eQuator.co.id – Sekitar lebih jam 11.00, speedboat yang ditumpangi menepi di gapura Desa Teluk Empening. Tiga jurnaslis dan empat anggota JARI Indonesia Borneo Barat disambut beberapa warga yang sudah menunggu sekitar satu jam lalu.
Tamu dari Kota Pontianak itu digiring ke sebuah bangunan berjarak sekitar 100 meter dari bibir Sungai Kapuas. Warga di sana menyebutnya “Rumah Pintar”. Bangunan itu merupakan bantuan pemerintah yang baru selesai dikerjakan 2014 lalu. Disebut “Rumah Pintar” karena didalamnya terdapat sambungan internet yang bebas diakses warga selama 24 jam.
Adanya internet di Desa Teluk Empaning, merubah kehidupan masyarakat, khususnya mendapatkan informasi dan pengetahuan. Masyarakat bisa belajar banyak dari internet.
Tak lama berbincang dan saling kenal dengan warga, hari itu juga tiga jurnalis dan JARI dipandu Badron, Sekretaris Desa (Sekdes) Teluk Empening menuju lokasi yang terjamah titik api paling parah pada kebakaran September 2015 lalu.
Jaraknya lumayan jauh. Dari pinggir Sungai Kapuas sekitar tiga Km. Apalagi jalan setapak yang dilalui dengan sepeda motor banyak rusaknya. Sebagian jalannya tanah dan lumpur. Ketika sampai pada koordinat tertentu, harus berjalan kaki sekitar 932 meter untuk menyusuri ke arah lokasi kebun dan hutan yang dulunya terbakar.
Sangat miris. Sejauh mata memandang, sebagian besar lahan hanya terlihat bekas-bekas arang, batang dan ranting kayu kecokelatan. Tanah di sekitar area yang terbakar terlihat kering, retak-retak. Padahal dulunya tanah di sini cukup subur, dengan kadar gambut hingga belasan meter ke bawah.
Rombongan sempat singgah ke beberapa lokasi, bertemu dengan petani. Berkenalan dan berbincang seputar kegiatan pertanian masyarakat paska kebakaran. Untuk membangkitkan kembali perekonomian, rata-rata mereka lebih memilih menanam tanaman baru yang sifatnya bulanan atau musiman. Jera kalau mau melakukan “investasi” jangka panjang lagi.
Alasannya sederhana, desa ini punya riwayat menyedihkan soal kebakaran lahan dan hutan. Paling besar terjadi pada tahun 2007, 2012, dan puncaknya 2015. Tragedi ini tak sebanding dengan upaya antisipasi yang dilakukan secara berjenjang oleh pemerintah dan warga.
“Kami hanya mampu membuat galian parit ini. Kami gotong-royong dengan warga. Parit ini lebarnya 80 Cm, panjangnya 500 meter. Idealnya, parit ini lebarnya delapan meter, biar api tidak bisa lompat. Tapi usulan kami dari dulu ke pemerintah tidak pernah dikabulkan,” kata Badron sembari menunjuk saluran parit yang membelah kebun warga dan lahan eks kebakaran.
Perjalanan berlanjut. Rombongan jurnalis dan JARI yang sudah lama tidak biasa berjalan jauh, cukup terengah-engah. Sempat tertinggal beberapa meter dari barisan depan, yakni warga yang memandu. Mungkin karena alasan itu, Sekdes Badron menuntun rombongan, memutuskan berhenti sejenak di tengah perjalanan, sambil menunggu yang lain.
Malu rasanya kalau melihat usia Badron saat ini. Walaupun dia lahir 6 Mei 1961, namun fisiknya masih kuat. Kalah anak-anak muda dari kalangan jurnalis dan JARI. Dia telah menjadi Sekdes sejak 1993. Dia satu dari tujuh Kepala Keluarga di Desa Teluk Empening yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Ayo kita lanjut,” katanya sambil tersenyum. “Boleh Pak,” sahut rombongan yang keringatnya sudah membasahi baju dan celana.
