Kasihanilah Orangtuaku Jika Engkau Mengambil Dua Anaknya

Perjalanan Hajiku (Bagian 4)

SELFIE. Rombongan 9 Kloter 14 BTH berangkat bersama Melontar Jumrah, sebelum tragedi Mina terjadi (Tgl 24 September 2015, Jam 06.45 WAS). ARNINDA IDRIS

Usai peristiwa crane roboh tepat di hadapannya, sampailah Arninda Idris melaksanakan puncak ibadah haji. Wukuf di Arafah. “Labbaikallaahumma hajjan,. Tak dinyana tragedi berikutnya menunggu dia, Tragedi Jalan Arab 204. Masih dengan gaya ‘aku’, Arninda menuturkan.

 

Makkah, 22 September 2015

eQuator – Hari ini, semua jamaah haji berpakaian sama, mengenakan ihram. Semua berniat satu: “Labbaikallaahumma hajjan, ya Allah kupenuhi panggilanmu untuk berhaji”.

Sejak pagi, seluruh jamaah sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Arafah. Hotel yang membentuk lingkaran tempat rombongan kami menginap memudahkanku untuk melihat persiapan dari lantai satu sampai 16. Pengumuman demi pengumuman menggema. Untuk Kloter 14 BTH belum dipastikan jam berapa. Kita disuruh bersiap-siap pada waktu Zuhur.

Dan, azan pun berkumandang. Semua Salat Zuhur berjamaah di masing-masing lantai, tepatnya di depan lift. Karena kami akan melakukan perjalanan, jadi Salat Zuhur dan Asar digabung di satu waktu. Setelah itu, kami kembali ke kamar, siap-siap berangkat. Akupun langsung berganti pakaian ihram dan melaksanakan salat sunnah ihram.

Dari luar sana terdengar suara, “Rombongan 9 (rombonganku) segera turun ke bawah”. Satu persatu jamaah pun menuju lobi hotel. Aku belakangan, karena harus menunggu abang, Adryansyah Idris, yang masih membereskan barang sambil bertanya-tanya. “Katanya sore, kenapa sekarang disuruh turun???”.

Jam menunjukkan pukul 14.00 WAS (Waktu Arab Saudi), kami berkumpul di lobi hotel. Kulihat abang yang bertindak sebagai ketua rombongan bolak balik kedepan bertanya, “Bus untuk rombongan 9 udah siap??”.

Ternyata hanya tersedia satu bus. Sangat berat hati, abang mengumumkan hal itu kepada jamaah rombongannya. Sambil menunggu bus datang, aku dan abang sempat berfoto-foto dan mengirimkannya melalui Line ke keluarga di Pontianak, untuk meminta doa agar diberikan kelancaraan selama melaksanakan puncak haji ini.

Dengan kapasitas satu bus menampung dua rombongan sekaligus, kami mengutamakan ibu-ibu dan Lansia untuk duduk. Tepat pukul 15.00 WAS, bus pun berjalan. Dipimpin Ketua Regu 35, Pak Muslimin, kami berniat haji dan talbiyah. Sepanjang perjalanan, kami terus bertalbiyah dan melihat sekeliling, kondisi jalan dan tenda yang sudah hampir dipenuhi para jamaah dari seluruh dunia.

Pukul 16.00 WAS, sampailah kami di Arafah. Terlihat jelas tanda tulisan Kloter 14 BTH, disitulah kami berhenti. Di perjalanan, bus yang kami tumpangin dua kali mogok. Tapi, Alhamdulillah, lancar kembali.

Tenda kloter 14 BTH lumayan jauh, berada di sektor 9 berdekatan dengan Kloter 23 SOC. Tenda yang ditempati lumayan luas, gabungan dari rombongan 8, 9, dan 10.

Cuaca sore yang lumayan panas tidak menghalangiku untuk berkeliling sendiri sampai ke dapur, tempat dimana makanan kami berada selama di Arafah. Sampai aku ditegur, “Hei Hajja, tidak boleh di dapur”. Aku senyum saja, dan kembali ke tenda sambil membawa sekantong besar makanan. Makanan itu langsung kubagikan kepada rombonganku.

