Tekad Sahnun bisa mempermalukan banyak orang. Terutama bagi mereka yang memiliki kondisi finansial berlebih. Sahnun, meski hanya seorang pemulung, mampu menabung untuk membeli sapi. Untuk kurban di Hari Raya Idul Adha.
WAHIDI AKBAR SIRINAWA, MATARAM
eQuator.co.id – Perempuan sepuh terlihat berjalan di Jalan Cilinaya. Tepat di samping mall pertama di Kota Mataram. Menenteng dua plastik berisi botol bekas. Mungkin berjumlah lebih dari 50 botol. Membuat kantong kresek berwarna hijau dan biru itu menggelembung. Penuh sesak karena diisi botol plastik.
Seperti kebanyakan orang tidak mampu lainnya di Kota Mataram, perempuan sepuh yang dikenal dengan nama Sahnun ini, berjuang agar bisa tetap hidup di ibukota. Tapi bukan dengan menjadi pengemis. Sahnun memilih jalan lain yang lebih terhormat. Yakni dengan memulung.
Aktivitasnya mengumpulkan botol plastik bekas. Juga kardus tak terpakai. Dimulai pagi-pagi sekali. Ketika banyak masyarakat ibukota masih bermalas-malasan di kasur empuk mereka.
Dengan mengenakan baju kaos abu-abu yang sudah lusuh, Sahnun berkeliling. Menyusuri jalan-jalan di Cakranegara hingga Ampenan. Datang ke toko dan warung. Terkadang Sahnun mengorek-ngorek bak sampah, untuk mencari botol plastik bekas.
Jika dilihat dari pekerjaannya, tak ada yang spesial dari Sahnun. Hanya seorang perempuan tua yang memulung. Tapi, yang membuat dia menjadi sangat istimewa adalah kedermawanan hatinya. Meski menjadi pemulung, Sahnun mampu berkurban. Satu ekor sapi dia sumbangkan saat Hari Raya Idul Adha, nanti di 11 Agustus.
”Saya kumpulkan uang di pengajian,” kata Sahnun dalam Bahasa Sasak, kemarin (31/7).
Sahnun tak lancar betul berbahasa Indonesia. Berkomunikasi dengannya harus menggunakan bahasa lokal, Sasak. Di Mataram, Sahnun tinggal seorang diri. Sudah puluhan tahun dia hidup terpisah dengan saudara-saudaranya.
Pekerjaan memulung telah digeluti selama lima tahun terakhir. Sebelum itu, Sahnun bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Hj Sal, warga Lingkungan Karang Jangkong. Sahnun tak hafal berapa lama dia menjadi ART. Yang pasti, dia mulai membantu pekerjaan di rumah Hj Sal saat dirinya masih gadis.
Setelah anak-anak Hj Sal dewasa dan menikah, Sahnun memilih untuk keluar. Dia merasa tugasnya sudah selesai. Juga tak enak hati apabila tetap tinggal di sana dan merepotkan tuan rumah.
Dari sana Sahnun berjuang untuk tetap hidup dengan memulung. Pun karena sudah tidak memiliki tempat tinggal, dia memilih untuk tidur di mana saja. Yang penting ada tanah untuk merebahkan badan dan atap sebagai penaungnya.
”Biasa tidur di sini,” ucap Sahnun menunjuk tempat tinggalnya. Yang ditunjuk Sahnun hanya sepetak lapak. Lokasinya tepat di samping Mataram Mall. Di tempatnya tinggal, Sahnun juga menaruh botol bekas plastik hasil memulung, sebelum dibeli pengepul.
Dalam sehari, Sahnun bisa lebih dari lima kali bolak-balik membawa puluhan botol plastik bekas dan kardus. Setelah terkumpul banyak, perempuan yang berusia 60an tahun ini tinggal menunggu kedatangan pengepul.
”Kalau sudah banyak, tiga hari sudah saya jual. Banyak dapat dari kardus,” katanya terbata-bata.
Pendapatannya dari memulung memang tidak banyak. Paling banyak Rp 50 ribu sehari. Meski begitu, uang hasil jerih payahnya dikumpulkan sedikit demi sedikit. Setiap hari. Begitu menerima uang, langsung diserahkan ke Majelis Taklim Ibu-ibu di Masjid Nurul Iman, Lingkungan Karang Jangkong.
”Sudah dibelikan sapi,” sebut dia.
Sahnun sebenarnya tak menghitung secara rinci setiap uang yang dia tabung ke majelis taklim. Hj Handayani, ketua majelis taklim ibu-ibu Masjid Nurul Iman mengakui hal itu. Biasanya Sahnun langsung menyerahkan begitu saja uang ke bendahara.
”Dia gak terlalu ngerti (jumlah) uang. Pokoknya kalau botol plastiknya terjual, uangnya langsung dikasih ke bendahara,” kata Handayani.
Setiap menyetor hasil penjualannya, Sahnun selalu berucap kepada bendahara majelis taklim, bahwa itu untuk uang kurban. Seluruhnya dia percayakan kepada pengurus pengajian di Lingkungan Karang Jangkok.
”Dicatat terus. Ternyata kemarin waktu pengajian dibuka (tabungannya), jumlahnya sampai Rp 10 juta,” terang dia.
Setelah mengetahui jumlah tabungan Sahnun, pengurus sempat menanyakan kepada yang bersangkutan. Apakah uangnya mau digunakan untuk keperluan lain atau seperti apa. ”Dijawab kalau uang itu tetap mau dipakai untuk berkurban,” sebutnya.
Beberapa jamaah majelis taklim terkejut mengetahui Sahnun bisa berkurban sapi. Apalagi jika melihat pekerjaannya yang hanya sebagai pemulung. Meski begitu, Handayani menyebut, selama empat tahun terakhir, Sahnun rutin berkurban. Uangnya dia tabung di bendahara majelis taklim. Yang berbeda, di tahun ini Sahnun bisa berkurban sapi.
”Kalau kurban sudah sering. Tapi, waktu itu kurbannya kambing,” ungkap Handayani.
Kepala Lingkungan Karang Jangkong H Moh Najamudin mengatakan, setiap Kamis, jamaah majelis taklim memang diimbau untuk menabung. Tujuannya untuk berkurban. ”Biar tidak berat pas dekat Idul Adha. Nah, Sahnun ini rupanya menabung terus. Rutin, makanya bisa banyak,” kata Najam.
Apa yang dilakukan Sahnun, kata Najamudin cukup memukul dirinya. Kata Najam, dia yang memiliki kondisi ekonomi berkecukupan, tak mampu berbuat seperti Sahnun. Apa yang dirasakan Najam bisa jadi dirasakan orang kebanyakan. Mampu gonta ganti ponsel pintar tiap tahun, tapi berpikir ribuan kali untuk berkurban.
”Kita ini kalau berkurban banyak mikirnya. Tapi, kalau beli hape yang harganya sampai tiga juta, itu bisa cepat,” pungkas dia. (Lombok Pos/JPG)