Kabut Asap, Produk Indonesia Bisa Diboikot

ilustrasi.net

eQuator.co.idPONTIANAK-RK. Kabut asap yang melanda Kalbar berdampak pada berbagai sektor. Salah satunya dari sisi usaha.

Akibat kabut asap, sebagian aktivitas produksi menjadi terganggu. Bahkan bukan tidak mungkin pesaing melakukan pemboikotan terhadap produksi dari Indonesia.

“Contoh kecil proses transportasi pengangkutan bahan baku ke industri dan sebaliknya, proses distribusi barang, keterlambatan menyebabkan harga menjadi lebih tinggi sampai pada konsumen dan mutu bahan baku yang menurun,” terang Ketua Apindo Kalbar, Andreas Acui Simanjaya, Senin (20/8).

Kemudian hal ini juga dapat diperparah dengan aktifitas ekonomi Kalbar sendiri. Seperti pesaing yang memiliki alasaan untuk melakukan kampanye pemboikotan produksi yang berasal dari Indonesia.

“Sebab dianggap tidak ramah lingkungan, sebagaimana di ketahui sebagian Eropa melakukan kebijakan ketat untuk produksi turunan CPO dari Indonesia yang di anggap produk yang dihasilkan dengan proses yang tidak ramah lingkungan, ini tentu menjadi persoalan lebih besar lagi,” tuturnya.

Acui memandang hal pemboikotan tersebut bukan tidak mungkin dilakukan, terlebih di negara tertentu yang menganggap isu lingkungan menjadi satu bagian penting dalam membuat keputusan untuk membeli suatu produk. Terlebih kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang timbul akibat adanya perkembangan usaha secara luas oleh berbagai bidang usaha.

“Sejak zaman dahulu nenek moyang kita berladang dengan cara melakukan pembakaran dalam lingkungan terbatas dan terkendali di kawal oleh aturan adat dan perangkat desa, tidak pernah ada kabut dan asap, kabut dan asap,” paparnya.

Kabut asap ini mulai terjadi sejak adanya perkebunan secara komersial dan properti di pemukiman sekitar pusat kota. Artinya ada yang sengaja membakar untuk melakukan pembersihan lahan secara mudah. Dilakukan perusahaan maupun pribadi yang menginginkan proses pembersihan lahan dengan mudah dan murah

“Dalam penerapan aturan hukum mengenai pembakaran hutan dan lahan perlu kebijakan dan pemahaman budaya dan kearifan lokal, aturan di buat untuk kebaikan manusia, tidak untuk menghilangkan kearifan lokal seperti proses berladang yang kita jalankan turun temurun, kejelian aparat penegak hukum diperlukan dalam hal ini,” pungkasnya. (nov)