Setelah absen sejak 1998, film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI ditayangkan lagi di televisi terrestrial, tvOne, Jumat malam (29/9). Jawa Pos mewawancarai beberapa sosok penting yang terlibat dalam pembuatan film itu. Tujuannya, memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana film tersebut dibuat sejak 1981 hingga tayang perdana pada 1984.
***
eQuator.co.id – Selama almarhum Arifin C. Noer memimpin produksi film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI, ada sosok yang dengan setia mendampinginya. Dia adalah sang istri Lidia Djunita Pamontjak. Perempuan yang akrab disapa Jajang C. Noer itu membantu sang suami mulai proses praproduksi, produksi, hingga pascaproduksi.
Jajang menegaskan, sang suami membuat film secara independen. Tanpa campur tangan pihak-pihak tertentu. Dia membantah kabar bahwa selama syuting kru dan cast diawasi tentara. Para tentara memang ada di sekeliling lokasi syuting. Namun, mereka bertugas menjaga keamanan dan kelancaran.
Ditemui di rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin (25/9), Jajang mengungkapkan bahwa Arifin adalah sosok yang penuh totalitas. Termasuk ketika menggarap film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI.
”Kalau sudah menerima kepercayaan, Mas Arifin selalu mengerjakan dengan penuh keyakinan,” tutur Jajang.
Detail dan terencana merupakan dua prinsip yang senantiasa dipegang Arifin ketika membuat film. Untuk film yang memuat sejarah besar, Arifin ingin kisah yang dipaparkannya benar-benar mencerminkan kondisi sesungguhnya. Dia berharap film yang diproduseri G. Dwipayana (Dipo) itu bisa menjadi pengingat sejarah untuk generasi selanjutnya.
Arifin sendiri bisa terpilih sebagai sutradara berkat kepercayaan yang diberikan Dipo. Saat itu Dipo yang menjabat Dirut Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN) sedang mencari sutradara. Dipo lantas bertanya kepada salah seorang tokoh. Dari tokoh itulah, Dipo mendapat nama Arifin yang lantas digandeng sebagai sutradara.
Arifin menerima kepercayaan itu sebagai sebuah kehormatan. Dia ingin membuat film yang punya muatan sejarah dan nilai positif. Selama masa-masa sebelum proses praproduksi dimulai, Jajang mengungkapkan bahwa Arifin sudah mempertimbangkan banyak hal. Mulai data yang dibutuhkan untuk skenario, pengadeganan, efek visual, scoring, hingga pemeran para tokoh.
Jajang pun menegaskan bahwa selama pembuatan film, Arifin sama sekali tidak merasa tertekan. Pihak PPFN maupun pemerintah Orde Baru sama sekali tidak mengungkungnya. Agar menghasilkan karya yang mencerminkan sejarah, Arifin ogah setengah-setengah dalam mencari data untuk bahan skenario.
Sebagai data utama, Arifin dibantu sejarawan Nugroho Notosusanto (saat itu menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan) yang memberinya data dan informasi seputar peristiwa G 30 S/PKI. Nugroho adalah sejarawan militer yang menulis buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia. Sejumlah buku dan literatur pun dibaca Arifin agar bahan skenarionya lengkap.
Arifin tidak mau hanya terbatas pada dokumen resmi ataupun literatur. Dia ingin filmnya hidup dengan memasukkan berbagai peristiwa detail secara terperinci. Misalnya, adegan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan para jenderal serta Kapten Anumerta Pierre Tendean. Untuk itu, dia mewawancarai para istri, anak, dan kerabat para pahlawan revolusi yang menjadi saksi penangkapan di rumah masing-masing.
Dibantu Jajang, Arifin mewawancarai keluarga korban G 30 S/PKI. ”Kami tanyakan detail peristiwa dan hal yang terjadi di detik-detik penangkapan para jenderal,” papar Jajang. Dia dan suaminya juga mencatat ucapan atau kalimat yang dilontarkan para saksi saat peristiwa keji itu terjadi. Misalnya, dialog istri Jenderal Besar A.H. Nasution yang bertanya kepada Ade Irma Suryani saat gadis kecil itu tewas tertembak. Atau, jeritan Chatryn Pandjaitan, putri sulung Brigjen Donald Isaac Pandjaitan, ketika melihat ayahnya ditembak para tentara penculik.
