KADO MERDEKA

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Hampir setengah hari saya menonton siaran televisi. Saya ingin melihat berita apa yang menarik bertepatan dengan momentum perayaan ulang tahun kemerdekaan ke-74.

Saya gonta-ganti channel. Melihat siaran beberapa stasiun. Lokal maupun nasional. Isinya sama. Upacara-upacara. Lomba lucu-lucuan seperti makan kerupuk, balap karung dan panjat pinang.

Memang ada yang lumayan. Misalnya, pengibaran bendera merah putih berukuran raksasa di Kalimantan Barat. Di daerah perbatasan dengan Malaysia. Tapi kelasnya sama: hanya upacara.

Saya benar-benar tidak menemukan berita yang besar. Dalam siaran TV itu. Yang menggambarkan keinginan besar sebuah bangsa yang besar. Peluncuran mobil Esemka, misalnya.

Namun kegalauan saya terhapus menjelang magrib. Bu Cicih Hendritin, pengasuh Pondok Pesantren Nuruh Hidayah di Pamarican, Ciamis, Jawa Barat, menelepon saya. ‘’Punten, berkenan saya mengajak Pak Joko ke Pulau Miang?’’ tanya ustadzah itu dengan logat Sundanya yang medok.

Saya tercenung beberapa saat. Pulau Miang? Belum pernah saya mendengar namanya.

‘’Maksudnya Pulau Miangas?’’ tanya saya, untuk meyakinkan pendengaran saya.

‘’Bukan Pulau Miangas. Tapi Pulau Miang,’’ jawab Bu Cicih.

‘’Di mana pulaunya? Di Ciamis?’’ tanya saya.

‘’Di Kalimantan Timur,’’ jawabnya.

Segera saya buka aplikasi Google Maps. Ketemu. Namanya Pulau Miang Besar.

Meski namanya ada ‘besar’-nya, dalam peta itu Pulau Miang hanya sebuah titik kecil. Nyaris tidak kelihatan. Dibanding Pulau Kalimantan yang sangat besar. Pulau itu dipisahkan lautan yang lumayan lebar.

‘’Bagaimana cara ke Pulau Miang Besar?’’ tanya saya sembari mengingat-ingat pengalaman mabuk laut saat menyeberangi Selat Sunda menuju Pelabuhan Bakauheni beberapa tahun silam.

‘’Ada pesawat terbang kecil. Berangkat dari Samarinda,’’ jelas Bu Cicih.

Ada rencana apakah Bu Cicih jauh-jauh dari Ciamis menuju ke Pulau Miang Besar? Ternyata dia punya sebuah rencana besar di berpenghuni sekitar 450 kepala keluarga itu. Bu Cicih akan merintis pendirian pesantren di pulau tersebut.

Nama pesantrennya nanti sama dengan yang di Ciamis: Nurul Hidayah. Calon santrinya sudah ada: 71 anak usia sekolah dasar. ‘’Kami akan membangun kampung Qur’an di pulau itu,’’ lanjutnya.

Dari gambar di Google Maps, saya bisa membayangkan betapa sulitnya mengelola pesantren di sana. Untuk menuju ke sana saja begitu sulit. Belum lagi cara mendapatkan gurunya.

‘’Gurunya dikirim dari Nurul Hidayah Ciamis. Sebagian pengajarannya secara online pakai webinar. Bisa nggak kira-kira?’’ jawabnya.

Saya tidak segera menjawab. Saya belum punya informasi yang cukup tentang infrastruktur ‘’tol langit’’ di sana. ‘’Insya Allah kami akan ke Pulau Miang dalam bulan September. Sekarang lagi kumpul-kumpul biaya dari para donatur,’’ kata Bu Cicih.

Sungguh saya merasa terharu mendengarnya. Sebagai warga negara biasa, cita-cita Bu Cicih itu sangat istimewa. Karyanya nyata. Menjadi kado yang lebih bermakna dibandingkan kemewahan upacara 74 tahun kemerdekaan yang saya lihat di layar kaca. (jto)

*Redaktur tamu Rakyat Kalbar, praktisi webinar