Sambil menunggu waktu magrib, aku berusaha mengabadikan setiap momen. Bercanda tawa, para jamaah lainnya ikut foto sama-sama sambil mengemasi tempat kami tidur nanti malam. Posisi tidur kami sudah diatur, kepala ketemu kepala, kaki ketemu kaki.

Pukul 18.00 WAS, azan magrib berkumandang, semua bersiap-siap dan pergi ke toilet bersama-sama. Toilet cukup padat, digunakan jamaah mandi maupun berwudhu. Kami melaksanakan Salat Magrib berjamaah yang dijamak dengan Salat Isya. Seusai salat, kami memanfaatkan waktu beribadah. Ada yang mengaji, ada yang berzikir. Puncak wukuf pada esok hari.

Saat kami akan beristirahat, tiba-tiba angin kencang menghampiri tenda. Tenda yang berdiri hanya ditopang tiang besi pun bergoyang. Kami semua berusaha tenang dan berdoa.

Tenda masih bergoyang cukup keras sehingga kami semua memegang tiang bersama. Tenda tetangga sudah roboh. Tiba-tiba, air mataku mengalir saat aku memegang tiang, sempat badanku tidak kuat menahan terpaan angin menyerupai badai itu. Salah seorang jamaahku membantu untuk memegang tiang bersama.

Terdengar suara Ketua Regu 35 menenangkan kami semua. Inilah ujian pertama kita, banyak sekali dosa-dosa yang kita bawa dari tanah air tanpa kita sadari. Disinilah ujian Allah datang untuk kedua kalinya, setelah kejadian crane roboh di Masjidil Haram.

Suara dari petugas Kloterpun bersahutan, semua diminta tetap tenang dan memegang tiang, jangan sampai roboh. Sekitar sejam kemudian, badai itu berangsur berhenti. Alhamdulillah, syukur aku panjatkan kepada Allah. Setelah semuanya tenang, pikiranku beralih kepada abangku, kemana dia? Aku tidak melihatnya saat badai tadi.

Ternyata, di ujung dekat pintu keluar tenda, abangku sedang tidur. Aku bertanya, “Bang..baik-baik aja??”. Tidak ada jawaban sama sekali, aku hanya memegang keningnya, ternyata agak hangat. Aku biarkan abangku tidur dan tak lama akupun tertidur. Demikian pula jamaah lainnya.

Arafah, 23 September 2015.

Pukul 02.00 WAS, aku terbangun dari tidurku dan bergegas ke toilet untuk berwudhu melaksanakan salat malam. Aku bangunkan abangku dan dengan sangat lemas, dia berjalan menuju toilet juga. Sempat bertanya-tanya dalam hatiku, “Ada apa ya dengan abang? Kenapa dia tidur terus dan diam?”, Aku hilangkan keraguanku dan aku berdoa semoga abang selalu sehat dan selesai melaksanakan puncak haji.

Aku dirikan salat malam, mulai Salat Taubat, Tahajud, Hajat, dan Witir. Kusampaikan doa-doa yang dititipkan sebelum aku berangkat ke tanah suci. Disinilah Arafah, tempat dimana doa demi doa paling di-ijabah (kabulkan) Allah. Karena banyak sekali titipan doa, hanya satu doaku, “Ya Allah, kabulkan doa-doa yang dititipkan ke aku sesuai hajat mereka masing-masing, Engkau maha mengetahui apa yang mereka minta. Aaamiin”.

Pukul 04.00 WAS, sampailah waktu Shubuh. Kami salat berjamaah di imami Ketua Kloter 35.

Pagi hari pun tiba, semua sibuk dengan aktivitas masing-masing. Bersama reguku, kami berjalan-jalan pagi sambil menghirup udara Arafah. Kami bisa melihat aktivitas dari masing-masing tenda bahkan melihat bus-bus melewati area tenda kami. “Sepertinya ada yang baru tiba di sini, mungkin Haji Plus”, gumamku.

