eQuator – Stigma buruk itu terlanjur melekat. Kampong Beting identik dengan kampung pengedar Narkoba seperti Kampung Ambon di Jakarta. Di situ ada pula penadah, Curanmor, pejudi, pelaku kriminal dan preman dengan solidaritas tinggi. Padahal, legenda penduduk asli Beting sebagai kampung yang religius sangatlah kental dengan para ulamanya.
Laporan: Achmad Mundzirin dan Ocsya Ade CP.
“Ya Nabi Salam’ Alaika. Ya Rasul Salam’ Alaika. Ya Habib Salam’ Alaika. Sholawatullah’Alaika. Asyroqol Badru’ Alaina. Fakhtafat Minhul Buduruu. Mitsla Husnik Maa Ro’ aina. Khottu Ya Wajha Sururii”.
Gaung asrakal ini selalu diserukan tiga kali sepekan di tengah pemukiman padat penduduk dan kumuh bernama Kampung Beting, setiap ba’da Isya, Kamis (26/11) lalu. Puluhan lelaki dari tua hingga anak-anak selalu berkumpul di pengajian rutin El-Betinqy, yang dipimpin Ustadz Muhammad Haidar. Secara bergantian para ulama seperti Ustadz Ade Maulana serta lainnya berkumpul di majelis taklim itu.
Majelis Ta’lim tanpa henti selama lima tahun berjalan tetap menjaga rohani warga Kampung Beting yang berpenduduk sekitar 5.000 orang itu. Lelaki dan perempuan hingga anak-anak pun belajar mengaji seusai sekolah atau bekerja. Mereka selalu shalat berjamaah di majelis maupun di masjid-masjid dan surau yang ada.
Tapi mengapa di luar kampung, baik di Kota Pontianak maupun daerah lainnya memberikan cap negative kepada kampong asal muasal ibukota Provinsi Kalbar itu? Padahal, majelis di Jalan Tanjung Pulau Permai, Alur 3, Kelurahan Dalam Bugis, itu warga aslinya terkenal religius. Sebab, hanya berjarak beberapa rumah dari kumpulan majelis itu, ada rumah judi dingdong yang sempat digerebek polisi, pekan lalu.
Adalah Ogel, bukan nama sebenarnya, buka cerita tentang kampong tercintanya ini. Ogel adalah mantan pengedar dan pemakai Narkoba yang kembali ke jalan agamanya melalui Majlis El-Betinqy.
“Tidak pernah sekalipun orangtua saya menceritakan, bahwa Kampong Beting tempat kami tinggal ini sebagai sarang penjahat. Yang ada, tempat tinggal kami dulunya itu adalah tempatnya para ulama,” tuturnya kepada Rakyat Kalbar, Kamis (26/11) seusai asrakal.
Lajang 27 tahun yang sempat penenggak miras juga itu mengakui Kampung Beting mendapat cap buruk sebagai sarang penjahat bukan karena warga aslinya. “Ini karena orang luar. Mereka datang ke sini. Sebelumnya kami tidak tahu apa-apa dengan yang namanya Narkoba. Sejak para pendatang masuk itulah, kampung ini berubah total,” kata pemuda yang lahir dan dibesarkan di Beting.
Ogel sangat menghormati para pendiri Kesultanan Pontianak, para Sultan dan ulamanya yang menanamkan sikap dan jiwa religius bagi rakyatnya ratusan tahun silam. Pendiri Masjid Jamik dan Kraton Kadriah tentu punya sikap teguh.
“Pikirkan baik-baik dengan logika. Jika memang kampung kami ini seperti apa yang orang katakan saat ini,yakni sebagai sarang penjahat atau narkoba. Lihat sejarah kota ini. Tidak mungkin seorang Sultan Pontianak meletakkan Masjid Jami dan kraton dengan kampung kami, Beting, di tengahnya,” sambung Ogel, yang berdarah Melayu-Pakistan itu.
Kampung Beting memang legendaris, baik sebagai cikal bakal kota hingga stigma negatif kini. Warga aslinya Melayu dan kaum yang taat beragama lainnya dan dulunya mengabdi kepada para Sultan, termasuk para pendakwah. Narkoba masuk ke Beting sekitar awal 1987. Itu menurut pengakuan bekas pecandu Narkoba yang kini sudah berusia lebih setengah abad di kampong itu. Sebut saja namanya, Tan.
“Tahun 1987 Beting mulai marak dimasuki Narkoba. Dan polisi pun mulai rutin melakukan penggerebekan,” ujar pria berkulit coklat, Kamis (26/11).
Tan mengatakan saat itu Beting yang mulai dimasuki pendatang, dengan segala kegiatan tak terpuji semisal maling, preman, dan pelaku kriminal lainnya. Kampung jadi tempat pelarian dari kejaran aparat polisi. Tapi memang, datangnya orang luar itu menjanjikan masuknya uang dari bisnis obat terlarang itu.
