Untuk apa sampai perlu mengejar gelar profesor?
Bagi Kiai Asep Saifuddin Chalim tujuannya konkret sekali: ingin membuka universitas internasional.
Dan ia sendiri yang akan memimpinnya.
Dan itu harus terjadi dalam lima tahun ini.
Hakekatnya beliau sudah mampu melakukan itu tanpa gelar profesor. Baik dari segi finansial, jaringan, kapasitas intelektual, maupun ide besar. Dan utama dari track record-nya di bidang pembangunan pendidikan.
Tapi persyaratan formal dari pemerintah mengharuskan gelar doktor dan profesor.
”Inilah penganugerahan gelar profesor yang tidak perlu mempersoalkan hakekatnya. Ini hanya syari’atnya saja,” ujar Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
Sang rektor, Prof. Dr. Masdar Hilmy adalah orang Tegal dengan gelar doktor dari Melbourne University. Sejak muda Masdar sudah menjadi penulis di koran nasional, termasuk Kompas. Tema tulisannya biasanya tentang multikulturalisme.
Masdar tahu persis kapasitas dan hasil karya Kiai Asep. ”Beliau sebenarnya sudah tidak memerlukan gelar ini,” kata Prof. Masdar Hilmy dalam pidatonya Sabtu lalu.
Untuk mendirikan perguruan tinggi internasionalnya itu Kiai Asep sudah menyiapkan tanah 60 hektare. Lokasinya di Pacet, di perbukitan cukup indah di selatan Mojokerto, Jatim.
Di Pacet itu pula Kiai Asep membangun pondok pesantren. Sudah dilakukan.
Tergolon baru: tahun 2007. Tapi perkembangannya luar biasa pesat : mutunya, sistem pengajarannya maupun fisik kampusnya.
Areal tanahnya bertambah terus. Tiap bulan beli tanah baru. Awalnya hanya 1 hektare. Kini sudah mencapai 40 hektare lebih. Dan akan segera menjadi 100 hektare.
Siswanya juga terus bertambah.
Kini sudah lebih 10.000 orang. Belum ada pesantren baru yang kepesatan pertumbuhannya secepat itu.
Nama pesantren tersebut: Amanatul Ummah. Tidak ada hubungannya dengan Partai Amanat Nasional –yang dibidani Muhammadiyah itu. Kiai Asep adalah tokoh NU (Nahdlatul Ulama). Bahkan ia jadi NU sudah sejak sebelum lahir. Ayahnya adalah salah satu kuai besar pendiri NU –Kiai Abdul Chalim.
Sebetulnya Kiai Asep sudah pula mendirikan perguruan tinggi di Pacet itu. Saya ikut peresmiannya, empat tahun lalu. Lokasinya di sebelah Amanatul Ummah.
Namanya: Institute Abdul Chalim –untuk menghormati bapaknya. Sudah pula memiliki mahasiswa dari 10 negara.
Tapi Kiai Asep belum puas dengan semua itu. Ia akan terus mengembangkan pendidikan. Sampai terbayar ”dendam” nya waktu kecil.
Waktu itu awal Orde Baru. Sepanjang jalan di Jatim –arah Pandaan– banyak berdiri pabrik baru. Mayoritas milik asing.
Ia pun berpikir siapa yang akan bekerja di situ. Pasti hanya yang berpendidikan dan yang pintar. Tidak mungkin pribumi Islam bisa bekerja di situ.
Maka Asep muda menetapkan arah hidupnya: meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Lewat pendidikan.
Itu tidak mudah. Ayahnya meninggal saat Asep masih kelas 2 SMPN 1 Sidoarjo. Tidak ada lagi kiriman bekal hidup.
Apalagi ia anak bungsu dari 21 bersaudara.
Kisah Asep di SMP ini dituturkan dengan sangat baik oleh . Gatot Sujono –teman satu kelasnya.
Di forum penganugerahan itu Gatot –juga saya– diminta memberikan testimoni. Tugas itu ia laksanakan dengan amat menarik dan lucu.
Saat sekolah di SMP dulu Asep tinggal di pondok pesantren Al Khoziny –yang didirikan oleh KH Abbas Khozin.
Ayahnyalah yang menitipkan Asep kecil di situ. Sang ayah memang pernah lama di Jatim –berguru ke KH Wahab Chasbullah yang juga salah satu pendiri NU.
Di pondok itu semua santri masak sendiri –kecuali Asep. Itu karena Asep tidak punya bahan yang bisa masak.
Tengah malam barulah Asep ke dapur. Ia mencucikan tempat masak santri lainnya –yang biasanya digeletakkan begitu saja tanpa dicuci. Tujuan lainnya: mendapatkan sisa nasi yang biasanya tertinggal di dasar tempat tanak. Yakni nasi yang sudah jadi intip-kerak.
Semua alat masak temannya bersih. Ia pun dapat makanan –sekali itu dalam sehari.
Di pondok itu Asep belajar kitab-kitab agama di malam hari. Pagi-pagi berjalan kaki ke SMPN 1 Sidoarjo –sejauh sekitar 5 Km.
Asep juga hanya mempunyai satu buku tulis –pelajaran apa pun ditulis di satu buku situ.
Gatot berteman akrab karena satu bangku dengan Asep di pojok paling belakang.
Pun waktu keduanya meneruskan sekolah di SMAN 1 Sidoarjo.
”Beliau itu pemberani. Waktu main sepak bola satu-satunya yang tidak pakai sepatu. Beliau tidak takut terinjak sepatu bola,” ujarnya.
Selama bersahabat, seingat Gatot, hanya sekali bertengkar. Tapi seru sekali. Dan lama sekali.