Mataku tertuju kepada sebuah kontainer besar yang dikerumuni para jamaah. “Apa itu Bu?”, aku bertanya ke salah seorang jamaah yang baru dari sana. “Itu sedekah buat kita, gratis”, balasnya.

Tak lama kemudian aku kembali ke tenda dan meminta Bapak-bapak untuk mengambilnya. Lumayan, buat cemilan, ternyata luar biasa banyak minuman sampai kue-kue yang dikemas dalam kotak di sana. Seolah tak habis-habis.

Pukul 11.00 WAS, sampailah pada persiapan wukuf. Semua jamaah kembali menentukan posisi dan berwudhu. Karena sudah berpakaian ihram, jadi diharamkan memakai wewangian. Tidak boleh pula bersisir dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik.

Tak berselang lama, waktu wukuf tiba. Ini rukun haji yang wajib dilaksanakan dalam kondisi sakit ataupun sehat. Jika tidak dilaksanakan, maka hajinya tidak sah.

Pukul 12.00 WAS, wukuf di Padang Arafah dimulai dengan menjamak Salat Zuhur dan Asar di waktu Zuhur secara berjamaah. Bertindak selaku imam, pembimbing ibadah dari Rombongan 10. Setelah itu mendengarkan Khotbah Wukuf. Dilanjutkan dengan anjuran berzikir dan berdoa kepada Allah. Berdoa sesuai keinginan dengan mengangkat tangan dan menghadap kiblat sampai matahari terbenam.

Disinilah aku dan jamaah lainnya menangis karena mengingat kembali apa yang telah dilakukan selama di dunia. Banyak banget dosa-dosa yang kita lakukan bahkan tanpa kita sadari. Inilah tempat bertaubat memohon ampun kepada Allah.

Mataku kembali tertuju kepada abangku yang terlihat mulai berubah, sebentar berdoa dan berzikir, tidak lama kemudian tidur lagi, begitu seterusnya. Hatiku mulai gelisah melihat abangku yang banyak diam dan tidur sampai aku meminta obat sama dokter untuk dia. Setelah makan dan minum obat, kondisi abangku mulai fit dan bersemangat.

Pukul 18.30 WAS, semua sudah bersiap-siap untuk menempuh perjalanan menuju Mina, diharuskan singgah dahulu di Muzdalifah sampai waktu tengah malam untuk mengambil kerikil sesuai jumlah yang telah ditentukan untuk melontar jumrah.

Saat menuju bus, antriannya sangat panjang. Sampai-sampai, aku harus mengarahkan rombonganku dengan bendera kuning polkadot (tanda pengenal) tepat di pintu gerbang tempat bus stop.

Menunggu beberapa menit, akhirnya bus kami datang. Kali ini, saling berebutan naik. Aku berlari duluan untuk mencari tempat duduk untuk para Lansia.

Pukul 20.00 WAS, kami diturunkan di Mina Jadid. Tempat kami tinggal selama di Mina. Saat kami meletakkan tas di dalam tenda, sebagian jamaah ada yang langsung berangkat ke Muzdalifah dengan berjalan kaki. Sebagian lagi menunggu instruksi dari panitia dan petugas Kloter.

Aku sempat menelpon papaku, H. Idris Usman, dan bertanya, “Pa, kita diturunkan langsung di Mina, gak ke Muzdalifah, terus gimana pa?”. Papa langsung menutup telpon dan mungkin menghubungi Ketua Kloter untuk menanyakan ada apa.

Karena abang dalam kondisi belum benar-benar fit, ia langsung tidur. Posisinya ketemu kepala denganku. Tak lama kemudian, petugas penanggung jawab tenda kami masuk dan mengumumkan bahwa Mina Jadid satu wilayah dengan Muzdalifah. Jadi, sah saja kalau kita bermalam di Mina. Rangkaian ritual ibadah haji setelah wukuf di Padang Arafah, bermalam di Mudzalifah baru ke Mina, ya inilah tempatnya. Keraguan kami sempat mencuat dan berdebat dengan Si Petugas.

