Ketika Wiji Thukul Betapok di Pontianak

Perjuangan Demokrasi Lewat Kata-kata

PERNAH BANTU WIJI. Martin Siregar (kanan) yang membantu Wiji Thukul saat di Pontianak dan istrinya (tengah) hadir di pemutaran perdana film "Istirahatlah kata-kata" di bioskop Ayani Megamall Pontianak, Kamis (19/1). I Gde Kharisma Yudha Dharma-RK

eQuator.co.id – Pontianak RK. Hampir dua dekade, akhirnya pemberangusan demokrasi, kebebasan berpendapat, oleh rezim Orde Baru, bagaikan mengulangi sejarah ketika film Istirahatlah Kata-Kata (IKK) diputar serempak di 19 kota bertepatan 19 tahun hilangnya Wiji Thukul, Kamis (19/1).

“Ada kebanggaan kita sebagai masyarakat Kalimatan Barat, bahwa pada masa pra reformasi Kota Pontianak punya andil masuk dalam lintasan perjuangan 1996-1999 yang bersejarah bagi demokrasi,” ungkap dr. H Jarot Winarno, M.Med.Ph, seusai menyaksikan pemutaran perdana film IKK, pukul 11.30 di Bioskop XXI A Yani Megamall, kemarin.

Perasaan senada terungkap juga dari Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kalbar, Kartius,SH.MSi yang juga menonton IKK, kemarin.

“Film ini sangat mendalam buat saya, menginspirasi, dan saya mengapresiasi film ini karena merupakan kolaborasi orang Jakarta, Jogya, dan Kalimantan Barat,” katanya kepada Rakyat Kalbar.

“Selama ini orang menganggap Kalbar adalah hutan. Tapi film ini menunjukan bahwa anak Kalimantan hari ini bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan orang-orang hebat dari tempat lain. Saya sangat bangga dengan film ini karena sudah mengangkat Pontianak, dan ini harus terus dilanjutkan,” tambah Kartius.
Tak hanya pemutaran perdana, diskusi membahas film itu di Canopy Center, Jalan Purnama 2, memberikan nuansa yang kental akan nilai perjuangan kebebasan. Diskusi melibatkan pemerhati film, tim produksi, artis pendukung, instansi pemerintah, awak media, hingga rekan-rekan Wiji Thukul semasa di Pontianak.
“Terima kasih sudah hadir di sini. Ini penayangan perdana dan akan ada penayangan berikutnya sampai bioskop kehabisan penonton untuk menyaksikan film Istirahatlah Kata-kata” ujar Yosep Anggi Noen, sutradara IKK.

Ia mengajak semua kawula muda, pelajar dan mahasiswa serta masyarakat Kota Pontianak menonton IKK, yang melalui matanya, teman-temannya, yang membuat film didukung banyak sekali elemen-elemen yang ada di Pontianak.

“Saya berharap pemangku pemerintahan di sini dapat melihat lagi bahwa film punya potensi untuk mengenalkan Kota Pontianak,” tambahnya.

Yosep berharap adanya hubungan kemitraan antara pemerintah daerah dengan komunitas film untuk mencitrakan Pontianak ke dunia lewat film. Semoga tidak hanya nonton bersama, “Terima kasih Pontianak dan energinya, 80 persen kita syuting di sini, 40 persen pemain dan kru juga berasal dari sini. “Ini adalah hasil kerja dan dukungan dari Pontianak”, ungkapnya.
Aktris cantik Marissa Anita yang berperan sebagai Sipon, istri Wiji Thukul,  juga berterima kasih atas segala dukungan. Pontianak menjadi sebuah tempat yang spesia, dan orang-orang di sini juga spesial bagi Marissa sehingga bikin premier disini. “Semoga film ini bisa dinikmati, dan juga menjadi satu titik yang akan mengisi sejarah Indonesia yang mungkin pernah hilang,” ungkapnya.

Kata Marissa, setelah 19 tahun akhirnya Wiji Thukul bisa kembali bersuara di 19 Januari 2017. Ia berharap teman-teman mengajak semua keluarga menonton IKK.

“Agar Wiji akan terus panjang nafasnya. Wiji ini hanyalah salah satu suara dari sekian banyak suara yang waktu itu bersuara memperjuangkan demokrasi. Jadi kita bisa jadi penerus suara Wiji,” ujar Marissa.
Produser Yulia Evina Bhara dalam kesempatan diskusi menyampaikan apresiasi dan penghargaan kepada sejumlah orang yang berjasa hingga lahirnya film ini. Disebutnya nama-nama yang sangat mendukung IKK.