Arifin dan Jajang pun menanyakan detail-detail lain. Contohnya, sifat para jenderal, baju yang dikenakan anggota keluarga saat penculikan terjadi, hingga hal terakhir yang dilakukan para jenderal sebelum diculik atau ditembak di rumah masing-masing. ”Semua itu berguna untuk menyusun cerita, menentukan kostum dan properti, serta mempersiapkan make-up,” kata Jajang.
Menurut Jajang, selain riset dan penyiapan properti, proses paling lama dalam penggarapan film adalah mencari pemeran alias casting. Sebab, Arifin mencari pemeran yang benar-benar mirip. Dibantu asisten dan kru film, Arifin berupaya mengamati siapa saja yang punya kemiripan dengan tokoh yang akan diperankan. ”Mereka coba cari di tempat-tempat umum, misalnya, masjid dan gereja,” kata Jajang.
Jika mendapat sosok yang mirip, kru akan mendatangi yang bersangkutan untuk dijelaskan perihal film. Lantas, jika setuju, mereka akan diajak ke kantor PPFN untuk diminta membaca dialog sebagai bagian dari casting. Untuk pemeran figuran yang berjumlah banyak, Arifin meminta bantuan komunitas teater, agensi, dan bahkan tentara sungguhan untuk terlibat dalam filmnya.
Saking detailnya Arifin mengarahkan sebuah adegan, istri Letjen Ahmad Yani, Yayu Rulia Ahmad Yani, sempat shock begitu mengetahui apa yang terjadi terhadap suaminya pada 1965. Ketika peristiwa itu terjadi, Yayu tidak berada di rumah. Anak-anaknyalah yang menjadi saksi penembakan Yani oleh pasukan penculik.
”Begitu lihat adegan penembakan dan jenazah Yani yang diseret, Yayu langsung kaget dan shock,” ujar Jajang.
Setting lokasi syuting pun tak lepas dari sentuhan Arifin. Rumah para jenderal yang menjadi lokasi syuting diatur sedemikian rupa sehingga benar-benar mencerminkan kondisi saat peristiwa penculikan terjadi. Sudut Istana Bogor yang dijadikan lokasi syuting dipilih yang bernuansa lama untuk menghadirkan situasi zaman dulu. Bahkan, Arifin dan krunya sampai menutupi beberapa jendela di markas Kostrad supaya bangunan-bangunan baru yang belum ada pada 1965 tidak terlihat.
Agar semua adegan bisa dieksekusi secara detail, Arifin punya metode khusus. Sebelum syuting, dia mengajak semua aktor, aktris, dan kru yang terlibat dalam sebuah adegan untuk berlatih atau semacam tes kamera. Latihan dilakukan beberapa kali hingga menurut Arifin syuting siap dimulai. Benar saja. Selama proses syuting, hampir tidak ada kesalahan berarti lantaran para kru dan pemeran sudah terlatih.
Untuk adegan penyiksaan, Jajang mengungkapkan bahwa Arifin telah memperhalusnya. Sebab, sang sutradara tak sampai hati jika harus memasukkan adegan-adegan penyiksaan ekstrem.
”Dia (Arifin, Red) mikir, ’Masak sih sampai setega dan seamoral itu?’ Makanya, adegan penyiksaannya tidak brutal banget,” ungkap Jajang.
Jajang ditugasi menjadi script girl. Yakni, orang yang mencatat setiap detail adegan. Mulai dialog, busana, riasan, hingga properti yang digunakan. Tujuannya, mempertahankan kontinuitas ketika proses editing. Artinya, ada kesinambungan antara satu adegan dan adegan lain.
Saking kerasnya kerja Arifin beserta kru, dalam sehari, mereka hanya istirahat dua kali. Yakni, saat salat Duhur dan Magrib. Ketika itu para kru melakukan salat, makan, atau istirahat. Arifin sendiri sesekali masih mengecek skenario atau mengamati kondisi sekitar alias mempersiapkan set untuk syuting selanjutnya. Supaya tidak terlampau lelah, setiap sepuluh hari sekali, para kru dan cast akan libur sehari sebelum melanjutkan syuting.
Lewat proses syuting yang panjang sejak 1981, film pun dirilis pada 1984. Berkat naskah yang didasarkan pada data yang kaya dan pemaparan saksi mata, film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI sukses mengantarkan Arifin sebagai peraih Piala Citra Festival Film Indonesia 1984. Dia menang di kategori Skenario Terbaik. Film itu pun diputar setiap tahun hingga 1997 tiap 30 September. Beberapa tahun tak diputar, Jumat (29/9) film itu kembali diputar di televisi terrestrial tvOne. (Jawa Pos/JPG)