Namun, perdebatan tak lama. Kami bergegas keluar untuk mengambil batu kerikil. Sebenarnya sangat sulit karena bingung membedakan mana yang batu, mana yang bongkahan semen. Hampir sama.

Setelah kami mengambil 70 buah batu kerikil, aku dan dua jamaahku mencuci kerikil itu di sebuah kran air yang ternyata adalah air zam-zam yang sangat dingin. Aku meminumnya karena haus. Dan, kamipun kembali ke tenda, istirahat.

Mina, 24 September 2015

Subuh menjelang, aku yang berusaha bangun dari tidurku ternyata diberikan cobaan. Badanku kram, kurasa efek tragedi crane. Sebab, semenjak kejadian itu, setiap aku salah gerak, seluruh badan langsung kram dan sangat sakit. Salah seorang jemaah perempuan memijat kakiku sampai kramnya hilang, dan ibu lainnya memanggil dokter yang bertugas saat itu. Dokter memberi salep agar nyerinya cepat hilang.

Alhamdulillah saat azan subuh, aku bisa ikut salat berjamaah di tenda sebelah. Aku tidak menemukan abangku di situ. Ternyata, abangku masih di tendanya dan salat sendiri.

Aku mendengar ia meminta obat kepada dokter. Kata abang, “Kak, ada obat menguatkan jalan gak?”. Sontak aku kaget. Kok abang minta obat itu. Soalnya, ada pengumuman dari petugas, karena faktor cuaca yang panas, kita tidak melontar pada siang hari. Dimajukan setelah Salat Subuh.

Tidak tahu kenapa, hanya Rombongan 9 yang tiba-tiba berangkat saat gerbang dibuka. Tepat pukul 06.00 WAS, kami melangkahkan kaki dan menyeberang ke tempat melontar jumrah. Yang aku lihat hanya rombongan kami yang Orang Indonesia. Yang lainnya orang luar semua, badannya besar-besar dan tinggi-tinggi.

Aku melihat ke belakang, tak ada rombongan lain dari Kloter 14 BTH yang ikut bersama kita. Di situlah keraguanku datang. Tidak tahu kenapa, sangat tak tenang, sampai aku bilang kita lewat jalan luar aja. Tapi salah seorang jamaah mengatakan, di luar bahaya, banyak bus lewat.

Pukul 06.45 WAS, kuhilangkan keraguanku dengan foto-foto dan merekam perjalanan kami, semuanya terlihat senang dan bahagia. Dengan bersemangat kami bertalbiyah bersama. Cukup lama video yang aku rekam, kira-kira 56 detik sebanyak dua kali. Aku langsung mengirimkan video itu ke papaku di Pontianak agar dilihat. Dan, papa pun mendoakan keselamatan bagi kami.

Perjalanan kami sudah ditempuh kurang lebih satu jam lewat 30 menit. Lama kelamaan mulai ramai sampai abang menyuruhku untuk menyimpan handphone ditas. Karena berbahaya.

Di sepanjang perjalanan, kami bingung. Terus bertanya dimana jalan menuju tempat melontar. Kami selalu diarahkan lurus saja dan mengikutinya. Beberapa kali berhenti karena rombongan banyak yang tertinggal. Sampai-sampai bendera yang diikatkan di tongsis aku angkat tinggi bergantian bersama abang.

Kami jalan berdua-dua saja agar tidak lepas satu sama lain. Suami istri berpegangan, yang sendiri bersama teman satu sama lain. Kami melanjutkan perjalanan sampai kami berhenti di persimpangan jalan. Jalan lurus ditutup oleh laskar yang bertugas. Disitulah kecemasanku mulai datang dan tiba-tiba perasaan sangat tidak enak. Sampai aku bertanya, kenapa kami dialihkan ke kiri? Ke Jalan Arab 204.

