eQuator – Pontianak-RK. Mewujudkan keberhasilan perencanaan pembangunan, mesti dimulai dengan data atau informasi tentang realitas sosial, ekonomi, budaya dan politik yang terjadi di masyarakat. Kemudian didorong dengan informasi tentang ketersediaan rill sumberdaya yang ada.
“Artinya, semakin berkualitas data yang diperoleh, maka akan semakin mempengaruhi arah dan sasaran kebijakan untuk bisa dijalankan,” kata Suminart K, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pontianak saat Sosialisasi Sensus Ekonomi 2016 di Ballroom lantai 2 Hotel Golden Tulip, Jalan Teuku Umar, Senin (21/12).
Sosialisasi ini dihadiri Sekretaris Umum BPD HIPMI Kalbar, Muhammad Qadhafi bersama pengurus lainnya, Ketua Hiswana Migas Kalbar, Zulfidar dan pengusaha-pengusaha lokal.
Dikatakan Suminart, sayangnya data dan informasi yang diharapkan tidak sepenuhnya sejalan. Justru validasi data yang sering menjadi perdebatan. Masing-masing instansi kerap melakukan penyajian data berbeda tentang suatu objek pendataan.
“Perselisihan data yang dihasilkan masing-masing instansi termasuk BPS, kerap difaktori kurang terbukanya responden kepada petugas surveyor saat menjaring data lapangan,” ungkap Suminart. “Bukan metodologi, tapi dari sumber informasinya,” sambungnya.
Sosialisasi Sensus Ekonomi yang digelar BPS ini merupakan langkah awal, menuju sensus 2016. Makanya BPS mengundang unsur dari DPR, birokrat, beberapa kepala SKPD dan kalangan pengusaha. “Ini informasi awal tentang sensus ekonomi. Sehingga diketahui, apa saja yang akan dilakukan pada sensus ekonomi untuk kelompok-kelompok (yang hadir) ini,” jelasnya.
Dalam konteks sensus ekonomi 2016, BPS menargetkan pendataan terhadap 60 ribu usaha. Lembaga ini akan mengerahkan 1000 lebih petugas surveyor.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Untan, Dr Eddy Suratman yang diundang selaku pembicara, mengatakan BPS perlu melakukan strategi dalam hal membangun kepercayaan responden. Khususnya lebih membuka diri, agar pendataan yang dilakukan bisa lebih lengkap dan valid. Kemudian para pengusaha harus mau memberikan datanya secara benar. Misalnya berapa data jumlah pekerja, modalnya, apa alatnya, apa usahanya dan dimana pasarnya. “Kalau datanya benar, nanti bermanfaat, kalau datanya tidak benar, kita salah hitung, maka bisa berpengaruh tidak baik,” katanya kepada Rakyat Kalbar.
Dikatakan Eddy, posisi responden sangat penting, mengejar data yang valid dan lengkap. Waktu petugas sensus datang, bersedialah diwawancarai, berikanlah data yang betul, siapkan pendukung datanya. Kalau ada, berikan datanya jangan ditutupi. “Kan (data) usaha ini banyak yang tertutup. Itu yang kita khawatirkan,” ungkapnya.
Eddy pun menyarankan, untuk mengumpulkan data lapangan, BPS sebaiknya tidak bekerja sendiri. Namun dapat bekerjasama dengan perangkat pemerintah, lurah atau camat.
“Sebaiknya kerjasama dengan kelurahan. Kalau bisa, ada petugas kelurahan yang sama-sama mengantar petugas BPS, supaya diyakini oleh mereka (para pengusaha). Jangan datang tiba-tiba, makanya kerjasama dengan petugas kecamatan dan kelurahan itu penting,” jelas Eddy.
Menurut analisanya, alasan beberapa pengusaha tidak mau blak-blakan dengan kegiatan usahanya sendiri, atau selalu mengelak jika didatangi petugas BPS, karena mereka lebih cenderung takut dikenai pajak tambahan.
“Pajak. Jangan-jangan ini larinya ke pajak. Kan pada umumnya begitu, tidak hanya mereka, semua orang didunia ini menghindari pajak. Itu manusiawi, makanya penerimaan pajak kita rendah,” sindir Eddy.
Terkait perbedaan perolehan data, Eddy menilai itu bisa difaktori dua hal. Pertama soal keterbukaan responden, dan yang kedua soal penerapan metodologi. Seharusnya perbedaan antara informasi dan data itu tidak harus terjadi, jika masing-masing instansi bersedia berkonsolidasi sebelum data itu dipublish.
“Jangan beda-beda begitu, kan malu. Perlu konsolidasi antar (tingkat) BPS. Dan sebelum publish sebaiknya dikoordinasikan dengan pemerintah. Ini sudah benar belum, sehingga yang disampaikan ke masyarakat itu sahih, valid,” ungkap Eddy.
Statistik Melek Huruf
Kembali pada pernyataan Kepala BPS Kota Pontianak, Suminart, dia mengaku bingung dengan kesimpulan pendataan yang dilakukan oleh kementerian, terkait angka melek huruf di Kota Pontianak. Pasalnya, hasil persentase pendataan BPS, angka melek huruf masyarakat Kota Pontianak tidak pernah lebih rendah, dibandingkan Kabupaten Landak.
“Saya juga sudah teliti (soal perbedaan data), salah satu indikator untuk mendapatkannya. Kalau angka melek huruf kota itu tidak pernah lebih rendah dari Landak, tapi kenyataannya data dari kementerian menyebutkan bahwa angka melek huruf di Landak lebih tinggi. Kita cek kota dan provinsi tidak demikian,” ucap Suminart.
Artinya, jika berkaca dari data kementerian, rata-rata masyarakat yang mengenyam pendidikan di Kota Pontianak lebih rendah, jika dibandingkan dengan Kabupaten Landak.
“Kementerian yang katanya mengambil data dari BPS ternyata lebih tinggian Landak (tingkat pendidikannya), kami heran. Katanya sumbernya dari BPS, tapi dari mana? Ini(Perbedaan) bukan masalah metodologi, tapi dari sumber informasi yang diperoleh,” tegasnya.
Sementara Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM), BPS Kota Pontianak mengaku memiliki kesimpulan berbeda dengan Dinas Pendidikan Kota Pontianak. Versi dinas (pendidikan) sudah lebih dari seratus persen, tapi versi BPS Kota Pontianak selama survei, masih ditemukan 7-12 anak yang tidak sekolah. “Berarti tidak akan bisa 100 persen,” ungkap Suminart.
Reporter: Fikri Akbar
Redaktur: Hamka Saptono