eQuator.co.id – Pontianak-RK. Nahar, Deputi Perlindungan Anak, Kementerian Perlindungan Anak dan Perempuan (PAP), Selasa (30/7) turun langsung melihat Pusat Lembaga Anak Terpadu (PLAT) Pontianak. Lokasi kejadian penganiayaan Ramadan oleh dua tersangka yang berstatus ABH, hingga tewas.
Di situ Nahar yang didampingi pejabat KPPAD Kalbar, Kanit PPA Reskrim Polresta Potianak, dan Direktur Yayasan Dian Nusantara Kalbar, memeriksa kondisi PLAT yang letaknya tepat di belakang Polsek Pontianak Kota, Jalan Ampera.
Nahar langsung diterima oleh Kepala Dinas Sosial Kota Potianak, Aswin Dja’far, di sebuah ruangan. Pejabat Kementerian itu menggali informasi tentang proses korban masuk ke PLAT. Aswin bersikukuh Ramadan merupakan anak di bawah perlindungan hukum sejak 2018, dengan kasus pencurian dan mengemis di jalanan.
Ditangkap Sat Pol PP, petugas mengamankannya untuk direhabilitasi kembali oleh Dinsos Pontianak. Aswin menyatakan proses pembinaan di PLAT berjalan sebagaimana mestinya.
Nahar juga mengkonfirmasi kronologi kejadian penganiayan yang membuat merenggut nyawa Ramadan. Penganiayaan dilakukan dua tersangka pada waktu pergantian shift, saat petugas jaga kosong.
Kepada Aswin, Nahar menegaskan PLAT adalah tempat rehabitilasi anak yang bermasalah. Khususnya anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH.
“Sepengetahuan kami, ini adalah bagian dari instrumen sisi peradilan anak. Dengan nama, Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS),” jelas Nahar.
Fungsi LPKS itu, kata Deputy Perlindungan Anak Kementerian PAP, untuk membina anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan kategori melakukan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya di bawah tujuh tahun penjara.
“Nah, tentu proses itu harus melalui tahapan yang sudah dibuat sebelum akhirnya ditempatkan di situ (PLAT). Pedomannya ada. Lalu kemudian proses rehabilitasinya tercatat,” jelas Nahar.
Singkatnya, anak ABH yang dititipkan di LPSK itu sudah dilakukan asessment oleh pekerja sosial. Tujuannya untuk mengetahui riwayat dan perilaku sang anak. Agar proses treatment rehabilitasi bisa dilakukan dengan cara yang tepat.
Kemudian, masih kata Nahar, dalam proses rehabilitasi anak di LPSK, ada masa yang ditentukan. Melalui beberapa tahapan dan proses pendampingan. Tak boleh berlama-lama dititipkan.
“Nah, kejadian di sini, ada beberapa di antaranya struktur SOP itu, sudah tidak ideal lagi,” ujar Nahar saat diwawancarai wartawan. “Berdasarkan informasi dari Pak Kadis (Dinsos Pontianak), katanya korban sudah dua kali masuk ke sini. Harusnya sudah ada asessment. Kalau tidak ada asessment artinya tidak sesuai SOP,” tandasnya.
Dari kronologi dan informasi yang diperolehnya itu, apakah penempatan Ramadan di PLAT itu sudah benar atau tidak, Nahar menyatakan, semua akan terungkap berdasarkan hasil penyidikan yang kini tengah dilakukan oleh Unit PPA Reskrim Polresta Pontianak.
“Ini nanti, proses penyidikan akan ketahuan. Nah, korban yang dibawa kesini itu sudah sesuai SOP itu atau tidak? Itu nanti akan dicek lagi. Baik melalui proses pedoman sesuai SOP maupun dari sisi hukum aturan mainnya,” ujarnya.
Dengan menggunakan dua ukuran itu, Nahar yakin semua persoalan pelayanan di LPKS atau PLAT milik Pemkot Pontianak akan terbuka secara gambling, di mana titik lemahnya.
