Kalau Badan Memang bertuah, Takdir Berlaku Tiada yang Tahu

Ritual ‘Junjong Kurnie’, Junjung Tinggi Adat dan Kebudayaan

Terima Penghargaan. Manajer Pemasaran Mohamad Qadhafy mewakili Direktur Harian Rakyat Kalbar Djunaini KS menerima penghargaan dari Sultan Syarif Abubakar di Istana Kadariyah Pontianak, Sabtu (19/12) malam. Eka Wahyudi For Rakyat Kalbar

“Tegak istane karena sendi, rusak sendi istana binase, tegak bangse karene budi, rusak budi bangse binase”. Sebait pantun yang mengawali prosesi ritual ‘Junjong Kurnie’ ini mengisyaratkan arti penting mewariskan adat istiadat kepada generasi penerus. Warisan itu akan jadi tonggak pembangunan serta kemajuan peradaban sebuah bangsa.

Fikri Akbar, Kota Pontianak

eQuator – Setelah vakum lebih dari setengah abad, Keraton Kadariyah Pontianak akhirnya kembali menggelar ritual ‘Junjong Kurnie’ pada Sabtu (19/12) malam. Dimulai pada pukul 20.00 WIB dalam istana yang terletak di Jalan Tanjung Raya 1 Kecamatan Pontianak Timur.

Ratusan orang dari berbagai kalangan dan latar belakang hadir. Mulai dari raja-raja, pejabat pemerintahan, penegak hukum, anggota DPR, tokoh agama, sosial, adat, budaya, hingga para cendekiawan.

Ritual penutup rangkaian prosesi upacara penobatan dan pemberian gelar kebangsawanan kepada para pangeran dan putra mahkota oleh Sultan Pontianak ini diharapkan menjadi momentum kebangkitan serta perkembangan adat kebudayaan Melayu di Kota Pontianak.

“Tugas dan kewajiban kita masih banyak, namun dengan niat dan semangat kebersamaan serta dengan kemampuan yang kita miliki, saya optimis kita dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik untuk kejayaan kita bersama,” ungkap Sultan Pontianak, Syarif Abubakar Alkadrie, dalam sambutannya.

Ritual ini menitikberatkan pada rasa dan ungkapan terima kasih sebagai imbal balik dari para pangeran dan putra mahkota karena telah dinobatkan dan diberi gelar oleh Sultan Pontianak pada tanggal 24 Oktober 2015 lalu. Satu hari setelah puncak peringatan Hari jadi ke 244 Kota Pontianak.

“Dengan selesainya prosesi penobatan gelar kebangsawanan hingga prosesi ‘Junjong Kurnie’ ini, dapat kita pelihara tradisinya. Hingga anak cucu kita dapat mengenal apa dan bagaimana prosesi adat di Istana Kadariyah,” papar Sultan Abubakar.

Gelar kehormatan juga diberikan kepada tokoh-tokoh yang dipandang berjasa untuk kemajuan Kota Pontianak. Sultan berharap, kepada yang dianugerahi gelar kehormatan untuk ikut menjaga marwah serta martabatnya.

“Hubungan yang baik ini hendaknya kita tingkatkan lagi di masa mendatang untuk kejayaan Kota Pontianak,” harapnya.

Tak mudah mendapat gelar dalam ritual ‘Junjong Kurnie’ ini. Pangeran Bendahara Kesultanan Pontianak, Syarif Slamet Yusuf Alkadrie, menyampaikan bahwa pemberian gelar telah melalui berbagai pertimbangan. “Walaupun dalam pemberian gelar itu berlainan akidah. Anugerah ini diberikan kepada yang berhak dan yang memang sepatutnya,” tegasnya.

Senada dengan Sultan Abubakar, pemberian gelar tak sembarangan. Bukan sematan gelar biasa. Bagi penerima gelar, Pangeran Yusuf meminta untuk menjaga kehormatan pribadinya.

Menurut Koordinator Junjong Kurnie, Syarif Hasan Basri, ada 55 orang yang mendapat gelar kebangsawanan atau kehormatan dari Istana Kadariah Pontianak. Empat puluh enam diantaranya dianugerahi gelar pangeran, empat orang gelar datok, dan lima orang gelar tengku.

Gelar pangeran diberikan kepada kaum kerabat. Sementara gelar datok dan tengku diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berkontribusi terhadap kelembagaan kesultanan. “Juga para tokoh atau masyarakat yang dianggap telah berkontribusi terhadap pembangunan Kota Pontianak. Pemilik gelar ini berasal dari berbagai bidang, profesi, dan latar belakang,” terangnya.

Intinya, kata Syarif Hasan Basri, ’Junjong Kurnie’ ini adalah ungkapan terima kasih yang disampaikan dalam bentuk kemasan beberapa lembar daun sirih, kapur dan gambir.