“Hormat saya sebesar-besarnya kepada Bang Martin Siregar, ada Bang Thomas, ada Darlip, sayang Djuweng tidak bisa hadir. Mereka adalah teman-teman di Pontianak pada waktu itu memberikan rumah yang aman untuk Wiji Thukul,” ungkap Yulia.

Dia juga yakin hari ini, karya yang dikerjakan oleh anak-anak muda dari Pontianak, Jakarta dan Jogyakarta, adalah hutang kita kepada mereka yang dahulu berjuang dan berkorban. “Dan mungkin bisa kita bayar dengan melakukan kerja-kerja agar pemikiran Wiji Thukul bisa terus ada dan berlipat ganda, terima kasih.”
Salah satu artis pendukung dari Pontianak, Edwin Setiadi Raharja yang akrab disapa Winx, berperan sebagai Darlip. Dia vokalis band Coffternoon. Winx sebagai Darlip, memerankan mahasiswa Untan yang turut membantu Wiji Thukul ketika bersembunyi di Pontianak.

“Secara pribadi menurut saya film ini menawarkan beberapa hal yang patut kita cari tau. Pertama dari segi sejarah, mungkin beberapa dari kita cuma tau kalau Wiji Thukul seorang penulis puisi, penyair, dan segala macam. Mungkin ada yang belum tau kalau Wiji Thukul pernah melarikan diri ke Pontianak,” kata Wynx.

Dari sisi pengambilan gambar, juga memberikan nuansa yang intens dengan artistiknya sebuah film yang tidak biasa-biasa saja. Wyng anggap gambarnya agak aneh, beda, tapi seru.

“Dari film ini kita bisa belajar bahwa ada banyak sekali hal di Pontianak yang bisa dikaji. Yang masih bisa digali potensinya untuk dipublikasikan supaya orang lebih tau tentang kota Pontianak,” katanya.
Film ini menarik untuk ditonton masyarakat Kota Pontianak sebagai salah satu tempat bersejarah bagi perjuangan Wiji Thukul, perjuangan untuk kebebasan berbicara

 

Juga sikap keberanian dan kemanusiaan yang dimiliki beberapa orang Pontianak seperti Martin Siregar, Thomas, Darlip, serta Djueng patut dijadikan contoh dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

“Aku tidak ingin kau pergi, aku juga tak ingin kau pulang, aku hanya ingin kau ada,” begitu sepenggal kalimat yang diucapkan Sipon di akhir film.

Perjuangan via Kata-kata

Seorang Bupati yang memerlukan datang ke bioskop menonton film Istirahatlah Kata-kata adalah Jarot Winarno. “Iya, saya ikut menonton pemutaran perdana film Wiji Thukul. Film yg sangat bagus dan mendidik,” kata Jarot Winarno kepada Rakyat Kalbar.

Yang dikaguminya dan surprise serta perlu diketahui oleh masyarakat bahwa dalam kurun 6-7 bulan pelarian Wiji Thukul adalah tempat di mana kaki kita berpijak yakni Kalimatan Barat. Sebagai salah satu tempat pelarian dari kejaran penguasa otoriter saat itu, Jarot kagum dengan pejuang reformasi Wiji Thukul.

“Terlepas dari apapun ideologi Wiji Thukul, kita ingat, yang selalu diperjuangkan dengan kekuatan kata-katanya pada masa itu adalah kaum yg dirasakannya telah diperlakukan tidak adil,” tandas Jarot.

Karena itulah idealisme Jarot mengakui kehebatan seorang pejuang yang tak peduli akan keselamatan dirinya demi kebebasan bersuara. “Jadi harus selalu ada orang-orang di sekitar kita yang terus melawan ketidakadilan,” ingatnya.

Lebih dari segalanya, Jarot mengaku bangga dengan anak anak muda yang ada di Kalbar. Berbagai lokasi dan ikon Kalbar juga terlihat dalam film tersebut seperti pinggiran Kota Pontianak.”Bangga sekali saya lihat anak anak Kalbar dapat ikut casting di film yang sangat bagus dan mendidik seperti itu,” ujarnya.

Perasaan yang timbul, Jarot mengaku ingin menggugah kesadaran kita semua bahwa masih banyak saudara kita yangg hidup sulit, terpencil dan terisolir. “Mohon dukungan masyarakat untuk bersama- sama mengatasi ketimpangan pembangunan,” tutupnya.

 

Laporan: I Gde Kharisma Yudha Dharma, Ahmad Munandar

Editor: Mohamad iQbaL