Penyebabnya tidak sepele. Itu terjadi waktu Gatot menulis cerita pendek. Tulisannya disalahkan oleh Asep. Gatot tidak mau terima itu.
Itu soal bunyi kokok ayam jantan.
”Bunyi kokok ayam jantan kok kukuruyuk,” ujar Asep seperti yang ditirukan Gatot.
Waktu itu Gatot lagi mendiskripsikan datangnya fajar pagi. Yang biasa ditandai dengan kokok ayam jantan: kukuruyuuuuuuuk!
”Bunyi kokok ayam itu kongkorongkoooong,” ujar Asep memberikan koreksi.
Pertengkaran pun terjadi.
Tidak pernah terselesaikan.
Lalu Asep berhenti sekolah di kelas 2 SMA itu. Tidak ada lagi biaya setelah sang ayah meninggal dunia. Ia pun pamit kepada kiai pondok Al Khoziny.
”Waktu itu beliau sudah pandai matematika, bahasa Inggris dan bahasa Arab,” ujar Gatot.
Pamit ke mana?
Tidak tahu. Asep tidak punya tujuan pasti hendak ke mana. Ia pun berjalan ke timur. Ke arah Lumajang. Lalu Jember. Banyuwangi. Probolinggo. Akhirnya berhenti di Pasuruan. Ia mengajar matematika di sebuah sekolah di pedesaan Pasuruan.
Perjalanan itulah yang terpatri dalam otak dan hatinya: saat melihat banyaknya pabrik PMA di sepanjang jalan.
Saat meninggalkan pondok dan SMA Sidoarjo itu Asep hanya membawa satu tas. Isinya pun hanya dua stel baju dan dua buku: kamus bahasa Inggris dan Arab.
Di Pasuruan itu Asep ikut ujian persamaan SMA. Lulus. Lalu masuk IKIP Surabaya –jurusan bahasa Inggris.
Dengan bekal ijazah sarjana muda Asep bisa mengajar lebih resmi. Lalu kuliah lagi di jurusan bahasa Inggris di IKIP Malang. Sampai menjadi sarjana.
Ia masih kuliah lagi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk jurusan sastra Arab. Sampai sarjana muda.
Saat di Surabaya itu Asep mendirikan pondok pesantren. Yakni di Siwalankerto –sekitar 2 Km dari UIN Surabaya sekarang ini.
Asep tahu untuk mendirikan sekolah diperlukan syarat formal kesarjanaan. Ia pun kuliah S2 di Universitas Islam Malang. Lalu S3 di Universitas Merdeka, juga di Malang. Dan kini Asep menjadi Prof. DR. KH Asep Saifuddin Chalim.
Presiden Joko Widodo hadir di acara pengukuhan Sabtu lalu. Saat menuju panggung Presiden Jokowi menghadap ke senat guru besar dulu. Lalu membungkuk khusu’ memberi hormat. Demikian pula setelah turun dari podium. Kembali menghadap senat dan kembali membungkuk hormat.
”Bapak Presiden Jokowi itu orang sholeh,” ujar Kiai Asep saat memulai pidato. Waktu itu presiden belum tiba di tempat penganugerahan. ”Tempat yang disinggahi orang sholeh akan mendapat berkah,” tambahnya.
Kiai Asep memang memegang peran utama atas kemenangan telak Jokowi di Jatim. Padahal kalau suara di Jatim imbang saja, Prabowo lah yang menjadi presiden sekarang ini.
Gatot sendiri berpisah total dari Asep. Setamat SMA Gatot melamar kerja di kementerian keuangan. Ia ditempatkan di kantor bendahara negara di Samarinda.
Sebelas tahun Gatot di Kaltim. Sambil kuliah ekonomi di Universitas Mulawarman. Di Samarinda pula ia menemukan isterinya sekarang –anak orang Malang yang juga merantau ke Samarinda.
Gatot lantas mendapat bea siswa ke Amerika. Ia kuliah di University of Delaware di Newark. Lalu mendapat bea siswa lagi untuk gelar doktor di Universitas Negeri Malang.
Setelah pensiun kini Gatot ikut mengajar di Institute Abdul Chalim milik Asep.
Pertengkaran saat SMA pun berakhir. Itu karena Gatot akhirnya tahu: di Jawa Barat bunyi kokok jago adalah ‘kongkorongkooong’.
Gatot sama sekali tidak tahu kalau Asep itu anak kelahiran Majalengka –anak kiai besar di sana. ”Selama di SMA beliau menggunakan bahasa Jawa yang halus,” ujar Gatot.
Saya ikut memberikan pidato testimoni di forum penganugerahan itu. Saya ingat saat ingin salat subuh di Pacet. Saya berangkat dari Surabaya jam 3 pagi. Tapi saat tiba di Amanatul Ummah sudah agak telat: mendapat tempat salat di emperan masjid.
Habis salat Subuh tidak ada yang keluar masjid. Diteruskan dengan kajian kitab kuning. Semua santri membuka kitabnya. Saya ikut kitab santri di sebelah saya.
”Siapa yang mengajar itu,” tanya saya kepada santri di sebelah saya.
”Beliaunya Kiai Asep,” jawab si santri.
Oh… Inilah kunci sukses Kiai Asep, kata saya dalam hati. Beliau total sekali dalam mengurus lembaga pendidikannya. Termasuk masih mengajar sendiri untuk kajian tertentu.
Ternyata, tiap hari, Kiai Asep berangkat dari pondoknya di Siwalankerto Surabaya ke Pacet.
Tiap pukul 02.30 pagi.
Tiap hari. (Dahlan Iskan)