Selain kepada 55 orang yang mendapat gelar, Istana Kadariyah juga berterima kasih kepada 35 orang atau tokoh yang turut dianggap berperan penting dalam kemajuan kebudayaan dan pembangunan Kota Pontianak.

Pangeran Ratu Sri Negara, Syarif Ismail Usman Alkadrie, mewakili penerima gelar pangeran mengatakan, bahwa gelar tersebut telah menjadi spirit dan motivasi para pangeran untuk melestarikan serta mengembangkan nilai-nilai adat istiadat yang ada di Istana Kadariyah.

“Ini sebagai sumbangsih kami kedepan, agar anak cucu kita kedepan tetap dapat melihat adat budayanya,” ujarnya.

Perwakilan penerima gelar datok, Datok Kusuma Pangeran Edi Rusdi Kamtono menyatakan, gelar untuk melestarikan budaya keraton ini merupakan amanah. Masjid Jami’ dan Keraton Kadariyah merupakan simbol awal berdirinya Kota Pontianak.

“Dari sini telah memancarkan aura positif dalam hal peradaban kehidupan, dari keraton ini telah memberikan kedamaian, keteduhan serta kesejahteraan bagi masyatakat Kota Pontianak,” tuturnya.

Wakil Walikota Pontianak itu berjanji untuk terus membangun budaya di Kota Khatulistiwa ini meski dihadang segala tantangan di era globalisasi. “Kita kekalkan (adat budaya) sampai ke akhir zaman. Kalau badan memang bertuah, takdir berlaku tiada yang tahu,” tegas dia.

Tengku Mulya Dilaga, Turiman Faturrahman, mewakili tokoh yang mendapat penghargaan tengku, berharap agar tradisi dan kearifan lokal yang ada di Kesultanan Pontianak menjadi destinasi pariwisata di Kalbar. “PR terbesar, yakni mengenai lambang negara RI dari Sultan Hamid II baru diakui secara de facto 2013, secara de jure masih diperjuangkan,” katanya.

Anggota Komisi X DPR RI, Zulfadli, mewakili yang mendapat ucapan terima kasih dari Sultan Pontianak mengaku bersyukur karena Kesultanan Pontianak telah menghidupkan kembali ritual ‘Junjong Kurnie’. “Selaku wakil rakyat, saya akan mendorong agar acara adat budaya tidak hanya menjadi objek wisata tetapi menjadi acara rutin yang akan mengisi agenda-agenda kebudayaan yang ada di Kalbar, khususnya di Kota Pontianak ini,” terang dia.

JAGA WARISAN YANG BAIK

Kesultanan Pontianak merupakan indentitas suatu negara dan bangsa. Digelarnya “Junjong Kurnie’ secara tak langsung akan menggali kembali warisan budaya yang kemungkinan sudah dilupakan masyarakat. Hal itu dikatakan Pangeran Ratu Kertanegara Gusti Kamboja.

Ketua Majelis Kerajaan Kalimantan Barat ini menyatakan, Kesultanan Pontianak telah mewariskan adab budaya bukan benda. Ritual adat itu merupakan warisan benda tak berwujud, selain yang tampak seperti seni arsitektur Keraton Kadariyah.

“Ini adalah adab dari orang-orang Melayu. Ucapan terima kasih kepada orang tua dalam hal ini adalah Sultan. Ini patut kita jaga dan dikekalkan sebagai warisan manusia,” ucapnya.

Menjaga dan melestarikan budaya ini bukan hanya tanggung jawab dari Kesultanan Pontianak. Hal itu harusnya dipikul semua kalangan. Menurut Kamboja, ‘Junjong Kurnie’ merupakan satu di antara beragam produk kebudayaan.

“Apa yang ada di Keraton Pontianak ini adalah warisan kebudayaan Indonesia yang ada di Kota Pontianak,” terang dia.

Ia menyayangkan, warisan bukan benda dalam beberapa waktu terakhir mengalami seleksi dan penyesuaian. Beberapa warisan bukan benda memang sudah tidak sesuai dengan konteks kepercayaan dan itu harus dibuang.

“Ada beberapa warisan tidak baik. Tetapi yang baik harus dijaga, misalnya seni tari, syair, berpantun, cara berbahasa, dan bertutur,” jelas Kamboja.

Di era globalisasi ini, ia berharap masyarakat mau menjaga warisan budaya. Salah satunya bahasa. Apalagi, Bahasa Melayu di Kalbar dialeknya beragam.

“Kepunahan bahasa ini hampir setiap tahun terjadi dan banyak kosa kata bahasa yang hilang, makanya warisan bahasa ini harus dijaga. Tolong, jangan malu menjaganya,” demikian Gusti Kamboja. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.