Yang kulihat, rata-rata yang melintas di situ orang besar dan hitam. Itu sangat berbahaya bagi kami Orang Indonesia yang notabene bertubuh lebih kecil. Tapi kami tetap melintasi jalan itu. Mulai desak-desakan sehingga mencoba berjalan ke tengah mengikuti alur. Salah seorang jamaah kami ada yang sudah tidak kuat dan ada yang hampir pingsan sehingga berhenti.

Aku melihat ke belakang yang sudah mulai padat, hanya tersisa beberapa belas jamaah rombongan kami, kemana yang lain? Aku mulai menangis karena kami tidak bisa lagi berhenti. Depan-belakang saling menekan. Tiada hentinya air mataku mengalir dan berkata, “Bang, ayo pulang, adek gak kuat lagi”. Abang langsung memelukku dan berkata, “Tenang dek, kita minggir. Abang juga udah gak kuat, kaki abang lemas”.

Abang terus memelukku dan mengarahkanku ke pinggir sebelah kiri jalan, sampai tiba-tiba kakiku terkait kaki orang hitam tinggi besar. Aku terjatuh di tumpukan orang. Abangku jatuh ke pagar.

“Allahuakbar…Astaghfirullah…Subhanallah,” terus aku ucapkan karena mataku terdongak melihat teriknya sinar matahari, suhu saat itu mencapai 50 derajat. Aku mencari jamaahku, sudah tidak ada. Hanya terdengar suara Ibu Dahlia, salah seorang anggota reguku yang memintaku menarik tangannya. Tapi apa daya, aku sudah terbaring dan tertimpa oleh orang bertubuh besar.

“Bang…tolonggggg, sakit bang….”, ucapku dengan suara yang sangat lantang karena sakitnya memang luar biasa. Kakiku dijadikan pijakan untuk naik ke atas tenda oleh orang hitam. “Sabar dek, selamatkan diri sendiri. Abang baik-baik saja”, jawabnya.

Sudah tidak kuat, terus diinjak-injak, aku berdoa, “Ya Allah, jika ini ujianMU, matikan rasa seluruh badanku sehingga aku tidak merasakan sakit saat tubuh ini diinjak-injak”.

Tidak lama kemudian, dari kaki sampai dada mati rasa. Aku tidak merasakan sakit meski diinjak lagi. Sampai aku berteriak lagi memanggil abang, tapi tidak ada jawaban. Aku berdoa kepada Allah agar abangku dan jamaah lainnya diselamatkan. “Kasihanilah orangtuaku, jika Engkau mengambil kedua anaknya,” pintaku.

Air mataku terus mengalir sambil berteriak meminta pertolongan kepada polisi yang baru datang. Sama sekali tidak didengar, sampai akhirnya jilbabku terlepas dan nyangkut di leher. Tiba-tiba ada yang menarik jilbabku dan leherku langsung tertarik ke belakang. Disitulah aku mulai mengucapkan dua kalimat syahadat berkali-kali karena nafasku sudah di tenggorokan dan tidak kuat lagi untuk bertahan. Ada 5 sampai 6 orang yang duduk di atas badanku.

Pukul 11.00 WAS, aku terbangun dengan oksigen yang di hidung dan balok es di sekujur tubuhku. Aku melihat sekeliling dan bertanya “Dimana aku?”. Tiba-tiba ada salah satu dokter menghampiriku dan berkata “Alhamdulillah hajja”. Aku masih bengong dan pusing. Saat akan bangun, seluruh badanku tidak bisa digerakkan dari leher, tangan, sampai kaki. Aku teriak kesakitan dan perawat menghampiriku, “Sabar hajja, semua akan baik-baik aja”.

Aku diberikan air sangat manis agar kondisi semakin pulih. Mencoba sedikit demi sedikit menggerakkan tangan kiri dan mengambil HP yang ada di tas yang masih melekat di badanku. Aku telpon papa mengabarkan keadaanku dan bertanya, “Kemana abang pa?”. Papa hanya bisa menjawab, “Kita sama-sama berdoa ya Nak, semua akan baik-baik saja”.

