eQuator.co.id – Long weekend segera tiba. Bagi yang sudah berkeluarga, mungkin sudah ada rencana akan ngapain aja. Bagi yang tidak ke mana-mana, maukah isi waktu dengan permainan zaman dahulu kala? Bagi orang tua, beranikah Anda membiarkan anak-anak bermain seperti zaman kita dulu?
Tiap orang tentu punya masa kecil yang berbeda-beda. Apa yang saya rasakan dulu mungkin beda dengan sebagian orang. Tapi sepertinya mirip dengan banyak orang.
Dari SD sampai SMP, saya sekolah naik becak, lalu kemudian naik sepeda. Sama seperti kebanyakan anak zaman dulu, pulang sekolah tidak banyak les atau kegiatan belajar di luar sekolah. Pulang sekolah, kegiatan terbanyak ya MAIN.
Paling sering, main sepak bola sampai magrib di lapangan terdekat. Kalau lapangan dipakai orang, ya main sepak bola di jalanan aspal di depan rumah, tanpa sepatu. Menggunakan sandal atau sepeda BMX sebagai gawang. Kadang, bola masuk selokan yang seringkali airnya berwarna kehitaman. Tidak masalah. Tinggal diambil, dan ditendang-tendang lagi.
Hujan? Makin mengasyikkan! Berbahaya? Kata siapa! Sesekali kaki menginjak duri, paku, atau serpihan kayu. Sesekali menendang batu, atau bolanya meleset dan kaki menggesek/menghantam aspal kasar. No problem!
Sedang demam bulu tangkis? Ya main bulu tangkis di pelataran rumah, menggunakan pagar sebagai net. Supaya asyik, harus mencari rumah yang pagarnya tidak terlalu tinggi, dan punya “area” cukup untuk bermanuver. Apalagi kalau main ganda.
Ini risikonya paling sedikit. Paling kalau salah lari yang menabrak pagar besi. No problem!
Permainan favorit lain: Pate Lele. Saya tidak tahu di tempat lain permainan ini disebut apa, tapi ini permainan di mana kita menggunakan potongan kayu panjang dan pendek. Yang pendek dimiringkan di tanah, dipukul agar memantul ke atas, lalu dipukul lagi agar terlempar sejauh mungkin.
Tugas tim lawan adalah menangkap potongan kayu pendek itu. Kalau menangkap satu tangan, ada bonus poin. Pakai tangan kiri, tambahan bonus. Pakai jari, bonus lebih banyak lagi. Semakin sulit cara menangkapnya, semakin tinggi poinnya.
Kalau gagal tertangkap? Yang memukul lantas menghitung jarak dari lokasi jatuhnya kayu pendek menuju titik start. Semakin jauh, semakin tinggi poinnya. Saking asyiknya main “baseball Jawa” ini, dulu saya dan teman pernah bermain berjam-jam, hampir seharian, sampai meraih poin ribuan.
Berbahaya? Sekarang saya baik-baik saja tuh. Walau kadang kayu yang dipukul keras menghantam badan, kaki, tangan, dan kepala! No problem!
Seru lagi adalah permainan yang kami kenal dengan nama “Boy-boyan”. Entah apa namanya di tempat lain. Di permainan ini, alatnya adalah bola tenis atau batu yang dibungkus tebal memakai kertas sehingga menyerupai bola. Lalu setumpuk batu pipih atau keramik.
Tim A bertugas menggelindingkan bola/batu-kertas ke arah tumpukan batu pipih/keramik. Ketika terjatuh, maka Tim A harus mencoba menata kembali tumpukan itu sementara Tim B mencoba “mematikan” semua anggota Tim A dengan melempari mereka menggunakan bola/batu-kertas.
Kata “mematikan” kadang sangat tepat. Karena kami akan mencoba mengenai badan lawan dengan lemparan sekeras mungkin. Semakin keras bunyi “Buk!”, semakin puas. Dan kita bermain di jalan aspal perumahan, di mana kadang kami berlarian di saat mobil/motor/sepeda/Pak Bakso berseliweran.
Kadang bola/batu-kertasnya masuk selokan yang berwarna kehitaman. Tidak masalah. Tinggal diambil, lalu dilemparkan ke pemain lawan. Malah bagus, karena kalau kena ada bukti warna hitam menempel di badan/baju/celana/kepala lawan.
