Kita Semua Rasis

Oleh: AZRUL ANANDA

eQuator.co.id – Sudahlah, jangan mencoba menyangkal. Kita semua orang rasis. Kalaupun kita merasa tidak rasis, mungkin ada satu atau dua tindakan, atau perkataan, yang masih menandakan kita rasis.

Entah ada apa dengan dunia saat ini. Mungkin sedang ada virus yang menjalar di seluruh dunia, menjadikan dunia semakin terpecah-pecah.

Brexit telah terjadi. Langkah mundur kesatuan Eropa.

Donald Trump telah terpilih sebagai presiden ke-45 Amerika. Entah itu langkah mundur atau tidak untuk Amerika. Yang jelas, presiden yang dipilih –walau sangat ketat– adalah yang saat kampanye membuat takut kalangan minoritas dan pendatang.

Jangan bicara soal Indonesia. Entah itu kehebohan politik yang sampai turun ke jalan, atau itu kehebohan lain –perbedaan ras atau suku bangsa– yang juga sampai turun ke jalan.

Setelah ini entah apa lagi. Siapa tahu akan muncul kejutan lain di bagian dunia yang lain.

Segala sesuatu ini membuat saya berpikir, bukankah dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi ”globalisasi” atau paling tidak ”pemersatuan” di mana-mana?

Prosesnya panjang, kadang berdarah-darah, dan sering menyakitkan. Tapi, bukankah saat ini toleransi telah menjadi lebih baik di berbagai penjuru dunia?

Oke, memang akan selalu ada orang yang berbeda. Yang punya sifat benci terhadap orang lain, khususnya yang memiliki latar belakang berbeda. Dan orang-orang seperti itu ada di seluruh penjuru dunia.

Walaupun ada, bukankah rasanya mereka itu sudah menjadi masyarakat yang ”tertinggal”, yang tidak lagi memiliki pengaruh besar secara keseluruhan?

Bukankah pendidikan seharusnya makin baik?

Bukankah alur pertukaran informasi sekarang lebih terbuka, memudahkan semua pihak untuk berkomunikasi lebih baik?

Apa yang terjadi dengan dunia sekarang???

Saya mendarat di Taipei, dalam perjalanan menuju Amerika, saat muncul berita Donald Trump menuju kemenangan mengejutkan. Konfirmasinya didapat begitu mendarat di San Francisco.

Malam itu, ada demo menolak Trump di tengah kota tersebut. California, tempat San Francisco berada, merupakan negara bagian yang ”biru”. Artinya, ini wilayah Partai Demokrat dan Hillary Clinton. Ini negara bagian yang paling beragam masyarakatnya, datang dari berbagai suku bangsa.

Seorang teman baik saya, bule, mengaku takut dengan hasil kemenangan Trump. Apalagi, istrinya keturunan Meksiko.

Kemenangan Trump itu, ucap dia, membuatnya harus mengalibrasi ulang perasaan tentang negara sendiri. Pemilih Trump hampir semuanya adalah kulit putih, dan dominan laki-laki.

”Hasil pemilihan presiden ini membuat saya berpikir, ternyata negara saya ini tidak semaju seperti yang saya bayangkan,” katanya.

Teman saya ini termasuk yang ikut demo. Dan istrinya, yang sedang hamil tua, ikut berdemo.

Dengan lantang, dia mengatakan bahwa Trump adalah seorang rasis. ”Istri saya benar-benar ketakutan,” ujarnya.

Dalam seminggu terakhir, saya dan beberapa rekan keliling mobil (road trip) di bagian tengah Amerika. Melewati Negara Bagian Illinois, Ohio, Indiana, Kansas, dan Missouri. Semuanya adalah ”Red State” alias negara-negara bagian yang memenangkan Partai Republik dan Donald Trump.

Di sisi highway (jalan bebas hambatan), di begitu banyak tempat, terpasang billboard-billboard besar mendukung Trump dan Mike Pence.

Apakah itu membuat kami takut? Mungkin, ada sedikit kekhawatiran. Tapi, saya pribadi tidak pernah takut. Saya pernah tinggal di Kansas (waktu SMA), saya sering ke Indiana, karena urusan basket (klub NBA Indiana Pacers) atau balap (di sana ada Indianapolis Motor Speedway).

Dua tempat itu dikenal dengan keramahannya. Dan saya tahu betul orang-orang di dua tempat itu ramah luar biasa.

Saat kami beristirahat di sebuah restoran cepat saji di Kansas, misalnya, angin berembus begitu kencang. Sebuah mobil berhenti di dekat kami, lalu orangnya –kulit putih sudah tua– mau repot-repot menunjukkan tempat di mana bisa terlindung dari angin kencang yang dingin.

