Dari Lombok saya langsung ke Tebu Ireng, Jombang. Kemarin. Itu sudah hari ketiga sejak KH Salahuddin Wahid meninggal dunia di Jakarta.
Di gerbang pondok pesantren itu saya disambut Gus Irfan. Beliau adalah salah satu dari 12 cucu KH Hasyim Asy’ari yang masih ada. KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri Tebu Ireng. Beliaulah ayah Menteri Agama KH Wahid Hasyim. Beliaulah kakek Presiden Abdurrahman Wahid.
“Mungkin karena sudah empat bulan tidak ketemu sehingga DI’s Way menulis cucu Kiai Hasyim Asy’ari sudah habis. Saya tertawa,” ujar Gus Irfan.
Saya tahu DI’s Way telah membunuh 12 cucu yang masih ada itu –tanpa menguburkannya.
Empat bulan yang lalu –dan bulan-bulan sebelumnya– saya memang runtang-runtung dengan Gus Irfan. Termasuk bermobil bersama jalan darat dari Jakarta ke Surabaya.
Saya pun, dulu, sering bertemu ayah beliau: KH Yusuf Hasyim.
Gus Irfan tidak pernah mau tampil menjadi kiai utama Tebu Ireng.
KH Yusuf Hasyim, ayah Gus Irfan, memang pernah menjadi kiai utama di pondok itu. Tapi anaknya tidak harus otomatis menjadi pengganti sang ayah.
Demikian juga ketika Gus Sholah –nama panggilan almarhum KH Ir Salahuddin Wahid– meninggal. Bukan anak Gus Sholah, Ipang Wahid, yang menjadi penggantinya.
Padahal Ipang punya kemampuan leadership yang unggul. Ipang yang pernah menjadi sutradara banyak film Indonesia itu lantas beralih ke konsultan politik. Ia begitu dekat dengan presiden. Jasanya sangat besar untuk kemenangan Presiden Jokowi. Di periode pertama maupun kedua.
Ipang-lah yang di hari-hari duka ini menjadi tuan rumah di Tebu Ireng.
Waktu saya masuk ruang tamu, masih banyak pelayat yang di rumah itu. Ipang bercerita bagaimana almarhum ayahnya di hari-hari akhir beliau.
Ketika ibunya muncul dari ruang dalam, Ipang berdiri. Ganti ibunya yang bercerita. Mulai Gus Sholah masuk RS Harapan Kita sampai jantung almarhum sukses diablasi –dan kemudian boleh pulang. Tapi Gus Sholah harus masuk RS lagi. Diketahuilah banyak cairan di jantung beliau. Cairan itu lantas disedot. Mencapai 500 mililiter. Ternyata cairan itu muncul lagi di jantung beliau. Disedot lagi. Tiap setengah jam.
Dokter pun sempat curiga. Jangan-jangan telah terjadi kesalahan dalam proses ablasi. Meski rasanya tidak mungkin. Untuk memastikannya dokter memutuskan membuka dada almarhum. Dilihatlah kondisi fisik jantung beliau. “Ternyata dokter tidak menemukan kesalahan apa pun dalam proses ablasi,” ujar Ny. Farida, istri Gus Sholah.
Kondisi Gus Sholah pun kian serius. Jam 4 sore Ny Farida bertanya ke dokter. “Secara teknis-medis apakah masih ada harapan?“ ujar Ny Farida menirukan pertanyaannyi ke dokter.
“Harus lebih banyak doa,” jawab dokter seperti ditirukannyi.
Dari jawaban itu Ny Farida tahu bahwa Gus Sholah sudah sulit diselamatkan. Maka ditanyakan lagi kemungkinan berikutnya.
“Secara teknis-medis kira-kira bisa bertahan berapa lama?” tanyanyi seperti ditirukannyi.
“Paling lama sampai jam 12 malam,” jawab dokter, seperti yang ditirukan beliau.
Sejak itu Ny Farida bersama tiga anaknyi terus di sebelah Gus Sholah. Sang ibu terus memegang telapak tangan kanan Gus Sholah. “Dia yang memegang telapak tangan kiri,” ujar Ny Farida sambil menatap putrinyi, Acha, yang berdiri di belakang ibunyi.
Di saat bersamaan, Ipang terus menempelkan mulutnya di telinga kanan sang ayah. Adik Ipang, Billy, menempelkan mulut di telinga kiri.
Mereka terus membisikkan kalimat-kalimat pengingat Tuhan ke telinga Gus Sholah. Tidak pernah berhenti. Sampai pun jam 12 malam, misalnya –saat diperkirakan Gus Sholah meninggal dunia.
Tapi pada jam 8.50 malam itu pintu ruangan terbuka. Ada sapa “Assalamualaikum” dari orang yang masuk saat itu. Ternyata itu Prof Yoga, salah satu dokter beliau di RS Harapan Kita.
