Nasib petani Indonesia memang banyak apesnya. Dari zaman beheula sampai zaman kereta tak berkuda, nasibnya begitu-begitu saja. Penting. Tapi juga tidak penting.
Setiap mau pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden, pemilihan gubernur dan pemilihan bupati, petani dan desa mendadak jadi penting. Setelah itu? Ditengok pun belum tentu. Tunggu lima tahun lagi, jelang pemilu berikutnya!
Dua tahun lalu saya menulis fenomena kemiskinan di kelompok masyarakat pedesaan yang mayoritas petani. Kesimpulan saya, masyarakat pedesaan menjadi semakin miskin, karena industri pertanian tidak berkembang. Sektor pertanian tidak memiliki daya tarik bagi generasi muda.
Pupuk sering hilang saat diperlukan. Bibit sering lenyap saat dibutuhkan. Harga panen sering jatuh karena produk pertanian impor membanjiri pasar. Siapa yang tidak ngeri kalau kabar miring itu terus-menerus tersiar?
Desa identik dengan jalan berlumpur saat hujan. Kawasan tanpa listrik yang selalu byar-pet, belum terkoneksi dengan jaringan internet dan fasilitas pendidikan serta kesehatan yang terbatas.
Orang desa harus ke kota untuk sekolah. Orang desa harus ke kota untuk merawat kesehatan. Orang desa harus ke kota untuk mencari pekerjaan. Mencari uang.
Siapa yang tertarik tinggal di desa kalau setiap saat mendengar kabar begitu begitu sulitnya kehidupan di desa?
Pokoknya desa itu penuh kesulitan. Sementara nature manusia adalah mencari kemudahan.
Alhasil, sektor pertanian ‘’gagal’’ menjadi pilihan generasi muda. Pertanian bukan seperti gadis manis yang begitu memikat hati. Pedesaan seperti ‘’nenek lampir’’ yang bisa membuat orang mati berdiri!
Beberapa waktu lalu, Menteri Pertanian Amran merilis data yang mengejutkan. Menurut menteri asal Sulawesi Selatan itu, jumlah petani di Indonesia telah berkurang 9 juta orang. Semula ada 20 juta. Sekarang tinggal 11 juta.
Kemana mereka pergi? Mungkin beralih profesi. Bisa bekerja di pabrik, tukang ojek dan aneka pekerjaan lain di kota. Mungkin juga sebagian ‘’pindah’’ ke luar negeri, menjadi asisten rumah tangga.
Tentu saja yang pergi adalah anak-anak muda. Generasi kedua, ketiga, keempat atau kelima keluarga para petani.
Alhasil, desa hanya dihuni petani generasi tua yang sudah tak berdaya mengolah sawah dan ladang. Petani generasi tua yang mengelola pertanian dengan cara dan pola pikir zaman baheula.
Tiga puluh tahun lalu, petani di desa saya menanam padi. Sampai sekarang tetap menanam padi. Jenis padinya ‘’itu-itu’’ juga. Cara menanamnya ‘’begitu-begitu’’ juga. Pupuknya masih yang ‘’itu-itu’’ juga. Pasca panennya ‘’begitu-begitu’’ juga. Pembelinya tetap tengkulak yang ‘’dia-dia’’ juga.
Tidak ada yang berubah dalam tiga dasa warsa. Padahal kebutuhan konsumen terus berubah. Konsumen kota makin suka masakan Jepang. Tapi petani tidak menanam padi Jepang. Restoran Timur Tengah dan India kian banyak. Tapi beras ‘’mandi’’ tidak diproduksi para petani.
Meningkatnya kesadaran hidup sehat juga membuat tren kebutuhan beras berubah. Konsumen tidak hanya butuh beras, tetapi beras yang sehat. Konsumen butuh beras organik. Petani masih menanam padi dengan pupuk kimia. Sama seperti 30 tahun yang lalu.
Ada mata rantai yang terputus di sini. Ada yang tidak ‘’nyambung’’ antara kebutuhan dan suplai.
Kemarin (Minggu, 4/2), dunia memperingati hari kanker. Kanker adalah fenomena pertumbuhan sel yang tidak wajar dalam jaringan normal. Karena pertumbuhannya yang ‘’liar’’, jaringan normal terganggu.
Kanker mirip benalu. Di mana benalu itu hidup, inangnya pasti terganggu. Lama-lama kurus. Lalu meranggas. Akhirnya mati.
Selain gaya hidup tidak sehat, salah satu pemicu kanker adalah makanan yang tidak sehat. Karena itu, tren konsumsi beras, sayur dan buah-buahan organik semakin besar.
Konsumen produk organik tidak hanya penderita kanker. Mereka yang tidak ingin mengidap kanker pun memerlukannya.
Harga produk organik lebih mahal daripada produk anorganik. Tapi, apa arti kemahalan itu? Toh begitu jatuh sakit, biayanya jauh lebih mahal.
Peringatan hari kanker sedunia, semestinya bisa menjadi momentum yang baik untuk menggairahkan industri pertanian. Peringatan hari kanker sedunia tidak akan besar manfaatnya kalau hanya diisi dengan upacara-upacara.
Peringatan hari kanker sedunia akan lebih bermakna, kalau bisa menjadi momentum pemberian insentif kepada generasi muda untuk kembali ke desa. Membangun industri pertanian yang sesuai gaya hidup.
Selamat datang di era lifestyle farming. Selamat datang di era smart farming. Selamat datang di era pertanian zaman now.
*Joko Intarto
Admin DI’s Way, blogger