eQuator.co.id – Desa Teluk Empening, Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, pernah menjadi buah bibir di tingkat nasional. Termasuk salah satu penyumbang asap yang disebut sebagai ‘bencana’ oleh penduduk Kalimantan Barat.
Yang kurang tahu mungkin akan menuding bahwa kebakaran yang terjadi di sana disengaja. Demi keuntungan pribadi petani yang ingin membuka lahan. Namun realitanya, masyarakat Desa Teluk Empening jauh lebih pening (sakit kepala/pusing) daripada masyarakat Pontianak, Pulau Jawa, Jakarta, atau bahkan Malaysia, yang hanya kebagian asapnya.
Selama tiga hari, 25-27 Mei 2016, Rakyat Kalbar satu di antara beberapa media yang ikut dalam agenda Jurnalis Trip bersama JARI Indonesia Borneo Barat ke lokasi hutan dan lahan yang terbakar habis-habisan pada September 2015 di Desa Teluk Empening.
Kamis (26/5) pagi, bersama rekan-rekan lainnya kebetulan berkumpul di sebuah bangunan kecil mirip pendopo tepi parit yang terhubung dengan Sungai Kapuas. Beberapa warga desa dan tokoh masyarakat setempat hadir di sana.
Sebagai teman ngobrol, dua teko kopi ukuran besar, beberapa kotak tembakau yang sudah diolah pabrik, tiga bungkus biskuit, dan dua toples plastik berisi talas, tersedia di atas meja. Curahan hati meluncur dari bibir warga bahwa kebakaran hebat yang melanda hutan dan lahan di desa mereka sempat membuat perekonomian masyarakat setempat anjlok.
Kendati belum dapat dihitung secara pasti berapa kerugian materilnya, sebagian besar warga yang merupakan petani karet mengaku terpukul dengan kejadian itu. “Di sini, komoditas utamanya sekarang jahe, padi, dan karet. Tapi untuk karet saya pribadi sudah frustasi,” tutur Sekretaris Desa Teluk Empening, Badron, yang ratusan batang karetnya ikut terbakar.
Di sela obrolan santai nan akrab itu, iseng Rakyat Kalbar bertanya. Kenapa dari seratusan desa yang ada di Kabupaten Kubu Raya, desa ini dinamakan Teluk Empening?
Seorang warga menjawab, merujuk cerita para tetua, dulu pernah ada seseorang yang berkayuh dari arah hilir pertigaan atau teluk di dekat wilayah Kecamatan Terentang (saat ini) untuk menyusuri Sungai Kapuas ke arah hulu.
“Saya kurang ingat ceritanya orang tua itu mau kemana. Namun yang jelas, di tengah perjalanan, karena kelelahan atau apa, mendadak orang tua yang mengayuh sampan ini merasa pening,” tuturnya.
Singkat cerita, lanjut Si Warga, singgahlah dia di tepian Sungai Kapuas untuk istirahat. “Dan secara kebetulan, dia singgah ke tepi daratan yang saat ini menjadi dermaga Desa Teluk Empening. Maka dari itu, desa ini dinamakan Desa Empening,” paparnya terkekeh.
Penjelasan tersebut tidak akan ditemukan di buku tebal yang memuat profil desa di Rumah Pintar tempat rombongan Jurnalis Trip menginap. Di sana hanya disebutkan bahwa Teluk Empening merupakan desa swadaya yang dibentuk pada Juli tahun 1963. Dulunya, desa ini bernama Desa Tanjung Duku.
Topik pembicaraan pun beralih kembali ke ‘bencana’ tahun lalu. Berdasarkan data yang masuk ke Pemerintah Provinsi Kalbar, tidak kurang dari 90 warga yang lahan perkebunannya habis dilalap api. Saat itu, kebakaran telah menghanguskan 200-an hektar lebih lahan milik warga. Sekitar 50 hektarnya merupakan hutan masyarakat yang rencananya baru diusulkan untuk menjadi kawasan hutan konservasi.
Dari tiga dusun yang ada di Empening, hanya Dusun Tanjung Harapan saja yang tidak terbakar. Sementara, Dusun Kelola Jaya dan Sampang berakhir menggenaskan. “Tempat kita berdiri sekarang ini, namanya Dusun Kelola Jaya, yang kebakarannya paling besar,” sambung Sekdes Teluk Empening Badron, yang memandu rombongan Jurnalis Trip.
Secara demografis, Desa Teluk Empening satu di antara 9 desa yang ada di Kecamatan Terentang. Desa ini terhubung langsung dengan bibir Sungai Kapuas dan diapit atau berbatasan dengan Desa Terentang Hulu di sebelah selatan, Desa Teluk Bayur sebelah Barat, dan Desa Permata sebelah Timur.
Letak desa ini tidak terlalu jauh dari ibukota Kabupaten Kubu Raya. Kalau dari Dermaga Sungai Durian (dekat Bandara Supadio), jaraknya hanya sekitar sejam menggunakan speedboat atau 2 jam menggunakan motor. Jarak tempuhnya lebih kurang 70 Km.
Selama bertahun-tahun, 90 persen tumpuan perekonomian desa yang dihuni oleh 1.126 jiwa dengan 327 KK ini berada pada sektor pertanian dan perkebunan. Luas lahan persawahan 475 hektar dan perkebunan karet 550 hektar. 1.413 hektar lainnya untuk lahan pengembangan. (*/bersambung)
Fikri Akbar, Kubu Raya