Kopi Sigararutang

Oleh: Joko Intarto

Penulis di kebun kopi Sigararutang Sipirok

eQuator.co.id – Lima hari saya menghilang dari Ibukota. Saya menyepi. Nun jauh di sana: Kecamatan SD Hole, 35 Km dari Sipirok, Sumatera Utara.

Selama tiga hari saya tinggal di dalam Pondok Pesantren Darul Mursyid. Pondok pesantren modern yang tahun ini genap berusia 26 tahun.

Dua hari pertama, saya mengajar penulisan buku. Untuk para guru pesantren. Hari ketiga, mengisi diskusi tentang prospek bisnis kopi dengan para pelaku usaha coffee shop di Sipirok.

Kopi memang sedang menjadi perhatian pondok pesantren besar itu. Sebab, warga Sipirok dulu hidup berkecukupan karena hasil kebun kopinya.

Begitu bernilainya pohon kopi di Sipirok. Sampai kopinya mendapat julukan: Sigarautang. Kopi pembayar utang.

Tapi, kopi Sigararutang tinggal cerita. Masa lalu. Hari ini, Sigararutang tidak mampu membayar utang petani. Inilah yang akan dibangkitkan kembali.

Pengelola pesantren berniat mengembalikan kejayaan kopi Sigararutang. Melalui program budidaya kopi terpadu. Hulu -hilir.

Tiba di kantor Jakarta, Sabtu petang, saya langsung menggelar dua rapat. Dua-duanya tentang pekerjaan siaran langsung penyampaian visi dan misi calon presiden – wakil presiden, Senin depan.

Di tengah-tengah rapat, saya kedatangan tamu istimewa: Jilly Likumahuwa. Seorang seniman musik, creative event organizer dan penggemar kopi asli Nusantara. Kesukaannya itu diperoleh dari ayahnya  yang pemusik jazz kondang: Benny Likumahuwa.

Jilly terkejut ketika masuk ke studio saya, yang merangkap meeting room itu. “Wow…. ada mini bar di studio. Keren… koleksi kopinya banyak banget,” katanya dengan setengah berteriak.

Jilly pun terinspirasi. Dia ingin membuat mini cafe di studio yang akan dibangunnya. “Saya akan bantu setup peralatan kafe dan kopinya,” kata saya.

Hari ini saya menerima kiriman banyak kopi. Dari Sipirok, Sumatera Utara, saya membawa delapan jenis kopi Arabica Gayo Sipirok. Pemberian pengurus Pondok Pesantren Darul Mursyid. Ada Gayo Sipirok Pandoloan, Lanang, Luwak, Situnggaling dan red cherry. Semua kopi diolah dari hasil panen kebun milik Pesantren. Merknya: PDM Coffee.

Di kantor saya juga ada kiriman sebuah paket: kopi Temanggung. Kiriman Mas Bagus. Paket tiba sejam sebelum saya mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Setelah dua jam terbang dari Bandara Silangit di Siborong-Borong.

Kepada Jilly yang sedang mengumpulkan bahan untuk menulis buku tentang kopi, saya suguhkan dua gelas kopi single origin yang diseduh dengan kukusan bambu. Satu gelas kopi lanang Arabica Sipirok. Satu gelas lagi kopi Arabica Temanggung. Tentu saja dengan cerita kopi, yang jadi andalan saya.

“Kalau begitu, Juli nanti Mas Joko harus tampil di event saya,” kata Jilly.

Sebagai barista senior Bank Indonesia, saya langsung menerima tawarannya. Ha…ha…. ha…

Siapa takut?(jto)