Nursaka sumringah ketika dibawa ke toko sepeda di Pasar Balai Karangan, Kabupaten Sanggau, Rabu (12/9) siang. Selain mendapat sepeda dan tas, bocah penembus batas negara itu juga mendapat tabungan pendidikan.
Ocsya Ade CP, Entikong
eQuator.co.id – Sepeda lipat seharga Rp1,4 juta yang didapatnya bukan dari presiden, seperti yang diharapkan Nursaka. Itu bantuan dari Ikatan Remaja Masjid (Irmas) Babussalam, Dusun Tanjung Wangi, Desa Rasau Jaya II, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya.
“Kami bukan mendahului Presiden. Tapi kami ingin segera membantu Nursaka,” ujar Gunawan, Sekretaris Irmas Babussalam kepada Rakyat Kalbar, Rabu pagi.
Ia menjelaskan, para anggota Irmas Babussalam tergerak hati membelikan sepeda dan tas untuk Nursaka ketika membaca berita di media massa dan sosial. Ia mulai terkenal setelah video perjalanannya melintas batas negara demi bersekolah diupload oleh petugas Kantor Imigrasi Entikong.
“Sehingga kami rembukan dengan anggota dan Ketua Irmas Babussalam. Lalu muncul kesepakatan untuk belikan sepeda dan tas,” jelasnya.
Gunawan berharap, bantuan yang diberikan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Ia juga meminta jangan menilai besaran bantuan tersebut, tetapi yang diharapkan dapat meringankan beban ketika Nursaka dalam menempuh pendidikan.
“Kita diajarkan untuk saling tolong menolong. Menurut kami, menolong orang itu tanpa harus melihat apa agama, suku, golongan dan perbedaan apapun. Seperti yang kita ketahui, Nursaka ini nonmuslim. Tapi ketika kami bisa membantu, kami senang. Tadi kami sudah hubungi rekan di Entikong untuk mengurus pemberian sepeda itu,” tuturnya.
Nursaka adalah anak Indonesia yang tinggal di Tebedu, salah satu kecamatan di Sarawak, Malaysia. Meski tinggal di negara lain, dia tetap ingin mendapat pendidikan di tanah air. Bocah delapan tahun ini setiap harinya harus melintasi pintu batas negara demi mendapatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 03 Sontas.
Saat ini dia masih duduk di kelas 3 di SDN yang terletak di Desa Sontas, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, itu. Sejak awal menempuh pendidikan, Nursaka harus bolak balik melintasi perbatasan RI-Malaysia. Artinya, selama tiga tahun dan hampir setiap hari dia menjadi pelintas atau penembus batas negara.
Setiap hari sekolah, Nursaka sudah harus siap di rumahnya sebelum pukul 06.00 Wib (05.00, waktu Malaysia). Dari rumahnya, di Tebedu, Nursaka berangkat ke Border Tebedu dengan menumpang angkutan umum. Jaraknya sekitar tiga kilometer. Di sana angkutan umum disebut Ben. Kadang menumpang teman ayahnya.
Setibanya di Border Tebedu, Nursaka tetap mengikuti prosedur dan menjalani peraturan sebagai warga negara Indonesia yang baik. Yakni, memeriksakan dokumennya dalam bentuk Kartu Lintas Batas (KLB). Dari Border Tebedu, Nursaka harus berjalan kaki menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Entikong.
Di border yang dibangun megah oleh Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini, Nursaka juga mendapat perlakuan sama. Dokumennya diperiksa.
“Setelah itu saya ke sekolah (SDN 03 Sontas) pakai ojek. Nanti pulangnya baru menumpang kendaraan warga yang kebetulan ke Malaysia,” ungkap Nursaka kepada wartawan, belum lama ini.
Hal yang dilalui Nursaka ini bukan tanpa alasan. Itu semua karena ia ingin mencapai cita-citanya menjadi dokter. Disamping itu, tuntutan ekonomi lah yang membuat kedua orangtuanya harus tinggal dan bekerja di Tebedu.
Nursaka merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Dia kelahiran Sanggau pada 2010 silam. Dia merupakan anak pasangan Sudarsono dan Julini.
“Saya ikut orangtua tinggal di seberang (Tebedu), karena orangtua kerja di sana,” tuturnya.
Sebelum memutuskan sekolah di tanah kelahiran, Nursaka kerap ditawarkan untuk bersekolah di Tebedu. Namun ia menolak. Dengan alasan, merasa bangga menjadi anak Indonesia dan ingin menggapai cita-citanya.
“Saya mau jadi dokter gigi, mau jaga gigi orang. Kalau bisa ketemu Pak Jokowi, sama mau dijadikan dokter. Saya juga mau sepeda, tapi orang tua belum bisa membelikan,” ucap Nursaka.