Ke mana pun pergi juga selalu ada sapaan ”Good morning”, ”Hi, how are you?”, dan sebagainya. Padahal, orang-orang itu kemungkinan besar adalah pemilih Donald Trump.

Ayah angkat saya waktu SMA dulu mengaku sampai heran-heran sendiri dengan situasi negaranya sekarang. Dia bertanya kepada saya, waktu SMA di Kansas dulu, apakah saya pernah merasakan perlakuan buruk, menjadi korban orang rasis.

Saya jawab tidak sama sekali. Malah semua orang sangat baik. Padahal, saya waktu itu mungkin adalah satu-satunya orang Asia di radius 100 mil (160 km).

Padahal, kata dia, ada banyak orang rasis di tempat saya dulu. Dan bahwa mereka baik kepada saya, bukan berarti mereka pura-pura. Keramahan mereka itu juga alami. Karena orang Kansas memang ramah.

”Saya sekarang sedang berkutat dengan konsep baru ini. Karena istilahnya mungkin bukan rasis. Di satu sisi, mereka itu memang rasis, dengan tegas menganggap rasnya lebih baik daripada yang lain. Di sisi lain, mereka tetap ramah dan baik kepada siapa saja, orang dari mana saja. Entah itu istilahnya apa,” paparnya.

Percakapan itu tentu membuat saya juga banyak berpikir. Masak ada orang rasis tapi baik, lalu ada orang yang merasa tidak rasis tapi justru jahat? Jangan-jangan, kita semua ini rasis, hanya tingkatan-tingkatannya saja yang berbeda.

Saya termasuk yang merasa diri saya tidak rasis. Tapi, jujur sejujur-jujurnya, kadang terlontar juga sindiran ketika ada orang dari ras atau suku bangsa lain melakukan sesuatu yang sesuai dengan stereotipe ”mereka”.

Walau mungkin tidak berniat jahat, omongan saya itu sudah bisa menjadi bukti. Apalagi kalau zaman sekarang, omongan atau celetukan saja bisa dipermasalahkan begitu panjang (entah ini bener atau nggak, penting atau nggak untuk diributkan).

Ironisnya, kadang saya juga menyindir orang yang latar belakangnya sama dengan saya (kebetulan saya mix Jawa dan Banjar). Entah itu menyindir kita ini kalah rajin lah, kalah ngotot lah, kalau dibandingkan dengan yang lain.

Saya juga kenal dengan orang yang punya hubungan baik –khususnya bisnis– dengan berbagai kalangan. Bahkan sampai di dunia internasional. Meski demikian, saya juga pernah mendengar dia bicara kalau jangan sampai ras/suku bangsa lain itu menjadi dominan.

Dari kalangan yang dianggap minoritas, saya juga pernah mendengar mereka mengucapkan sesuatu yang menyindir ”kalangan mayoritas”. Misalnya, ada orang tua yang mencegah anaknya untuk bergaul terlalu banyak dengan anak-anak lain dari ”kalangan mayoritas” itu.

Lalu ada contoh lain lagi. Suku bangsa yang melarang masyarakatnya untuk menikah dengan suku bangsa lain. Harus punya suami atau istri dari suku bangsa yang sama, lalu ada aturan-aturannya lagi.

Bukankah itu semua bisa masuk kategori rasis?

Kalau sudah begitu, tinggal membeda-bedakan kadar dan dampaknya saja, bukan? Ada yang jahat, bahkan melukai dan membunuh, kepada orang lain. Ada yang berkoar-koar dengan keras, mengajak yang lain untuk semakin membenci ras/suku bangsa lain.

Ada yang sekadar dari ideologi, tapi tetap baik dan ramah kepada yang lain. Dan mereka yang merasa tidak rasis pun sesekali bisa menunjukkan ucapan/tindakan yang sebenarnya rasis.

Kalau sudah begini, lalu bagaimana?

Mungkin ya sudahlah. Biarlah semua orang jadi rasis dengan kadar yang berbeda-beda. Toh dunia tetap butuh orang-orang ”jahat” untuk keseimbangan alam.

Yang penting, jangan sampai menghambat kemajuan dan pertumbuhan. Dan jangan sampai ada terlalu banyak orang yang level rasisnya sampai menyakiti orang lain.

Mungkin paling fair ya seperti orang-orang yang disebut di Kansas itu. Rasis, tapi tetap tulus ramah dan baik kepada semua orang! (*)