Tak lama kemudian, sakit yang aku rasa sungguh luar biasa sampai tidak sadarkan diri lagi. Belakangan aku baru sadar ditemani salah seorang anggota reguku di ambulans, dibawa ke rumah sakit di Makkah dalam keadaan kaki digips karena cidera.

Tiba di Rumah Sakit King Abdullah Medical City Makkah, aku langsung dilarikan ke UGD. Tubuhku mulai dipasang selang, hidungku dipasang oksigen, tanganku dijepit dengan alat, leherku dipasang collar neck dan mulai diambil darah plus diinfus.

Pukul 17.30 WAS, masa kritisku terlewati hingga aku bisa bernafas dengan normal. Tapi masih tidak bisa bergerak. Aku dipindahkan ke ruang rawat di lantai 2. Dirawat oleh perawat asal Filipina bernama Mrs. Juhairah dan asal Kuala Lumpur, Mrs. Zubaidah. Dokter yang menanganiku Dr. Ehab Mohammad El-Husseiny M. Tepat azan magrib yang berkumandang di TV, aku melihat sekelilingku. Bertanya-tanya, dimana abangku? Ya Allah, semoga selamat semua. Aku melaksanakan Salat Magrib di tempat tidur dengan kondisi berbaring.

Pukul 21.00 WAS, tiba-tiba polisi Saudi datang menghampiriku dan bertanya tentang kejadian yang kualami. Didampingi pemerintah Arab dan petugas rumah sakit, aku menceritakan semua kejadian dari awal sampai aku berada di rumah sakit.

Ditanya apa permintaaanku, aku hanya ingin seluruh jamaah di rombonganku ditemukan segera. Setelah itu, aku meneken bukti beritanya. Tidak lama kemudian, aku meminta tasku. Mengambil HP untuk menghubungi keluargaku dan yang lainnya, termasuk bosku di Rakyat Kalbar. Serta, minta perawat mengambil fotoku untuk dikirimkan keluarga agar tahu kondisiku saat ini.

Makkah, 25–26 September 2015

Aku menjalani perawatan sangat intensif di rumah sakit. Banyak yang menghiburku, termasuk teman sekamarku yang berasal dari Makkah. Makanan yang diberikan satupun tidak bisa aku makan. Hanya sedikit saat aku disuapi oleh perawat karena harus minum obat.

Dokter terus menyemangatiku karena sudah selamat dalam Tragedi Mina itu. Dan, akhirnya aku boleh pulang ke penginapan. Saat melontar jumrahpun aku di bakdal-kan anggota reguku. Aku dijemput petugas BPHI dan dibawa ke rumah sakit khusus Orang Indonesia.

Telpon berdering, papa berucap, “Innalillahi Wainnailahi Rojiun, abang sudah wafat kak, kakak sabar ya…”.

Histeris aku berteriak dan langsung tidak sadarkan diri. Setelah siuman aku hanya terdiam dan air mataku terus menetes. Sepanjang perjalanan aku dibawa dengan kursi roda dan dijemput oleh petugas Kloter sampai di hotel. Sampai aku histeris lagi saat berada di depan kamar. Semua memelukku dan memberikanku semangat serta tasbih untuk berzikir agar tidak larut dalam kesedihan.

Tidak ada kata yang terucap sedikitpun dari mulutku, makanpun disuapkan. Zikir demi zikir aku lantunkan dalam hati. Sampai malampun datang, aku merasakan abang datang kepadaku, mengelus kepalaku, dan mencium keningku. Dan itu sangat jelas sekali. Abang berpesan padaku,

“Dek…kuat ya, harus semangat untuk sembuh, abang di sini baik-baik saja. Jaga mama, papa, adek, kakak ipar dan anak abang ya. Jangan buat mereka sedih. Tinggal adek satu-satunya harapan mereka. Jaga mereka untuk abang”.

Di situlah aku berpikir, aku tak boleh gini terus, aku harus semangat untuk sembuh, banyak yang sudah menungguku di Tanah Air. Insya Allah. (*/bersambung)