Saking seringnya melintas batas, petugas di dua border itu sampai ingat dan hafal betul dengan bocah yang gemar menabung ini. “Pulang sekolah, dia (Nursaka) biasanya mampir ke pintu keberangkatan. Kami carikan tumpangan buat dia pulang ke Tebedu,” kata Fransiscus Xaverius Ulu, Supervisor di Tempat Pemeriksaan Imigrasi Entikong.
Sementara itu, Sudarsono mengungkapkan, anak keduanya itu punya semangat yang kuat untuk bersekolah meski kehidupan keluarganya pas-pasan. Karena itulah, Sudarsono berani melepas Nursaka bolak-balik dua negara setiap hari untuk sekolah.
“Dia (Nursaka) ini, kalau barang (pengaruh) ndak bagus, ndak mau dia. Dia memang maunya sekolah, mau jadi dokter katanya. Kalau ada kawannya yang ndak betul, dia lari, takut dia. Dia suka nabung, kadang kalau dikasih orang duit, ditabung gitu, katanya untuk bantu bapaknya,” ungkap Sudarsono.
Awalnya, Sudarsono bersama istrinya yang merupakan Simpang Aur, Kabupaten Landak beserta anak-anaknya tinggal di Entikong. Karena usaha berjualan makanan yang dibangunnya susah payah di Entikong tersebut bangkrut, pria 53 itu memboyong keluarganya ke tanah jiran. Di Tebedu, dia memulai usahanya dari nol sebagai buruh tani dan menjaga ternak ayam milik warga setempat.
“Dulu saya buka usaha rumah makan di Entikong, tapi bangkrut hancur-hancuran sampai sekarang ini. Sekarang saya kerja di kebun nanem sahang, sayuran. Tapi ndak tentu juga hasilnya, kadang seminggu panen, tapi lebih banyak yang kena penyakit (hama),” tuturnya.
Ia mengakui, pendapatannya yang tak menentu itu tidak dapat diandalkan untuk menanggung biaya pendidikan Nursaka. Beruntung, pihak sekolah menggratiskan semua biaya pendidikan Nursaka.
“Pendapatan saya ndak tentu. Saya tanam lada, sayuran, tapi tanahnya punya orang. Sayurnya saya jual ke rumah makan di sekitar Tebedu. Kalau laku, uangnya buat biaya hidup sama susu anak-anak. Rumah saja saya numpang, cuma bayar listrik saja. Tapi bagaimanapun anak-anak harus sekolah, ndak apa-apa bapaknya susah yang penting anak-anak sekolah semua,” ucap pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur ini.
Ia menceritakan, rumah yang ditempatinya sekarang milik warga Malaysia yang ditumpangkan kepadanya. Di rumah itu Sudarsono tinggal bersama Istrinya, Julini, 32, Nursaka dan kedua adiknya yang berusia dua dan tiga tahun. Sedangkan anak pertama mereka tinggal dirumah neneknya di Jember, Jatim.
Dari dokumen kependudukan yang dimilikinya, keluarga Sudarsono tercatat sebagai warga Dusun Entikong Tapang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Meski tercatat sebagai warga Entikong, namun Sudarsono enggan meninggalkan tempat tinggalnya yang sekarang.
“Saya bingung mau kerja apa kalau tinggal di Entikong. Disana ndak ada kerjaan, rumah juga sudah ndak ada. Entikong kehidupannya mahal, semua beli, sayur mahal. Di sini saya masih bisa metik di kebun. Anak saya banyak, tambah sulit kalau di Entikong,” ucapnya.
Kala menerima pemberian sepeda dan tas dari Irmas Babussalam ini, disertai penerimaan tabungan pendidikan dari BNI Cabang Balai Karangan, Sudarsono terlihat haru. “Ya, sampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada donatur yang telah membelikan sepeda untuk Saka (panggilan Nursaka). Hanya Tuhan yang membalas kebaikan Bapak,” ucapnya sambil bertanya-tanya nama Sang Donator.
Sepeda ini, nantinya akan digunakan Nursaka untuk menempuh perjalanan dari rumahnya ke Border Tebedu. Karena unruk bersepeda dari Tebedu ke Entikong, harus dilengkapi perizinan sebagaimana mestinya.
“Biar dia belajar naik sepeda dulu. Karena belum bisa. Saka kan hari-hari minta sepeda. Saat melihat anak-anak main sepeda, dia menangis minta sepeda. Saya kembali ucapkan terima kasih atas bantuan sepeda ini,” ucapnya dengan mata yang berlinang.
Di lain tempat, Kepala SDN 03 Sontas, Halijah menuturkan, Nursaka memang termasuk siswa yang aktif dan rajin di sekolah. Kemampuan menyerap pelajaran, menurut Halijah, Nursaka diatas rata-rata siswa lain.
“Cuma kalau dari cerita ibunya tadi Nursaka ini suka menyanyi, ini yang kita baru tahu, yang menonjol dari dia. Bakat khususnya ini bisa kita arahkan. Anaknya juga rajin, ndak nakal, ndak ngeyel, kalau dikasi tahu nurut,” tutup Halijah. (*)