eQuator.co.id – Inilah Jumatan (salat Jumat) terkecil dalam sejarah hidup saya: tiga orang. Di pedalaman negara bagian Kansas, Amerika. Di kota kecil Hays. Kemarin.
Pagi-pagi saya ke masjid. Yang bentuknya masih rumah asli. Di pusat kota Hays. Saya khawatir. Saya ingin mengecek. Jangan-jangan jadwal Jumatannya sudah berubah.
Saya masuk masjid. Tidak ada orang. Tentu. Masih terlalu pagi. Saya baca pengumuman di dinding masjid. Masih sama: Jumatan akan dimulai jam 14.35. Bahkan kertas pengumumannya pun masih sama. Seperti yang saya lihat tahun lalu.
Dari masjid saya memenuhi janji dulu. Bertemu seorang ahli. Pertemuan itu saya persingkat. Untuk mengejar jadwal Jumatan.
Terkejar.
Jam 14.30 saya sudah tiba di masjid. Tapi saya ragu. Kok sepi. Tidak ada satu pun mobil yang parkir di dekat masjid.
Sudah selesai?
Pun pintu pagarnya masih terkunci. Seperti tadi pagi. Saya tahu cara membukanya. Dari luar. Tali yang menggelantung itu saya tarik. Engselnya naik. Pintunya lantas bisa didorong.
Sepi.
Saya naiki satu-satunya tangga kayu itu. Di teras belakang rumah itu. Saya dorong pintunya.
Sepi.
Saya masuk ke ruang dapur.
Sepi.
Saya masuk ke ruang salat. Yang cukup untuk 40 orang. Ditambah satu ruang lagi dengan ukuran yang sama. Untuk jemaah wanita.
Sepi.
Tapi karpetnya bersih. Kursi untuk khotbahnya masih di dekat dinding. Rak Alqurannya masih penuh. Tidak ada bekas bau manusia. Belum ada jejak bekas orang salat. Tapi jadwal Jumatannya sudah lewat 20 menit.
Tidak ada Jumatan?
Dua puluh menit lagi sudah masuk waktu asar.
Sepi.
Saya membaca Alquran. Surah Ar-Rahman. Sendirian.
Belum lagi selesai satu surah terdengar suara sepatu naik tangga di teras belakang.
Kelihatan sekali tergesa-gesa. Lalu suara pintu didorong.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
la tahu ada orang di dalam masjid. Sepatu saya terlihat mencolok parkir di teras itu.
“Maafkan saya telat,” katanya. Sambil mengulurkan tangan.
Saya kenali wajahnya. Pernah bertemu di tahun lalu. Di masjid ini. Badannya masih sangat langsing. Kulitnya terang.
“Saya lupa, Anda asli dari mana ya,” tanya saya.
“Palestina,” jawabnya.
Namanya Badr Abu Khubais. Dosen matematika. Master di dua bidang studi.
Matematikanya dari Western University Illinois. Dekat Chicago. Juga master pendidikannya.
Badr langsung azan.
Saya pikir kami hanya akan berdua. Ternyata ada satu orang lagi masuk masjid. Asal Saudi Arabia. Kulitnya lebih gelap. Rambutnya gondrong mendekati bahu. Topinya biru tua. Celananya jeans.
Si celana jeans langsung salat dua rakaat. Juga si Palestina. Saya ikut saja.
Yang khotbah ternyata yang celana jeans. la memindah tiang mikrofon ke depan kami. la menggeser kursi ke depan mikrofon. Mencopot topi. Merogoh saku. Mengeluarkan HP. Mencari materi khotbah di HP-nya.
Si celana jeans pun mulai membaca khotbah. Dari layar HP. Sepenuhnya bahasa Arab. Tentang kemanjuran doa.
Begitu khotbah selesai saya berdiri. Melantunkan qomat. Saya pikir yang satu sudah azan. Satunya sudah khotbah. Tinggal saya yang belum kebagian tugas.
Jumatan selesai.
“Kok hanya tiga orang?” tanya saya ke si Palestina.
“Sudah banyak yang lulus. Sudah pulang semua,” jawabnya.
Si celana jeans pun nimbrung.
“Besok pagi saya juga pulang,” katanya.
“Sudah selesai master juga?”
“Istri saya yang lulus,” katanya.
la hanya menemani sang istri. Yang mengambil master fine art di Hays.
Begitulah peraturan dari Arab Saudi. Wanita yang mendapat beasiswa harus ditemani suami. Bagi yang sudah bersuami. Atau temani bapaknya. Bagi yang masih bujang.
“Saya sendiri guru SMA,” ujar si celana jeans. Yakni sebuah SMA di dekat perbatasan Yaman. Dari Jeddah masih delapan jam ke selatan. Naik mobil.
“Jumat minggu lalu berapa orang?” tanya saya.
“Juga tiga orang,” jawab si Palestina.
”Sekarang paling banyak enam orang,” tambahnya. “Kalau lagi ada teman asal Afrika Jumatan di sini.”
Badr sendiri belum pernah tahu Palestina. la lahir di Uni Emirat Arab. Umur 23 tahun migrasi ke Amerika.
la sudah warga negara Amerika. Istrinya Amerika kulit putih. Asli California. Sudah Islam sebelum kawin. Saat masuk Islam umurnya 18 tahun.
Semula sang istri tidak mau kawin dengan Badr. “Saya dianggap terlalu tua,” kata Badr. Waktu itu umurnya sudah 39 tahun.
Setahun kemudian sang istri baru mau. Ganti Badr yang mengajukan syarat: sang calon tidak akan pindah agama lagi.
Kini pasangan ini punya dua anak. Perempuan dan laki-laki.
Berarti Jumat depan berkurang dua: si celana jeans pulang ke Arab. Saya mungkin sudah di Tennessee.
Masjid ini sepi lantaran kebijakan baru pemerintah Arab Saudi: beasiswa baru hanya diberikan untuk yang kuliah di 200 universitas terbaik Amerika.
Yang kuat kian ramai. Yang lemah kian sepi. Juga di Amerika. (Dahlan Iskan)