eQuator.co.id – Orang lain boleh lebih pintar. Tapi Anda jangan lebih bodoh. Itu nasihat orang-orang tua zamah baheula. Pada masa kerajaan Tiongkok lama. Yang menjadi inspirasi konglomerat Eka Tjipta Widjaja. Yang juga sering dikutip Pak Dahlan Iskan. Dalam berbagai tulisan.
Berapa usia Anda sekarang? Kalau di atas 30 tahun, pasti sudah mengalami beberapa kali ganti KTP.
Saya memiliki KTP pertama tahun 1985. Saat kelas 2 SMA. KTP-nya waktu itu masih sederhana. Diketik manual di blangko KTP. Ada tanda tangan asli. Ada stempel asli. Istilah sekarang: tandatangan dan stempel basah.
Dasar input data dari surat pengantar pembuatan KTP. Pengantar ini juga berlaku sebagai KTP sementara. Sampai KTP aslinya jadi. Beberapa minggu kemudian. Sesempatnya pejabatnya tanda tangan.
KTP pertama saya boleh dikata KTP bodoh. Tidak bisa multifungsi. Hanya untuk identitas.
Hingga dekade menjelang tahun 2000, KTP saya masih seperti itu. Bahannya tetap kertas. Hanya lebih bagus kualitasnya. Warnanya biru. Ada lambang Garuda Pancasila. Alat ketiknya saja yang berubah. Sudah menggunakan komputer dan printer. Tapi tetap bodoh.
Dibandingkan dengan kartu identitas karyawan saya, KTP zaman itu kalah jauh kualitasnya. Kartu karyawan saya saat itu sudah memakai kartu plastik. Biaya ngeprinnya waktu itu Rp 100 ribu per kartu. Meski lebih keren, soal kecerdasannya: sama. Sama bodohnya.
Satu-satunya kartu pintar yang ada di dompet saya saat itu hanya kartu ATM. Data-data keuangan disimpan dalam pita magnetik. Yang menempel pada kartu tersebut. Kartu ATM hanya bisa digunakan pada mesin ATM bank penerbitnya. Tidak bisa antarbank. Seperti sekarang.
Belakangan kartu ATM makin pintar. Setelah menggunakan chip. Data yang disimpan lebih banyak. Sebutannya berubah. Dari kartu ATM menjadi kartu debit. Karena digunakan sebagai kartu debit. Untuk bayar aneka tagihan. Tidak hanya melalui mesin ATM penerbitnya. Tapi juga semua mesin ATM milik bank lainnya.
Kartu debit bisa digunakan untuk membayar belanja melalui card reader di meja kasir. Kena tambahan biaya: 3 persen.
Pada tahun terakhir pemerintahan SBY, akhirnya KTP saya menjadi KTP elektronik. Ada yang menyebut e-KTP. Ada yang mengatakan KTP-el. Terserah. Intinya sama. Inilah babak baru sejarah KTP di Indonesia. Dari KTP bodoh menjadi KTP pintar.
Nah agar menjadi pintar, e-KTP itu diberi chip dulu. Di dalam chip itulah direkam data sidik jari. Direkam pula data retina. Kelak, data yang tersimpan di dalamnya bisa dibaca. Dengan reader yang sesuai. Untuk berbagai tujuan.
Maka menjadi menarik, ketika calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno mengusulkan agar pemerintah tidak perlu menambah kartu untuk memberi pelayanan publik. Semua jenis layanan yang disiapkan pemerintah bisa menggunakan e-KTP saja. Data-data bisa dimasukkan ke dalam chipnya. Tinggal disiapkan alat pembacanya. Cerdas. Masuk akal. Tapi di social media, ide Sandi di-bully. Katanya: hil yang mustahal.
Dua tahun yang lalu, saya sempat diundang sebuah perusahaan teknologi informasi di Jakarta. Untuk melihat langsung sebuah mesin yang tengah dibangun. Mesin itu dirancang untuk alat transaksi keuangan berbasis data e-KTP.
Data di e-KTP yang dibaca adalah data sidik jari. Verifikasinya dua tahap: verifikasi data sidik jari e-KTP dan verifikasi data sidik jari secara fisik. Untuk memastikan, orang yang diverifikasi adalah orang yang datanya tersimpan di e-KTP.
Kelak, dengan mesin itu, orang bisa berbelanja di warung dengan membawa e-KTP dan menyodorkan jari tangannya ke mesin pemindai. Sebagai alat verifikasi. Saya belum tahu lagi, apakah mesin itu sekarang sudah selesai dibuat.
Dua tahun yang lalu juga, saya pernah membuat siaran langsung acara peluncuran produk keuangan: tabungan efek. Nasabah bank bisa membeli efek dari perusahaan sekuritas dengan e-KTP.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo hadir saat itu. Bersama Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil. Memberi sambutan. Menonton demonya. Nasabah di kantor cabang bank di Padang. Undangan menyaksikan secara realtime di Gedung Bursa Efek Indonesia.
Secara teknis, data e-KTP hasil pemindaian disinkronkan dengan pusat data di server e-KTP. Data e-KTP kemudian disinkronkan dengan pusat data nasabah di server bank dan server perusahaan sekuritas. Dalam hitungan menit, semua transaksi beres.
Makanya saya kaget. Mengapa tiba-tiba ada yang bilang, e-KTP hanya bisa untuk kartu identitas? Tidak bisa multifungsi? Mengapa e-KTP bisa bodoh?
Buat apa buang uang dan waktu untuk mengerjakan single identity number? Untuk apa mempunyai server? Buat apa merekam sidik jari? Untuk apa merekam retina? Kalau ujung-ujungnya tidak berguna, saya usul namanya diganti menjadi KTP plastik saja.
Saya jadi ingat perkataan Steve Job, boss Apple, tentang produk-produk pintar ciptaannya. Perangkat pintar yang tidak dimanfaatkan tak ubahnya sebongkah batu. Kartu pintar akan menjadi kartu bodoh bila tak digunakan.(jto)