Puas berjalan menyusuri lokasi kebakaran, sampailah di ujung batas parit antara lahan warga dan perusahaan sawit PT Bumi Perkasa Gemilang. Batas paritnya panjang dan lebar. Wajar saja, pengerukan dilakukan dengan alat berat.
“Sudah kami minta ke perusahaan, agar dibuatkan saluran seperti ini, yang lebar. Pernah datang excavator-nya ke sini, tapi baru sebentar mesinnya berhenti, alasannya rusak, berhari-hari, kami tunggu sampai sekarang tidak balik lagi,” ungkap Badron.
Sambil melihat sekeliling yang kurang lebih dengan pemandangan di sepanjang perjalanan tadi, rombongan bertanya dimana awal mulanya titik api terlihat oleh warga. Bandron menjawab, api terlihat dari arah patok batas sebelah kanan antara Desa Teluk Empening dengan desa tetangga, Teluk Bayur.
“Kami tidak bisa menuduh siapa yang membakar (lahan). Karena sebelah sini (Desa Teluk Emepning) juga punya lahan, dan sebelah sana (Desa Teluk Bayur) juga ada lahan warga. Tapi arahnya dari pertengahan batas antara dua desa ini. Jaraknya kalau dari sini sekitar 500 meter. Tidak bisa lewat sini, kita harus memutar dari depan,” jelasnya.
Senada disampaikan Kepala Desa Teluk Empening, Muhammad Firdaus yang baru tiba malam harinya. Jawabannya kurang lebih sama.
“Bahkan dari tim investigasi juga sudah melakukan penelusuran. Mereka juga tidak menyebutkan siapa yang pertama kali membakar lahan,” katanya.
Kendati untuk beberapa urusan administrasi dan kedesaan, kedua desa ini sering berkoordinasi dan berkomunikasi. Namun terkait bencana kebakaran ini, Firdaus mengaku lebih mengambil sikap bijaksana. Baginya yang lebih penting saat ini, bagaimana kebakaran di tahun-tahun mendatang tidak terulang kembali.
Upaya Mitigasi
Serangkaian upaya guna mengurangi risiko, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana atau mitigasi wajib dilakukan.
Diatas kertas, Desa Teluk Emepening memiliki luas wilayah 6.336 Km persegi dengan peruntukan lahan sawah 340 hektar dan tanah kering seluas 829 hektar, tanah basah atau rawa 905 hektar, tanah perkebunan 1.134 hektar. Fasum 26 hektar dan hutan 4.172,5 hektar.
Bicara soal pencegahan dan penanggulangan paska kebakaran, menjadi topik seru yang diobrolkan warga. Keinginan warga adanya infrastruktur. Utamanya pembuatan saluran air yang representatif. Fungsinya untuk pengaman, kemudahan bercocok tanam, menghindari banjir dan sebagainya.
Tokoh masyarakat, Arfandi menegaskan, pembangunan saluran primer, sekunder dan tersier sangat penting untuk menjaga kelangsungan lahan pertanian atau perkebunan warga.
“Dari sekunder ke tersier. Setiap per-200 meter harus ada saluran. Katakanlah primernya itu Sungai Kapuas, sekundernya parit besar, tapi tersiernya tidak ada sampai ke ujung sana, 3 Km. Makanya kalau ada kebakaran mau ngomong apa!” ujar Arfandi.
“Kalau pemerintah mau bantu, siapkan peralatan, saluran, embung, itu saja. Mungkin kita tidak seperti ini, kalau ada saluran air. Kalau saja kemarin (2015) tidak ada bantuan mesin pemadam dari Dirjen Tanaman Pangan pemerintah pusat, sudah KO kita,” sambungnya.
Pria yang pernah menjabat kepala desa periode 2008-2013 ini mengaku, sudah sering menyuarakan kepentingan yang satu ini. Dalama setiap rapat-rapat Musrenbang, rapat-rapat terpisah, bahkan khusus yang membicarakan soal Karhutla (kebakaran hutan dan lahan).
