Ia pun tak menampik ada indikasi trafficking maupun eksploitasi orang yang dilakukan pemilik sejumlah Kebugaran di Pontianak. “Bisa saja mereka (terapis) korban pemilik usaha. Kalau bisa kita sarankan para pekerja itu untuk membuat laporan kepolisian, apakah ada tindak pidana trafficking dan ekpolitasi atau tidak atas prostitusi terseubung di balik operasional pijat memijat itu,” pinta Dedi.
Senada, anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Erma S. Ranik. Menurutnya, pemerintah daerah (Pemda) harus mencabut izin usaha kebugaran menyimpang yang telah dikeluarkan. “Wah itu tanggung jawab Pemda lah. Kalau Kebugaran itu menjadi tempat praktik prostitusi, kan Pemda bisa cabut izinnya,” tutur Erna, Senin (30/1).
Legislator dari daerah pemilihan Kalbar ini mengatakan, apapun alasannya, prostitusi dilarang dalam sistem hukum Indonesia. “Tidak hanya si pekerja seks, namun yang membeli jasa seks itu juga harus mendapat sanksi pidana,” tegasnya.
Karena, kata Erma, tidak mungkin adanya pekerja seks komersil (PSK) yang berani menjajakan jasanya kalau tidak ada pembeli. “Namun yang paling penting, aparat hukum harus bisa mengungkap penyedia, penyalur pekerja, dan barangkali ada oknum yang membekingi,” tuntutnya.
Untuk itu, lanjut dia, perlu pembuktian yang akurat. Jika aparat hukum mau membuktikan adanya prostitusi di tempat-tempat kebugaran, menurutnya mudah saja. Misalnya, melakukan penyamaran sebagai pelanggan.
“Itu sebagian teknis saja. Kalau mau. Sebenarnya aparat hukum banyak cara untuk mengungkap kasus ini,” ucap Erma.
Nantinya, dari hasil penyelidikan polisi itulah bakal menentukan apakah pekerja ini sebagai korban perdagangan orang atau eksploitasi atau memang pelaku prostitusi. Karena santer dikabarkan, para terapis yang dibawa dari Pulau Jawa ini adalah mereka yang dipekerjakan untuk membayar uang yang dipinjamkan sebelumnya oleh penyedia kebugaran.