eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Sesuai Perpres Nomor 82 Tahun 2018, peserta JKN-KIS dari segmen PPU yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tetap memperoleh hak manfaat jaminan kesehatan paling lama enam bulan tanpa membayar iuran. Jaminan kesehatan tersebut diberikan berupa manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.
Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Pontianak Dwi Restiyanti menjelaskan, untuk peroleh manfaat tersebut tentu harus memenuhi beberapa kriteria. Seperti PHK yang sudah ada putusan pengadilan hubungan industrial. Ini dibuktikan dengan putusan/akta pengadilan hubungan industrial. Kemudian PHK yang dikarenakan penggabungan perusahaan, dibuktikan dengan akta notaris. PHK karena perusahaan pailit atau mengalami kerugian, dibuktikan dengan putusan kepailitan dari pengadilan.
“Atau PHK karena pekerja mengalami sakit yang berkepanjangan dan tidak mampu bekerja, dibuktikan dengan surat dokter,” paparnya kepada Rakyat Kalbar, Kamis (27/22).
Apabila terjadi sengketa atas PHK yang diajukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka baik pemberi kerja maupun pekerja harus tetap melaksanakan kewajibannya. “Dengan membayar Iuran sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap,” jelasnya.
Jika peserta yang mengalami PHK tersebut telah bekerja, maka ia wajib kembali memperpanjang status kepesertaannya dengan membayar iuran. “Sementara jika ia tidak bekerja lagi dan tidak mampu, maka selanjutnya ia akan didaftarkan menjadi peserta PBI,” sebutnya.
Dwi mengatakan, program JKN-KIS merupakan amanah negara yang harus dipikul bersama. BPJS Kesehatan tidak dapat berdiri sendiri mengelola program jaminan kesehatan dengan jumlah peserta terbesar di dunia ini.
“Masing-masing pihak memiliki peran penting untuk memberikan kontribusi sesuai dengan otoritas dan kemampuannya,” terangnya.
Terlebih dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 juga mendorong kementerian, lembaga, dan para pemangku lainnya untuk melakukan perbaikan di berbagai aspek. Mulai dari sisi pelayanan kesehatan, manajemen sistem rujukan, pengawasan terhadap pelayanan kesehatan, koordinasi manfaat, koordinasi penjaminan pelayanan, hingga mengoptimalkan upaya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan Program JKN-KIS.
“Dengan adanya landasan hukum baru tersebut, semoga peran kementerian atau lembaga terkait, pemerintah daerah manajemen fasilitas kesehatan, dan stakeholder lainnya yang terlibat dalam mengelola JKN-KIS bisa kian optimal,” jelasnya.
Sejauh ini kata Dwi, kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjadi peserta BPJS Kesehatan masih sangat rendah. Dari total penduduk Kalbar, baru 60 persen menjadi peserta BPJS Kesehatan.
“Ini terhitung sejak November, kesadaran masyarakat memang masih sangat rendah. Bahkan pengalaman saya di lapangkan ada yang memang tidak mau didaftarkan. Kemudian yang bekerja di perusahaan juga tidak mau mendaftar, tidak mau gajinya dipotong, ini yang banyak kami temui,” tutup Dwi. (nov)