“Namanya usulan, ranking dua terus, nomor satunya jalan poros. Karena bukan apa, kami baru bisa ke Tanjung Harapan itu tahun 2004. Artinya baru bisa ditempuh jalan darat ke dusun sebelah. Desa ini mekar tahun 1963. Luar biasa kan?” kata Arfandi.
Sudah bertahun-tahun, berbagai permasalahan desa yang tak mampu ditanggung warga, sudah disampaikan kepada pemerintah. Termasuk bagaimana caranya agar kebakaran jangan terulang lagi.
“Kami paparkan lengkap dengan alas an. Pendapat kita kenapa kita perlu itu. Itu pun tidak digubris. Dari zaman beliau, Pak Halide, 16 tahun jadi kepala desa, pengajuan ini sudah langganan. Yang ada saya dipimpong ke sana kemari,” kesalnya.
Namun Arfandi tidak menafikan, pemerintah telah banyak membantu dari segi pemahaman dan sosialisasi yang dilakukan secara terus menerus. Itu penting, agar masyarakat semakin sadar dan tanggap meminimalisir api kecil. Tapi menurutnya, kebanyakan sosialisasi juga kurang berdampak, harus pula diimbangi dengan solusi keras.
“Saya kira kalau dilatih bagaimana cara madamkan api, kami kira kami tidak perlu. Bangun embung atau minimal kita punya pintu air untuk mengantisipasi kebakaran. Kita pun tidak minta yang lebih-lebih bah,” ujarnya.
Muhammad Firdaus, kepala desa yang menjabat setelah periode Arfandi mengatakan, tidak akan pernah bosan meminta kepada pemerintah maupun stakeholder, agar desanya aman dari ancaman kebakaran. Karena faktor aman sangat penting agar desanya dapat maju, sehingga solusi permasalahan serta program-program yang sempat tertunda, khususnya yang menyangkut kesejahteraan warga, dapat segera dan berjalan dengan baik
“Kebakaran terjadi September, bulan Agustus sebenarnya kami sudah sampaikan ini. Tapi ya begitu hasilnya. Walau demikian paska kebakaran ini, Pemdes terus berupaya semaksimal mungkin melakukan menghijaukan kembali, mengganti tanaman-tanaman yang sudah terbakar,” jelas Firdaus.
Firdaus mengaku, tanggapan yang dilakukan pemerintah kabupaten dan provinsi, baru sebatas program yang sifatnya pencegahan. Seperti membentuk kelompok masyarakat dan sosialisasi. Selain uang penggantian dari kabupaten atas apa yang telah dikeluarkan oleh pihak desa selama memfasilitasi bantuan tim pemadam kebakaran sebesar RP34 juta, belum ada santunan untuk kerugian materil.
Selebihnya, Pemdes menerima bantuan satu set mesin pemadam dari UNDP, jika di-uang-kan sekitar Rp27 juta. Sejauh ini, dari sebagian besar warga sendiri masih membiarkan lahan-lahannya. Karena masyarakat masih kecewa dengan seringnya jerih payah mereka terbuang percuma.
“Palingan masyarakat nanam-namam horti (sayu-sayuran dan buah-buahan) saja, seperti jahe, tomat dan lainnya,” katanya.
Firdaus mengatakan, terdapat beberapa target yang akan dikejar pemerintahannya dalam tahun ini. Dengan menggunakan dana desa, diantaranya pembangunan jaringan atau saluran air, serta membuat peraturan desa tentang larangan membakar sembarangan kawasan kebun dan hutan.
“Kalau tahun-tahun sebelumnya ADD kita belum full. Kita akan upayakan tahun ini. Untuk Perdes larangan, masih akan kami kaji dulu. Soalnya tidak bisa juga kita langsung melarang masyarakat membuka lahan dengan cara membakar. Nanti akan diatur, bagaimana agar dampaknya tidak meluas. Masih akan kami kaji,” tegas Firdaus. (*)