Karena ini kampong miskin, SDM rendah, pendidikan rendah, pekerjaan serabutan, menjadi tergoda dengan bisnis haram yang menjanjikan penghasilan besar kepada segelintir warga.“Termasuk saya juga menjadi korban janji dan bisnis haram saat itu,” kata Tan menundukkan wajah.
Ketika pekerjaan kian sulit, peluang kerja semakin sempit dan persaingan kian ketat, satu persatu warga Kampung Beting jatuh di kaki pengedar dan masuk dalam jaringan Narkoba. Disusul peluang kejahatan lain mulai dari copet, hingga kejahatan berat.
Sejak itulah kampung kelahirannya ini menjadi tempat yang dianggap berbahaya, dijadikan sarang kejahatan, baik itu narkoba maupun pelaku kejahatan di Kota Pontianak hingga saat ini. “Semua warga di sini tahu persis perubahan yang terjadi. Tidak satupun dari kami yang menginginkan ini,” lirihnya yang membuat kerut wajahnya menebal.
Tan kecewa dengan kondisi yang dirasakan dan dilaluinya. Tiba-tiba dari mulutnya keluar kata-kata; “Bukan kampung kami yang salah. Dan tidak semua warga di sini seperti yang apa yang dikatakan orang luar kepada kami.!” ucap mantan pengedar barang haram itu.
Tan tak keliru, dan dia tak sendiri jadi korban yang membuat Beting memikul stigma pahit. Adalah, Kily (bukan nama sebenarnya), salah satu pendatang yang memanfaat stigma Beting dengan bisnisnya. Perempuan yang terlanjur jatuh dan berkubang di kancah peredaran Narkoba, kerap menggunakan Kampung Beting sebagai tempat transaksi. Janda dua anak ini memahami seluk beluk dan orang-orang yang berkecimpung di dunia hitam di sana.
“Terpaksa, kita butuh hidup, tidak ada uang untuk usaha. Keterampilan tak punya. Akhirnya saya terpaksa mencoba itu (jual narkoba,” ungkap Kily kepada Rakyat Kalbar, Senin (23/11) pekan lalu.
Kily mengaku tak perlu membeli barang nikmat pembawa petaka itu. Ia memperolehnya cuma-cuma dari jaringan Narkoba Kota Pontianak dengan Beting sebagai kawasan transaksi. “Menggunakan sistem kepercayaan. Berhasil jual dapat upah mulai dari Rp100-200 ribu saya dapatkan perhari,” akunya.
Paket yang dijualnya itu, mulai dari paketan hemat seratus ribu sampai Rp500 ribu. “Kalau 1 gram tidak pernah. Tidak berani, saya takut ketangkap polisi,” paparnya.
Kadang dirinya menyesal menjual narkoba. Karena bukan keinginannya, keadaan yang memaksa. ‘Kalau tidak seperti ini bagaimana saya bisa bertahan hidup dan menyekolahkan anak. Saya tidak tahu harus berbuat apa,” ungkapnya lirih, “Kalau tidak seperti ini, bagaimana saya bisa menghidupi diri saya sendiri dan anak-anak saya.”
Keluarga tahu apa yang dilakukan Kily. Dia sudah dinasihati untuk tidak menjual barang haram itu. “Keluarga saya tahu, banyak keluarga bilang, jangan lagi. Lebih baik berdagang makanan saja,” katanya dan coba berjanji akan berhenti menjadi pengedar. “Saya ingin berhenti. Hidup tertekan rasanya seperti ini. Dihantui rasa kesalahan dan dibayangi ketakutan,” katanya.
Sayangnya ketika ditanya lebih dalam lagi, di mana mengambil barang bukti dan siapa yang menawarkannya menjual narkoba, Kily diam, mengunci bibirnya rapat-rapat.
Singkat kata, baik Ogel maupun Tan, mengaku bosan dan acuh dengan begitu banyak pernyataan maupun janji terhadap Kampung Beting dan warganya. Baik Pemerintah, maupun otoritas yang kerap bersuara tentang stigma Beting, tak lagi dipercaya kecuali ada langkah nyata.
“Banyak calon anggota Dewan, calon Wali Kota, datang ke sini saat menjelang pemilihan saja. Setelah terpilih, kami tak pernah lagi ditoleh mereka,” ujar Ogel.
Begitupun Tan, dan warga Beting yang dikunjungi Rakyat Kalbar dalam beberapa kali sebelum tulisan ini diturunkan.
“Kami bosan dengan kebohongan, sebelum-sebelum pejabat yang ada saat ini, pejabat-pejabat yang dulu juga sudah mengatakan hal yang sama, hasilnya nol. Tak ada yang membebaskan kami dari stigma negatif,” sesalnya. (*)