Kepsek dan Bendahara Kena OTT Saber Pungli

Ambil Ijazah di SMAN 1 Nanga Pinoh Bayar Rp200 Ribu

KONFRENSI PERS. Salah seorang tersangka diperlihatkan Tim Saber Pungli Melawi saat konfrensi pers di Mapolres Melawi, Kamis (31/8). DEDI IRAWAN

eQuator.co.idNanga Pinoh-RK. Dua oknum guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Nanga Pinoh terjerat Operasi Tertangkap Tangan (OTT) Tim Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Kabupaten Melawi, Rabu (30/8) pukul 11. 30 lalu, ketika aktivitas belaajar mengajar sedang berlangsung.

Mereka adalah Kepala Sekolah (Kepsek) SMA Negeri 1 Nanga Pinoh berinisial HA dan bendaharanya, HPR, 36. OTT tersebut terkait dugaan Pungli biaya pengambilan ijazah SMA Negeri 1 Nanga Pinoh.

Ketua Satgas Saber Pungli Kompol R Doni Sumarsono membenarkan OTT tersebut. Kasus ini bermula dari aduan orangtua siswa yang mengeluhkan belum bisa mengambil ijazah anaknya di SMA Negeri 1 Nanga Pinoh. Karena diharuskan membayar biaya sebesar Rp200 ribu per siswa.

“Ketika kami lakukan OTT pada Rabu, 30 Agustus 2017 pukul 11. 30, kami menemukan barang bukti berupa dana sebesar Rp400 ribu dari tangan para tersangka. Uang itu hasil pembayaran dua ijazah barusan dibayar dua siswa yang baru mengambil ijazah,” kata Kompol Doni saat konferensi pers di markasnya, Kamis (31/8).

Saaat ini, kata Kompol Doni, jajarannya masih memeriksa sejumlah saksi. Kasus ini sebuah keberhasilan Tim Saber Pungli dalam pengungkapan Pungli. “Namun sekaligus sebagai kegagalan kami dalam mensosialisasikan berkaitan dengan larangan pungutan liar,” ucapnya.

Dia mengatakan, kasus ini sebagai peringatan bahwa Tim Saber Pungli serius memberantas Pungli. “Kami sudah memberikan peringatan dan kasus ini menjadi contoh penegakan hukum terhadap pelaku Pungli,” katanya.

Perwira yang juga menjabat sebagai Waka Polres Melawi tersebut mengungkapka, barang bukti OTT berupa uang Rp400 ribu, satu buku catatan milik tersangka serta sejumlah uang yang diduga bersumber dari pungutan ijazah sebanyak Rp9.400.000. “Jadi masing-masing siswa yang ingin mengambil ijazah harus menyerahkan uang sebesar Rp200 ribu,” katanya.

Kasus ini menjadi keprihatinan dalam dunia pendidikan Melawi. Kompol Doni menegaskan, penegakan hukum dalam upaya pemberantasan Pungli tak melihat besar kecilnya barang bukti yang diamankan atau disita.

“Tapi kami melihat tindak pidana serta dampaknya pada masyarakat yang dirugikan. Kami sendiri merasa prihatin karena masih adanya Pungli yang juga menjadi bukti kegagalan dalam mencegah adanya Pungli di instansi pendidikan. Kami berharap ke depannya seluruh instansi berupaya untuk menutup peluang terjadinya Pungli, sehingga tak ada lagi masyarakat yang menjadi korban,” tegasnya.

Sementara Kasat Reskrim Polres Melawi Iptu Ketut Agus Pesek mengatakan, permulaan OTT berawal dari banyaknya laporan masyarakat terkait adanya indikasi Pungli dalam pengambilan ijazah. “Jadi ada keluhan dari keluarga siswa yang belum mengambil ijazah, karena biaya yang ditetapkan begitu besar. Sementara ada dari mereka yang tidak punya uang tidak bisa mengambil ijazah,” katanya.

Oknum ini, lanjut Iptu Ketut, melakukan pungutan tanpa disertai dengan alasan yang tepat. Apa dasar pungutan tersebut dan juga tanpa melalui musyarawah komite sekolah. “Katanya uang tersebut untuk jasa menulis ijazah. Maka sekarang kita juga masih mengembangkan hal ini dengan meminta keterangan dari Dinas Pendidikan. Yang jelas kasus ini masih terus kita kembangkan,” tegas Iptu Ketut.

Hasil pemeriksaan polisi, ada 47 siswa yang telah menyetor uang untuk mengambil ijazah. Saat OTT dilakukan, Iptu Ketut juga mengungkapkan saat itu ada dua pelajar yang datang untuk membayar uang ijazah tersebut sehingga bukti OTT yang diperoleh sebesar Rp400 ribu.

“Jadi saat kita mendatangi SMA Negeri 1 Nanga Pinoh pengambilan ijazah dimintai permasing-masing siswa sebesar Rp200 ribu dengan alasan atas perintah kepala sekolah. Namun guru berinisial HPR ini tak bisa menunjukkan aturan yang digunakan,” ungkapnya.

Pungutan yang dilakukan kepada para siswa yang akan mengambil ijazah tersebut tidak ada hasil rapat atau pun pertemuan. Kedua tersangka hanya beralasan, uang dipungut untuk biaya penulisan setiap ijazah. Sementara anggaran menulis ijazah sendiri, sudah tercantum dalam APBN sebesar Rp3.500 per lembar. Begitu juga untuk blanko ijazah sudah dianggarkan oleh negara. “Polres juga sudah mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) dalam kasus ini,” jelasnya.

Kedua tersangka dijerat Undang-Undang Tipikor Nomor 20 tahun 2001 pasal 12 e dengan ancaman pidana minimal empat tahun, maksimal 20 tahun penjara. Sedangkan untuk tersangka HP juga dijuntokan ke pasal 55 KUHP. “OTT Pungli ini bisa menjadi pembelajaran dan peringatan bagi sekolah maupun instansi yang masih menerapkan Pungli untuk segera menghentikannya,” tegasnya.

 

Laporan: Dedi Irawan

Editor: Hamka Saptono