“Rekomendasi Kementerian kepada Pemkot sendiri, kita minta memperbaiki sarana prasarana dari lembaga rehabilitasi ini,” kata Nahar.
Salah satunya perbaikan pelayanan konseling, ruang tidur, dan menyiapkan tenaga yang dibutuhkan. Seperti psikolog, Peksos (pekerja sosial), dan Satpam jaga.
“Bila perlu PLAT ini dilengkapi CCTV. Untuk mengontrol semua pergerakan anak ABH yang berada di sini,” sarannya.
Dilanjutkan Nahar, bagi anak ABH kategori khusus, sejatinya tak boleh dicampur dengan ABH yang normal. Harus ada area privasi. Untuk anak-anak yang sudah tidak perlu dikontrol, sesuai rekomendasi hasil rehabilitasi.
“Tapi yang paling penting adalah bahwa, layanan ini adalah layanan pilihan terkahir untuk anak. Jadi sedapat mungkin tempat ini hanya untuk melakukan asessment,” ingatnya.
Dengan kejadian tragedy Ramadan, Nahar meminta Pemkot Pontianak kedepan serius membenahi layanan di LPKS itu. Agar benar-benar dijadikan tempat pembinaan, asessment dan rehabilitasi.
Nahar mengakui, informasi singkat yang diperolehnya dari Kepala Dinas Sosial perihal runutan kasus Ramadan, insiden itu terjadi karena diduga ada kesalahan SOP.
“Karena kejadian tersebut saat pergantian shift. Ada jeda sekian menit yang kosong. Maka di situlah sesungguhnya saya menduga itu tidak sesuai SOP,” simpulnya.
Padahal, pergantian shift petugas jaga tidak boleh sampai kosong. Apalagi LPKS itu adalah tempat rehabilitasi anak berhadapan hukum. “Satu menit pun ditinggalkan, sangat berisiko. Apalagi anak ditinggalkan dalam waktu yang agak lama,” katanya.
Nahar mengingatkan, Kemensos sejatinya sudah memiliki standar pelayanan di setiap LPKS Kabupaten/Kota. Begitu juga di Kementerian Perlindungan Anak dan Perempuan.
“Kami juga di Kementerian sudah membuat pedoman rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum. Tinggal itu di kuti,” katanya.
Dalam tinjauannya beberapa saat di bangunan PLAT itu, Nahar menilai LPKS milik Pemkot Pontianak yang ada saat ini tidak standar. Ruang di dalamnya kotor. Banyak coretan. Harusnya itu tidak boleh. “Mungkin ini ada kaitannya dengan perawatan (yang kurang baik),” katanya.
Menurut Nahar, meskipun pembenahan layanan di LPKS berada di bawah kewenangan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial, dengan kejadian Ramadan itu pihak penyidik harus bekerja. Karena ada kejadian tindak pidana di situ.
“LPKS adalah tempat pilihan penitipan rehabilitasi terakhir bagi anak kategori ABH. Proses penitipan itu harus melalui rujukan berdasarkan putusan Pengadilan. Atau, rujukan dari proses penyidikan diversi. Dengan diskresi itu, rehabilitasi boleh dilakukan di LPKS. Tetapi sebelum kesini harus ada asesmen. Yang dilakukan oleh pekerja sosial,” terangnya.
Ditegaskannya, kehadiran Deputy Perlindungan Anak Kementerian PAP, untuk memastikan dua hal. Pertama, terkait dengan efektivitas pelaksanaan Undang Undang Perlindungan Anak. Kedua, melihat kesiapan pelaksanaan pembagian kewenangan dalam penanganan ABH, yang sudah ditegaskan dalam Undang Undang Pemerintah Daerah.
“Ini bagian dari cek penyediaan layanan di tingkat Kabupaten/Kota. Kalau ada beberapa kelemahan termasuk tidak melakukan SOP, maka ini menjadi bagian kami untuk menguatkan SDM, infrastruktur dan lain sebagainya,” pungkas Nahar.
Laporan: Abdul Halikurrahman
Editor: Mohamad iQbaL