eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Menko Polhukam Wiranto mewacanakan menjerat pelaku penyebar hoaks atau berita bohong dengan Undang-undang (UU) Terorisme. Namun, banyak kalangan menilai kurang tepat dan kejauhan ‘mencantolkan’ hoaks dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 itu.
“Saya rasa pak Wiranto kurang tepat menyampaikan bahwa berita hoaks masuk dalam terorisme, gak lah itu,” kata Anggota DPR RI Dapil Kalbar, Erma Suryani Ranik kepada wartawan di Mapolda Kalbar, Rabu (27/3) siang.
Dia menilai, hoaks sulit masuk dalam UU Terorisme. “Berita hoaks sulitlah masuk dalam UU Terorisme. Beda lah itu, konstruksi hukumnya beda, unsurnya beda,” jelasnya
Dia meyakini Polda Kalbar telah melakukan langkah-langkah antisipasi terhadap hoaks. Salah satu langkahnya kata dia, dengan melakukan patroli dunia maya. “Saya yakin Polda Kalbar punya unit khusus yang patroli di media sosial. Saya pantau itu sudah jalan dan penyebaran hoaks ya pun sudah terpantau,” ungkapnya.
Dia mengimbau masyarakat agar tidak mudah terjebak dan terprovokasi dengan berita yang bernada profokatif. “Kalau anda mendapatkan berita provokatif tolong verifikasi minimal lima narasumber yang berbeda, agar tidak terprovokasi dan menjadi korban berita hoaks,” pesanya.
Terpisah, Heri Firmansyah, Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanagara Jakarta menilai, pernyataan Wiranto itu kurang tepat, apabila penyebar berita hoaks dijerat dengan UU Terorisme. “Sebagai lex specialis (hukum yang bersifat Khusus) agak kurang tepat dan jauh mencantolkan hoax ke Undang-undang terorisme,”ujarnya kepada Rakyat Kalbar, Kamis (28/3) malam.
Hery menilai, terorisme memiliki perbedaan dengan berita hoaks. Terorisme kata dia, akan menimbulkan rasa takut secara meluas. “Dalam hal ini tentunya berbeda konteks, apabila disamakan dengan berita bohong,” paparnya.
Oleh sebab itu, hoaks kata dia, lebih dekat dikenakan dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Penyebaran Berita Bohong atau mensiarkan berita yang tidak lengkap yang menimbulkan persoalan dimasyarakat.
Berdasarkan UU tesebut ada dua pasal yang dapat dikenakan kepada pelakunya, yakni Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 ayat (1) berbunyi, “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Ayat (2), “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”
Sementara Pasal 15 berbunyi, “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.” “Dua pasal ini bisa digunakan,” pungkansya.
Laporan: Andi Ridwansyah
Editor: Yuni Kurniyanto