Kisah Bibi Pecal Wujudkan Impian Naik Haji

Lebih 50 Tahun Jualan, Tak Pernah Mencuri Listrik

MIMPI NAIK HAJI TERWUJUD. Ibu Tuna (tengah), penjual pecal yang berhasil mewujudkan mimpinya untuk menunaikan ibadah haji tahun ini, didampingi anaknya Marhan (kopiah putih) dan Hendra H. Fattah, jamaah lain asal Kota Pontianak. HENDRA FOR RAKYAT KALBAR

Datang ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji merupakan mimpi terbesar yang dimiliki Tuna. Kisah ibu penjual pecal berusia 70 tahun yang biasa menggelar dagangannya di pojok halaman Universitas Nahdatul Ulama, jalan KH Ahmad Dahlan Pontianak, ini diceritakan oleh seorang jamaah haji Pontianak, Hendra H. Fattah, langsung dari Mekkah.

***

eQuator.co.id – Meski sudah berusia lanjut, tak membuat Ibu Tuna berhenti untuk mencari nafkah. Baginya aktivitas berjualan pecal merupakan bagian dari fitrah hidup yang harus dijalaninya dengan penuh keikhlasan.

Untuk mempersiapkan segala keperluan dagangannya, Ibu Tuna ditemani Marhan. Anak keduanya yang berusia 44 tahun itu rela menerobos dinginnya pagi untuk berbelanja ke pasar. Tanpa terasa, rutinitas belanja dan berjualan pecal (bibi pecal) sudah dijalani Ibu Tuna lebih dari 50 tahun.

“Seingat saya, awal berjualan pecal ini saya lakukan saat harga daging sapi masih 2.500 rupiah. Sudah lama sekali. Anak saya yang pertama saat itu masih duduk dibangku Sekolah Dasar,” kenang Ibu Tuna polos, dengan logat Maduranya yang masih kental.

Hasil dari berjualan pecal juga menghantarkan beberapa anaknya meraih gelar sarjana. Ada yang jadi guru dan pegawai di Instansi Perintahan. Keberhasilan nenek beranak 5 dan bercucu 11 ini membuat anak-anaknya hidup mandiri tentu merupakan kebahagiaan tersendiri baginya.

“Alhamdulillah, usaha mendidik dan menyekolahkan anak-anak hingga dapat hidup secara mandiri merupakan kebahagiaan yang tak terhingga buat saya. Namun keinginan terbesar di ujung usia saya adalah pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji”, ungkapnya.

Keinginan tersebut didukung keyakinan dalam dirinya, bahwa jika sudah dipanggil oleh Allah SWT pasti ada jalan untuk menuju ke tanah suci. Keyakinan itu pula yang membuat Ibu Tuna berusaha menyisihkan sebagian hasil jualan pecalnya. Rupiah demi rupiah disimpannya hingga hampir sepuluh tahun. Akhirnya, keinginan untuk naik haji pun terwujud. Tidak hanya dirinya, anak keduanya pun bisa berangkat mendampinginya.

“Setiap hari saya berjualan mulai pukul lima sore, dan berakhir kadang lewat tengah malam. Selain menu pecal cingur, saya juga jual mi goreng dan mi rebus. Untuk semua jenis makanan yang saya jual, saya patok dengan harga 10 ribu rupiah saja untuk setiap porsinya,” beber dia.

Dikatakannya pula, dalam mencari rezeki, tak pernah berharap banyak. Berapapun yang didapat setiap kali berjualan selalu disukuri. Yakin bahwa itulah yang Allah SWT tetapkan.

“Kita harus ikhlas atas apapun yang Allah SWT berikan, termasuk rezeki yang kita dapatkan setiap hari. Tak perlu banyak, yang penting barokah. Menurut saya hidup ini sederhana, jalani dengan ikhlas dan jangan berpikir yang macam-macam. Berbuat baik dengan orang-orang di sekitar kita, insya Allah hidup kita akan tenang, sehat dan bahagia,” papar Ibu Tuna.

Bahkan, di pondok kecil tempatnya berjualan, ia tak ingin mengandalkan bantuan orang lain, termasuk urusan listrik. Biasanya, lapak berjualan pedagang kecil seperti Ibu Tuna ini mencantol listrik dari bangunan sekitarnya. Namun hal itu tidak dilakukan Ibu Tuna. Ia dan anaknya telah lama memasang listrik dengan daya 450 VA, cukup untuk menghidupkan lampu untuk menerangi pondok tempatnya berjualan.

Saat ditanya keinginan lain Ibu Tuna dalam hidupnya, nenek yang masih kelihatan bugar ini mengaku tak banyak lagi keinginan dalam menjalani hidup.”Bagi saya yang terpenting adalah saya dan anak-anak serta cucu sehat semua. Jika ada rezeki lebih saya ingin membantu orang lain dan sesekali berziarah ke makam orangtua di Madura,” tandasnya, polos. (*)