eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Terhitung sejak 1 September 2018, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk memperluas mandatori biodiesel 20 persen (B20). Ketentuan penggunaan bahan bakar hasil pencampuran 20 persen biodiesel dengan solar itu berlaku di sektor bersubsidi dan nonsubsidi.
Pelaksanaan perluasan mandatori B20 dinilai menjadi solusi dalam menyikapi merosotnya permintaan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) di dunia. Pemanfaatan minyak nabati tersebut semestinya dapat dimaksimalkan di dalam negeri sebagai non Public Service Obligation (PSO). “Penyerapan CPO yang diperuntukkan bagi B20 dapat meningkatkan penjualan di dalam negeri,” ujar Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Radian MS, kemarin.
Mandatori B20 menjadi solusi yang baik terhadap anjloknya harga CPO. Mengingat permintaan minyak nabati ini di pasar dunia semakin sedikit. Kondisi ini diperparah dengan produksi yang berlebih. “Ini bisa mengatasi sedikit permasalahan sawit yang saat ini mengalami over produksi,” katanya.
Meskipun demikian, solusi ini juga perlu diatur sedemikian rupa. Lantaran harga CPO sangat dinamis. Sehingga perlu regulasi yang
mengatur perusahaan kelapa sawit terkait kepastian pasokan CPO bagi kebutuhan B20. Dikhawatirkan, jika nanti harga CPO merangkak naik dan permintaan pasar global tinggi, perusahaan justru mengurangi pasokan dalam negeri untuk mandatori B20. “Jika permintaan sawit kembali baik di pasar global, perusahaan juga harus tetap menyuplai B20 ini,” ucapnya.
Radian mendukung penggunaan B20 menjadi campuran bahan bakar. Sebab bahan bakar berbasis minyak nabati dapat terus diperbarui. Berbeda dengan bahan bakar fosil. Penggunaan B20 tentu berdampak baik bagi kelestarian lingkungan. “Bahan bakar biodiesel ini dapat lebih menjaga lingkungan dan mengurangi impor minyak sawit,” jelasnya.
Namun kata dia, biaya operasional produksi biodiesel lebih tinggi. Sehingga akan berdampak pada tingginya harga minyak ini. “Bahkan, harganya jauh lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil,” tutup Radian.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengatakan, pelaksanaan perluasan mandatori B20 kepada non PSO terus berjalan dengan baik. Bahkan menunjukkan perkembangan yang positif. Berdasarkan catatan GAPKI, sepanjang November 2018 penyerapan biodiesel di dalam negeri mencapai 607 ribu ton. “Naik 17 persen dibandingkan Oktober 2018,” jelasnya.
Peningkatan penyerapan bahan bakar ini lantaran ada perbaikan logistik dari produsen biodiesel ke depot-depot Pertamina. Pihaknya berharap, ini nantinya diikuti perbaikan infrastruktur tanki khusus biodiesel di depot depot Pertamina.
“Kita yakin penyerapan minyak sawit di dalam negeri sebagai energi hijau terbarukan terus meningkat seiring dengan wacana pemerintah yang akan memanfaatkan pembangkit listrik dengan bahan bakar dari CPO,” tuturnya.
GAPKI mencatat, sepanjang November 2018 produksi diprediksi mencapai 4,16 juta ton. Turun sekitar 8 persen dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 4,51 juta ton. Siklus produksi ini normal lantaran sudah mulai melewati musim panen raya.
Dijelaskannya, turunannya produksi dan ekspor serta mulai tingginya penyerapan domestik mengikis stok minyak sawit Indonesia menjadi sekitar 3,89 juta ton. Sementara dari sisi harga, sepanjang November 2018 bergerak di kisaran USS 440 – USS 512,50 per metrik ton. Dengan harga rata-rata USS 473,6 per metrik ton. Respon pemerintah terhadap harga anjlok pada titik nadir ini mengambil kebijakan untuk menghapus pungutan ekspor (CPO Fund). “Dengan penghapusan CPO Fund ini, dapat mendongkrak ekspor dan harga CPO global serta harga TBS petani,” demikian Mukti.
Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan empat peraturan untuk memayungi kebijakan memperluas mandatori B20. Pertama, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Perpres ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2018.
Penerbitan Perpres itu kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang ditandatangani Menteri ESDM Ignasius Jonan pada 23 Agustus 2018. Peraturan berikutnya adalah Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1935 K/10/MEM/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri ESDM Nomor 1803 K/10/MEM/2018 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dan Alokasi Besaran Volume untuk Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel pada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo Tbk Periode Mei-Oktober 2018. Peraturan ini ditandatangani pada 27 Agustus 2018.
Peraturan keempat adalah Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1936 K/10/MEM/2018 tentang Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel untuk Pencampuran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Periode September-Desember 2018 tertanggal 27 Agustus 2018. Keempat peraturan tersebut telah secara lengkap memayungi pelaksanaan kebijakan perluasan mandatori B20 mulai dari aspek penghimpunan dana sawit yang digunakan untuk membiayainya, hingga teknis pelaksanaan di lapangan. Termasuk mengenai sanksi bagi pihak terkait yang tidak melaksanakannya.
Kebijakan perluasan perluasan mandatori B20 mengharuskan penggunaan biodiesel yang semula hanya untuk sektor bersubsidi atau PSO diperluas ke sektor nonsubsidi atau non-PSO. B20 merupakan bahan bakar hasil pencampuran minyak solar dengan biodiesel berbahan dasar sawit sebanyak 20 persen. Selama ini biodiesel dikenal masyarakat sebagai bahan bakar bersubsidi dengan sebutan Biosolar yang dipasarkan oleh Pertamina.
Laporan: Nova Sari
Editor: Arman Hairiadi