Kasus Politik Uang Harus Dikawal

ilustrasi. net

eQuator.co.id – SAMARINDA-RK. Praktik culas terungkap pada Pemilu 17 April lalu. Dugaan politik uang mencuat ketika dua pemuda diciduk warga RT 6, Jalan Pramuka 2, Sempaja Selatan, Samarinda Utara. Lembaran fulus bernilai total Rp 33,4 juta jadi bukti aksi AR dan AT. Selain itu, ada 40 lembar formulir C-6 atau daftar pemilih yang disita dari tangan keduanya. Data yang seharusnya hanya boleh dipegang penyelenggara pemilu tingkat RT atau KPPS.

Bawaslu Samarinda pun berpacu dengan waktu paling lambat 14 hari untuk membenahi kasus itu. Namun, pengamat hukum asal Universitas 17 Agustus Samarinda Roy Hendrayanto menilai, pengawas pemilu mestinya tak perlu repot-repot mengklarifikasi dugaan itu. “Sebenarnya ini mirip OTT (operasi tangkap tangan), jadi bisa langsung diproses jadi pidana pemilu,” sebutnya seperti diberitakan Kaltim Post (Jawa Pos Group).

Bukti-bukti pidana pemilu dalam peristiwa itu pun, sambung dia, sudah cukup lugas. Dari uang hingga formulir C-6. Bawaslu bersama Sentra Gabungan Hukum Terpadu (Gakkumdu) mestinya bisa memproses perkara itu hingga bergulir di meja hijau.

 

Pasalnya, nilai dia, semua alat bukti sudah terpenuhi, mengingat adanya tangkap tangan untuk menyebarkan uang peluncur dukungan ke salah satu peserta pemilu. Kasus ini pun menjadi ujian integritas Bawaslu dalam menegakkan demokrasi. “Kalau akhirnya lenyap begitu saja. Bawaslu jelas harus dipertanyakan kapasitasnya mengawal pemilu,” tuturnya.

Apalagi, banyak kasus yang sempat mencuat namun minim aksi nyata dari pengawas pemilu di Kota Tepian dalam menunjukkan kapabilitasnya. Semisal, sebut dia, kasus ASN yang terlibat kampanye salah satu kader Golkar dan dugaan bagi-bagi sembako salah satu peserta pemilu di Samarinda Seberang.

Di tingkat nasional bahkan ada kasus yang menjerat Mandala Shoji karena bagi-bagi sembako. Untuk dugaan politik uang itu, lanjut dia, harus menjadi atensi publik Kota Tepian agar penyelesaian perkaranya tak surut termakan waktu tanpa hasil yang jelas. “Bukti sudah jelas, bentuknya serupa OTT. Masa nanti ujungnya dibilang kurang alat bukti,” ketusnya.

Roy, begitu dia disapa, bahkan berencana melaporkan para komisioner Bawaslu Samarinda ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) jika kasus ini lenyap begitu saja. “Jelas ada yang salah jika kasus seperti ini dianggap tak cukup bukti,” tutup anggota Asosiasi Pengajar Hukum Tata Usaha Negara–Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Samarinda itu. (Jawa Pos/JPG)