-ads-
Home Features Kisah Muazin Masjid Annur Meninggal di Atas Sajadah

Kisah Muazin Masjid Annur Meninggal di Atas Sajadah

Sempat Ucapkan Kalimat Tauhid

BERDUKA. Keluarga berduka mengenang Abdul Mutalib di Kotabaru, Banjarmasin. Zalyan Shodiq Abdi/Radar Banjarmasin

Namanya sama dengan kakek Nabi Muhammad, Abdul Muthalib. Muazin di Masjid Annur Kotabaru Senin (5/11) tadi meninggal di atas sajadah usai salat Subuh. 

Zalyan Shodiqin Abdi, Kotabaru

eQuator.co.id – Baru-baru tadi viral di sosial media, sebuah tautan link video tersebar. Dalam video itu terlihat Muazin Masjid Annur Abdul Muthalib sedang zikir di saf pertama, dini hari Senin (5/11).

-ads-

Ketika Imam salat Guru Aduy menggeser duduknya ke arah kanan, melanjutkan zikir, tidak selang beberapa lama, tubuh Abdul Muthalib akrab disapa Talib rebah ke depan. Terlihat beberapa kali dia seolah melihat ke arah atas mimbar yang kosong. Seorang jemaah pun menyeru kepada Guru Aduy.

Di temui di rumahnya, Selasa (6/11) siang kemarin, tokoh agama terkenal di Pulau Laut itu menceritakan apa-apa yang tidak tergambar jelas di video. Talib katanya, adalah salah satu panitia masjid. “Kalau Jumat, jika saya berhalangan jadi imam biasanya dia yang jadi imam. Dia dituakan di sini,” ujarnya membuka kisah.

Talib sudah lama jadi jemaah tetap Masjid Annur. Sejak masjid belum direnovasi bertahun-tahun lalu. Masjid itu berada di RT 2 Desa Hilir, sekitar 1 kilometer dari kantor bupati. Rumah Guru Aduy tepat di seberang masjid. Selain mengelola masjid, Guru Aduy juga punya pesantren khusus anak yatim. Pesantrennya menyatu dengan rumah.

Talib lanjut Guru yang bernama lengkap KH Jailani Darmawan, punya kebiasaan. Selalu salat berjamaah di masjid. Biasanya Talib jalan kaki dari rumahnya ke masjid, jaraknya kisaran 500 meter. Belum lama tadi kaki Talib sakit, asam urat, tapi tetap ke masjid memakai motor.

Di masjid, Talib jika salat posisinya selalu di situ. Di barisan pertama makmum, tepat belakang mimbar. “Dia di sana terus. Kalau ada acara pengajian, duduknya juga di sana. Itu menandakan orang yang istikamah, punya pendirian,” kata Guru Aduy.

Subuh itu, Talib awal datang ke masjid. Dia mengumandangkan tahrim dan azan. Semua seperti biasa. Tidak ada menyangka jika itu adalah azan terakhir Abdul Muthalib. “Waktu itu saya sedang zikir, tidak tahu (kalau Talib rebah). Kawannya (duduk di sebelah kiri Talib, persis belakang Imam), yang kasih tahu saya. Kawannya itu sama dengan Talib, dia posisinya di belakang Imam terus kalau salat,” ujarnya.

Saat itulah Guru Aduy melihat sahabatnya sudah rebah. Dia lantas memberikan semacam tempat yang biasa dipakai anak-anak meletakkan Alquran saat mengaji, untuk jadi sandaran kepala Talib. Tapi saat itu nafas Talib sudah lemah. Guru Aduy lantas membimbingnya mengucap kalimat tauhid. “Dia beberapa kali ucapkan Lailahailallah,” lirih Guru Aduy. Tidak lama Talib pun wafat. “Saya sempat panggil mantri, tapi kata mantri dia sudah tiada,” timpalnya.

Ditanya perasaannya, Guru Aduy mengatakan dia kehilangan seorang sahabat. Matanya berkaca-kaca. Sedih namun lapang, masyarakat menilai almarhum pulang dalam keadaan sebaik-baiknya. “Dia orang baik, meninggal dalam keadaan yang baik, di tempat yang baik,” ucapnya pelan.

Sekarang tambahnya, dia kehilangan sosok sahabat yang selama ini memberikan contoh dengan perbuatan. Talib di Masjid Annur posisinya adalah sekretaris pengelola. Saat renovasi masjid dia selalu aktif. Beli barang material ke toko, selalu pakai nota. “Dia jujur dan disiplin. Jiwa sosialnya sangat tinggi,” ucapnya.

Disinggung bahwa banyak yang jadi penasaran dengan Masjid Annur, karena kabar Talib yang berpulang dengan tenang di atas sajadah, Guru Aduy tersenyum. Menurutnya, begitulah orang yang baik, meninggalkan dunia pun masih menitipkan kebaikan-kebaikan kepada banyak orang. “Semoga semakin banyak yang mau jemaah ke masjid,” doanya.

Mungkin penuturan Guru Aduy belum cukup? Penulis pun coba bertanya acak kepada warga yang tinggal di RT 2. Di sana terungkap, Talib memang luar biasa. Tidak ada namanya disebut, kebaikan selalu menyertainya. Talib adalah Ketua RT di sana. Dia terus dipilih masyarakat sejak lama untuk memimpin.

Irwan salah satu warganya saat ditanya apa kebaikan almarhum, sempat kebingungan. “Apa ya? Banyak sekali,” ujarnya. Diminta sebut satu saja, Irwan mengatakan, Talib suka membantu, jemput bola. Jika ada warga kurang mampu, dia yang jemput bola mengurus agar warga dapat bantuan.

Jika ada gotong royong, Talib turun ke lapangan. Di usia tuanya, dia masih aktif sekadar bersih-bersih kampung. “Baik sekali. Dan memang rutin ke masjid salat berjamaah,” kata Ratna warga di sana yang berjualan kue.

Ditanya apakah sosok Talib punya kelebihan semasa hidup. Seperti karomah, atau kebiasaan unik lainnya, warga mengatakan belum ada mendengar. Dia pria biasa, tidak aneh dan neko-neko. Bahkan suka musik.

“Nah Bapak suka dangdut. Kalau nyanyi dia suka,” ujar Jannatun Habibah, anak bungsu Talib di kediamannya. Saat itu dia ditemani semua saudaranya, kakak ke dua Anwar Hamdani, dan kakak pertama Anwar Rizal. Juga ada istri Talib, Jaleha.

Rumah mereka sederhana. Banyak dinding kayu di dapur berlubang. Rumah kayu tua milik orang tua Jaleha.

Anak tertua Talib, Rizal berusia sekitar 33 tahun. Semua anak-anaknya sudah menikah. Menikah di usia muda. Kepada penulis mereka mau bercerita banyak. Selain senang musik, Talib juga suka membaca buku agama, mengaji. Selebihnya biasa. Bekerja jadi tukang bangunan.

Apakah dia keras mendidik di rumah? Tidak kata mereka. Sedari mereka kecil sang ayah terus-menerus berpesan untuk jangan pernah tinggalkan salat. Walau begitu, jika mereka lalai atau nakal, tidak juga Talib marah-marah meledak dan memukul.

Di rumah Talib, mengajarkan anak-anaknya dengan perbuatan. Contoh langsung. “Saya sering dibawa sidin sidin ke tempat kerja waktu kecil,” kenang Hamdani. (*/Radar Banjarmasin)

Exit mobile version