomor satu. Pangsa pasarnya 20 persen. Oppo dan Vivo masing-masing 18 dan 16 persen. Keduanya Huawei juga di belakangnya.
Baru kemudian Xiaomi.
Posisi iPhone di bawah Xiaomi itu.
Samsung yang justru mencengangkan: sudah tidak masuk lima besar. Sampai-sampai pabriknya di Tianjin ditutup. Kalah bersaing dengan HP Tiongkok. Yang jumlah perusahaannya kini mencapai 200 perusahaan.
Perang dagang, Huawei, Trump, dan Taiwan tampaknya akan terus jadi kosakata utama kita selama tahun babi ini nanti.
Ditambah kata BTP, Vero, Pemilu untuk di dalam negeri. (dis)