Melihat dokter masuk, mereka tetap memegangi dan membisiki Gus Sholah dengan kalimat-kalimat pujian pada Tuhan.
“Sebenarnya Gus Sholah ini sudah wafat,” ujar sang dokter seperti ditirukan Ny. Farida.
Mereka pun melepaskan Gus Sholah. Selama itu mereka sama sekali tidak mengira Gus Sholat sudah wafat.
Mereka menyangka akan mengetahui saat-saat terakhir Gus Sholah meninggal dunia. Bukankah biasanya detik terakhir itu ditandai dengan gerakan tertentu? Dan orang yang memeganginya akan bisa merasakan gerakan itu?
“Kami berempat sama sekali tidak merasakan ada gerakan apa pun,” ujar Ny Farida.
Begitu damainya perjalanan terakhir nafas Gus Sholah.
Khusnul khotimah.
Amin.
Dari kediaman Gus Sholah ini saya menuju makam. Yang letaknya hanya beberapa belas langkah di depan rumah itu.
Di makam itulah Presiden Gus Dur dimakamkan. Di situ juga Gus Sholah dikebumikan.
Begitu banyak orang yang datang. Termasuk yang dari Blitar, Bondowoso, Situbondo, dan banyak lagi. Mereka duduk bersila untuk mengucapkan tahlil di dekat makam itu.
Saya pun beralih lagi ke rumah induk di Pondok Tebu Ireng itu. Yang hanya tiga rumah di sebelah rumah Gus Sholah. Saya masih juga terus bersama Gus Irfan.
Di rumah induk inilah saya ditemui Gus Kikin. Yang nama lengkapnya adalah Abdul Hakim Mahfudz.
Suguhan tamu di situ banyak sekali. Saya pilih makan duku saja. Yang sangat manis dan lezat itu.
Gus Kikin itulah yang telah ditunjuk menggantikan Gus Sholah menjadi pimpinan tertinggi Tebu Ireng.
Kami duduk bersila di ruang depan rumah induk itu. Ngobrol banyak hal. Tapi saya yang memulai bicara.
“Jadi, Gus Kikin ini ternyata mondok di mana-mana ya?” kata saya. Ada semacam permintaan maaf di balik pertanyaan itu.
“Awalnya di pondok Sunan Ampel, lalu ke pondok Seblak,” ujar Gus Kikin. “Setelah itu lebih banyak ngaji ke ayah,” tambahnya.
Pondok Sunan Ampel adalah pondok kecil di dalam kota Jombang. Sedang lokasi pondok Seblak hanya selemparan batu dari Tebu Ireng.
Ayah Gus Kikin sendiri seorang kiai. Ibunya adalah sepupu Gus Dur. Kakek dari ayahnya juga kiai besar, KH Maksum. Yang karya beliau menjadi buku pegangan di pesantren: Kitab Amshilatut Yashrifiyah.
Itulah kitab etimologi yang sampai sekarang masih diajarkan di Pondok Tebu Ireng.
Kini Gus Kikin sendiri yang mengajarkan kitab kuning itu kepada para santrinya.
Gus Kikin juga masih mengajarkan kitab kuning populer lainnya: Durusul Falaqiyah.
Dari pesantren itu Gus Kikin masuk akademi yang tidak akan Anda sangka: Akademi Pelayaran di Jakarta. Sampai selesai. Sampai memiliki kemampuan mengemudikan kapal.
Setamat akademi itu Gus Kikin berkarir di BUMN: menjadi pegawai Djakarta Lloyd. Dengan karir yang moncer pula: umur 30 tahun sudah menjadi kepala cabang di Cilegon.
Itulah masa jaya Djakarta Lloyd. Dengan grup band terkemukanya: D’Lloyd.
Setelah lebih 10 tahun di Djakarta Lloyd –dan pindah-pindah ke beberapa cabang– Gus Kikin pun keluar. “Saya melihat ada yang tidak sehat di situ. Suatu saat akan bahaya,” ujar beliau.
Saat kelak Djakarta Lloyd benar-benar di bibir kebangkrutannya Gus Kikin sudah lama jadi pengusaha. “Saya jadi eksportir,” ujarnya.
Yang diekspor adalah komoditi seperti pinang, minyak atsiri, dan banyak lagi. Tujuan utamanya Korea Selatan.
Belakangan Gus Kikin punya usaha minyak dan gas bumi. Sumur pertama gasnya ada di Madura. Tepatnya di Sumenep. “Sebentar lagi gasnya sudah mengalir,” kata Gus Kikin.
Luar biasa.
Dan Kini Gus Kikin menjadi kiai utama di Tebu Ireng. Waktunya pun akan terbagi di tiga lokasi: Surabaya, Jakarta, dan Tebu Ireng.
Inilah babak baru dunia perkiaian Indonesia.(Dahlan Iskan)