Badan memar? Kadang iya. Sedikit berdarah? Kadang iya. No problem! Kadang, karena saling tidak terima, terjadi perselisihan. Kadang, berlanjut ke berantem. NO PROBLEM!
Satu lagi yang seru, biasanya saat bulan Ramadan. Kami beli yang kami sebut dengan nama “Mercon Sreng” alias semacam roket mini (entah apa namanya di tempat Anda).
Kebetulan, kamar saya ada di lantai atas. Kamar teman saya juga di lantai atas, berjarak sekitar lima rumah. Malam usai Tarawih, kami main perang-perangan. Saya menembakkan roket ke kamarnya, dia membalas. Kadang masuk rumah orang. Kadang meleset ke jalanan.
Pernah juga kami “menyerbu” rumah teman. Sama, kamarnya di lantai atas. Kami berkumpul di lapangan bola di depan rumahnya, lalu ramai-ramai menembakkan roket ke arah kamarnya. Kadang kena kaca rumah, kadang kena pintu kamar, kadang meleset ke rumah orang.
Kadang, teman saya itu membalas menembak ke arah lapangan. Dan kadang tembakannya akurat, sehingga saya harus menampik roket mini itu dengan tangan. Bekasnya sampai sekarang masih ada di jari kelingking saya sebelah kanan.
Berbahaya? No problem! Toh tidak ada teman saya atau orang lain yang kena roket di kepala (he he he). Seru bukan? Dan relatif murah!
Tapi itu dulu. Sekarang?
Rasanya keluarga saya dan kebanyakan keluarga lain sama. Sebisa mungkin anak-anak kita “steril”, tidak luka dan tidak sakit. Luka sedikit, obatnya banyak. Sakit sedikit, bingung ke dokter atau ke rumah sakit. Kalau bapaknya bilang jangan terlalu bingung, ibunya mengomeli bapaknya.
Mengingat masa kecil dulu, dan melihat anak-anak saya sekarang, rasanya kok kasihan ya. Lesnya banyak. Membuat lebih minim kesempatan bermain di luar. Dan kalau mau bermain di luar, bermain di mana?
Perumahan modern sekarang banyak yang tidak punya fasilitas bermain. Kalau dipikir-pikir, lapangan tempat saya bermain dulu sekarang sudah jadi bangunan. Hujan sekarang, katanya, tidak seperti hujan dulu. Jadi kalau hujan, jangan sekali-sekali keluar rumah! Kasihan ya anak-anak sekarang…
Bukan maksud membanding-bandingkan. Tapi ini yang bisa saya sharing dari negara lain yang lebih maju. Waktu berkunjung ke Perth, Western Australia, saya kagum dengan penjelasan tugas Departemen Olahraga dan Rekreasi di sana.
Yang namanya departemen itu sama sekali tidak memikirkan prestasi, medali, dan lain-lain. Tugasnya hanya memastikan masyarakatnya punya akses ke fasilitas olahraga dan rekreasi. Kalau satu kawasan baru tidak punya gedung olahraga, maka akan mereka bangunkan. Kalau tidak ada taman dan jogging track, mereka bangunkan.
Karena jangka panjangnya, masyarakat yang sehat dan kuat akan membebani lebih ringan, karena beban biaya kesehatan mereka juga lebih rendah. Jadi, ada jaminan tempat berolahraga dan bermain.
Di Amerika, banyak organisasi bernama “Boys and Girls Club”. Biasanya fasilitas yang didirikan di suatu kawasan, di mana anak-anak bisa bermain, beraktivitas, dan berolahraga. Bebas dari pungutan biaya.
Di sanalah anak-anak bisa mengisi waktu sepulang sekolah. Suka seni? Ada kelas menggambar atau studio musik. Suka olahraga? Ada gym dan lapangan basket, atau bahkan lapangan outdoor untuk main sepak bola, American Football, atau baseball. Butuh tempat curhat? Ada fasilitas counseling.
Sekali lagi, bukan bermaksud membanding-bandingkan. Cuman di Indonesia ada gak ya yang memikirkan hal-hal seperti itu? (*)