Kim Lagi-lagi ke Xi

Pak Pong-ju

eQuator.co.id – Bukan main dinamisnya perkembangan di Asia Timur. Kim Jong-un bikin berita lagi. Pemimpin tertinggi Korut itu ke Beijing lagi. Rabu lalu. Untuk ketiga kalinya. Hanya dalam waktu tiga bulan.

“Kami ini seperti sebuah keluarga,” komentar Kim setelah pulang ke Pyongyang. “Kalau ada masalah kami selesaikan seperti penyelesaian dalam keluarga,” tambahnya.

Humoris akan mengatakan kunjungan ketiga itu hanya untuk mengucapkan terima kasih. Khususnya kepada Presiden Xi Jinping. Yang telah meminjamkan pesawat Boeing 747 itu. Milik perusahaan penerbangan Air China itu. Untuk ke Singapur itu. Bertemu Donald Trump itu. Kan Kim tidak bisa kirim ucapan terima kasih lewat WA?

Humoris mungkin juga menduga justru Xi Jinping yang minta maaf. Hanya bisa meminjamkan pesawat komersial. Bukan pesawat khusus kepresidenan.

Tiongkok memang tidak punya pesawat kepresidenan. Sejak dulu. Presidennya selalu sewa pesawat Air China. Yang diubah dalamnya. Disesuaikan dengan standar pesawat kepresidenan. Seperti zaman Pak ‘enak zaman saya dulu tho?’ Harto. Yang selalu pakai pesawat Garuda. Ke mana pun pergi.

Begitulah presiden-presiden Tiongkok. Dan pesawat Air China itu yang dipinjamkan ke Kim. Untuk ke Singapura itu.

Jangan salah. Air China, bukan China Air. Air China milik Tiongkok. China Air milik Taiwan.

Humor itu barangkali salah. Lihatlah: kali ini Kim didampingi orang yang nama depannya Pak. Bukan Park. Yakni: Pak Pong-ju. Umur: 79 tahun.

Saya ingat nama Pak itu pernah jadi berita 10 tahun lalu. Kemudian tiba-tiba lenyap. Tidak ada kabarnya sama sekali. Seperti ditelan bumi. Bumi komunis.

Pak adalah ahli ekonomi. Ia pernah mendapat angin dari penguasa Korut saat itu: Kim Jong-il. Ayahanda Kim Jong-un. Anno: 2003. Saat Via Vallen masih jadi pengamen jalanan.

Inilah yang dilakukan Pak pada tahun 2003: meninggalkan sistem ekonomi komunis. Yang terbukti bikin negara sama-rata-sama-rasa-miskinnya.

Jabatan resmi Pak saat itu memang amat tinggi: perdana menteri. Siap membalik Korut. Reformasi ekonominya itu ia beri nama: Tindakan 1 Juli.

Intinya: seluruh BUMN diberi otonomi. Dan harus bikin laba. Perencanaan pembangunan harus didesentralisasi. Kebijakan negara harus probisnis. Sistem keuangan tidak boleh diintervensi partai.

Angin segar pun mulai bertiup. Korut akan mengadopsi sistem di Tiongkok: politiknya otoriter, ekonominya liberal. Ideologinya komunis, ekonominya pasar.

Pak juga membangun special economic zone. Di dekat perbatasan dengan Korsel. Masuklah modal asing. Di zona ekonomi khusus itu. Utamanya modal dari Korsel.

Tapi partai tidak puas. Pak jadi bulan-bulanan kritik. Dianggap  akan menghancurkan ideologi negara. Begitu kerasnya gerakan politik itu.

Pak kalah. Disingkirkan dari posisi perdana menteri. Dipecat sebagai pengurus partai. Hilang. Lenyap. Ditelan magma.

Tak lama kemudian Kim Jong-il kena serangan jantung. Meninggal. Anak termudanya tampil. Kim Jong-un. Yang begitu muda. 29 tahun. Yang begitu gendut. Yang begitu galak di awalnya. Saat memulai membangun kekuasaannya. Agar tidak ada yang menolak posisi barunya. Pamannya sendiri pun ia hukum mati.

Tapi istrinya begitu cantik. Kakak perempuannya begitu cerdas. Dua wanita ini kelihatannya sangat dekat dengan Kim. Juga sangat berpengaruh. Dalam mengubah pendirian Kim.

Tujuh tahun pun berlalu. Kim sudah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya. Dan Kim berubah: mau mengakhiri program nuklirnya. Mau menghentikan permusuhan dengan Korselnya. Mau membongkar pengeras suara di sepanjang perbatasannya. Mau menyamakan waktu dengan Korsel.

Dan… mau mengangkat kembali Pak Pong-ju jadi perdana menteri. Dan mengajaknya ikut berkunjung ke Beijing.

Kian jelaslah bahwa Kim akan serius membangun ekonomi Korut. Lewat Pak Pong-ju.

Begitu ngebetnya Kim bertemu Xi Jinping lagi. Seperti tidak sabar ingin mengejar ketertinggalannya.

Kalau saja Kim berhasil membangun Korut dalam 30 tahun? Seperti Tiongkok? Kim masih bisa menikmati hasilnya. Saat itu nanti umurnya baru 66 tahun: sama dengan umur pengagum Via Vallen saat ini. (dis)