Ketika Putra Mahkota Arab Saudi “Mengembara” di Jalur Sutra

“Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad Bin Salman (MBS) memilih tiga negara sebagai tujuan kunjungan kenegaraan pada awal 2019. Pakistan, India, lalu Tiongkok. Boleh jadi, kunjungan tersebut merupakan pertanda bahwa Kerajaan Arab Saudi mengubah haluan. Bukan lagi ke tanah demokrasi di Barat, namun menuju jalur sutra bersama para tetangga.”

eQuator.co.id – SAFARI Asia yang dilakukan Muhammad Bin Salman (MBS) sejatinya bukan aksi yang mengejutkan bagi publik internasional. Tiga negara itu merupakan sosok yang memberikan ’’pelukan’’ saat keluarga Al Saud terpojok tahun lalu. Sejak jurnalis Jamal Khashoggi terbunuh, Eropa dan AS terus mempersulit manuver penguasa Tanah Suci di level global.

Tentu saja, ada beberapa yang diam saat semua telunjuk menuding. Termasuk tiga negara yang baru dikunjungi. Pakistan dikenal sebagai ’’saudara seagama’’ Arab Saudi sejak lama. Selanjutnya, India merupakan negara yang menjadi rekan dagang Jazirah Arab jauh sebelum kata Saudi muncul.

Yang terakhir, Tiongkok, merupakan kawan baru Arab Saudi di era modern. Meski baru berusia 30 tahun, volume perdagangan Saudi-Tiongkok sudah melebihi Pakistan atau India. Belum lagi kerja sama pengembangan teknologi nuklir di negara padang pasir tersebut.

’’Pemimpin Saudi ingin memberikan pesan bahwa masih ada pilihan di luar sana. Jadi, mereka memilih melakukan diversifikasi,’’ ujar Mohammed Turki Al Sudairi, peneliti di King Faisal Center for Research and Islamic Studies, kepada New York Times.

Kunjungan dimulai dari Pakistan pada Senin (18/2). Di antara ketiga negara, Pakistan memang yang paling putus asa. Perdana Menteri Pakistan Imran Khan merupakan seorang di antara sedikit kepala negara yang hadir dalam Future Investment Initiative (FII) di Riyadh Oktober silam.

Kehadirannya menuai kontroversi. Sebab, banyak negara dan perusahaan Barat yang batal hadir. Saat itu kasus Jamal Khashoggi sedang panas-panasnya.

Khan hanya bilang peduli setan. ’’Kami harus mengambil kesempatan itu. Negara kami punya 210 juta rakyat dan sedang mengalami krisis utang terbesar dalam sejarah,’’ ungkapnya kepada The Independent.

Di Islamabad, ibu kota Pakistan, sang putra mahkota disambut seperti penyelamat. Bagaimana tidak? Di kantongnya ada USD 3 miliar (Rp 42 triliun) yang disetor ke bank pusat Pakistan untuk membantu defisit anggaran. Di kantong lainnya, USD 3 miliar lagi untuk penjualan migas. Belum lagi komitmen investasi USD 20 miliar (Rp 281 triliun).

Jelas saja Pakistan girang. MBS diberi penghargaan tertinggi Nishan-e-Pakistan (Order of Pakistan). Juga hadiah nyeleneh berupa senapan mesin The Heckler & Koch MP5 berlapis emas. Semua itu mempertegas bahwa Pakistan bakal melupakan sekutu lamanya: Iran. Seperti diberitakan, Iran dan Arab Saudi merupakan musuh bebuyutan. ’’Ini (kerja sama bilateral, Red) akan berkembang setiap bulan, setiap tahun,’’ ujar MBS sebagaimana dilansir Al Jazeera.

Di India, putra kandung Raja Salman tersebut juga disambut ramah. Meskipun, India sedikit ngambek karena sang pangeran mengunjungi Pakistan lebih dulu. Pesawat MBS harus pulang ke Riyadh sebelum resmi mengunjungi New Delhi. Itu permintaan India yang masih geram dengan insiden bom bunuh diri Pulwama yang diklaim diotaki Pakistan.

Namun, Perdana Menteri India Narendra Modi tetap memberikan pelukan hangat bagi pria 33 tahun tersebut saat turun dari pesawat di Indira Gandhi International Airport. Menurut Haaretz, sambutan di bandara itu melanggar protokol. Membalas kehangatan tersebut, MBS berjanji bahwa India bisa mendapatkan investasi senilai USD 100 (Rp 1.400 triliun) miliar di masa depan.

’’Hubungan India dan Arab Saudi ada di DNA kita semua. Indialah yang berjasa membangun Arab Saudi selama 70 tahun belakangan,’’ tegas MBS saat memberikan sambutan di Hyderabad House, New Delhi.

Tujuan terakhir MBS adalah Tiongkok. Dia bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping untuk memperkuat kerja sama ekonomi. Di Tiongkok, aspek ekonomi adalah tali hubungan yang paling penting bagi Arab Saudi.

Apalagi, MBS punya proyek besar-besaran untuk melepaskan Arab Saudi dari roda perekonomian lama. Dia ingin mengganti status Negara Jazirah itu dari pemain migas menjadi pemain pasar keuangan. Hal tersebut dirangkum dalam program Visi 2030.

’’Tiongkok punya pengalaman, dana, teknologi, dan sumber daya untuk mewujudkan visi itu,’’ ujar pakar Timur Tengah di China Institute of International Studies Li Guofu.

Peta yang digambar Arab Saudi sudah jelas. Mereka ingin kembali masuk ke jalur sutra yang sedang digalang Tiongkok. Itu semakin dipertegas pada dua tujuan negara yang dibatalkan di saat terakhir, Indonesia dan Malaysia. ’’Tiongkok adalah teman dan rekan yang baik bagi Arab Saudi,’’ tegas Xi sebagaimana dilansir Saudi Gazette.

Jika Visi 2030 terbentuk bersamaan proyek jalur sutra modern, Asia dan Timur Tengah bisa jadi punya sistem ekonomi yang lebih erat. Hal tersebut bisa membuat negara Barat sedikit terisolasi dalam permainan pasar Benua Kuning. ’’Saya sadar betul bahwa inisiatif jalur sutra dengan Visi 2030 milik kerajaan berjalan sejajar,’’ tegas sang pangeran.

DIPERSATUKAN MUSUH BERSAMA

BELUM genap setahun MBS melakukan safari ke negara-negara Barat. Dia datang ke AS, Inggris, dan Prancis sebagai petinggi termuda sepanjang sejarah Kerajaan Arab Saudi. Pangeran tersebut ingin menunjukkan bahwa demokrasi kini sudah tumbuh di Arab Saudi.

Gimik seperti menerbitkan izin menyetir bagi perempuan atau bioskop pertama sempat memancing euforia. Namun, pengkritik tetap bernada sinis. Ujung-ujungnya, Jamal Khashoggi, jurnalis yang sering mengkritik rezim Raja Salman, tewas terbunuh di Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki.

”Alasan terbesar Visi 2030 macet adalah skandal Jamal Khashoggi. Banyak investor Barat yang mundur karena takut dituduh mendukung rezim pembunuh,” ujar Ameem Lutfi, peneliti di Middle East Institute dari National University of Singapore, dalam editorial South China Morning Post.

Arab Saudi pun seperti murid nakal yang disetrap di luar kelas. Namun, Saudi bukanlah satu-satunya negara yang dihukum AS dan negara-negara Barat lainnya. Tiongkok juga mendapat banyak protes terkait isu perang dagang, penindasan kaum Uyghur, dan tuduhan mata-mata melalui perusahaan teknologi Huawei.

Pakistan juga baru saja mendapat masalah karena dianggap melindungi kelompok militan Jaish-e-Mohammed dan Jaish Al Adl. Dua kelompok tersebut melakukan serangan bom bunuh diri di India dan Iran. Ketiganya tentu tak nyaman dengan semua tuduhan itu.

Prinsip negara-negara tersebut pun terbentuk. Menjalin kerja sama berdasar perdagangan, bukan isu HAM. ”Tiongkok tak pernah memilih sisi. Dia lebih percaya hubungan yang seimbang dan saling menguntungkan,” ujar Asisten Profesor Shanghai International Studies University Zou Zhiqiang kepada New York Times.

Benar saja, Arab Saudi cenderung diam soal isu muslim Uyghur. Sedangkan Tiongkok juga tak pernah komentar soal kasus Jamal Khashoggi. Mereka hanya fokus untuk saling memperkaya pundit-pundi negara.

Tentu saja, tak semua memandang Arab Saudi bakal berpaling dari sekutu lamanya, AS. Sebab, sampai saat ini Presiden AS Donald Trump masih memihak MBS. Dia tetap berusaha melindungi MBS dari amukan kongres dan tokoh politik lainnya.

”Memang benar peran Tiongkok di kerajaan semakin penting. Tapi, tidak ada yang bisa menggantikan AS,” ujar Mohammed Alyahya, pemimpin redaksi Al Arabiya English. (Jawa Pos/JPG)