Yang merasa puas dengan terbunuhnya Jenderal Qassem Soleimani diminta menyumbang. Tiap orang 100 dolar.
Itulah salah satu cara Donald Trump mengumpulkan dana untuk kampanye. Agar terpilih lagi sebagai presiden Amerika Serikat.
Serangan drone yang dilancarkan Amerika ke jenderal Iran di ibukota Irak itu memang memuaskan pendukungnya.
Hanya puas? Jangan sampai. Harus ada harganya. Trump harus lebih pinter dari rumah makan Padang — “Kalau puas beritahu teman-teman”.
Bagi Trump, “kalau puas harus bayar dong.”
Itulah salah satu kelemahan demokrasi di Amerika. Setiap menjelang Pilpres harus ada yang diserang. Untuk memuaskan publik calon pemilih.
Terutama kalau yang nyapres adalah incumbent. Dan posisi politiknya lagi perlu penguatan. Maka jenderal yang dulu membantu Amerika itu pun jadi korban. “Mestinya itu sudah dilakukan dulu-dulu,” ujar Trump –seperti ingin menyatakan bahwa ia lebih hebat dari presiden sebelumnya.
Tidak hanya Iran yang bisa jadi barang dagangan pemilu seperti itu. Juga Tiongkok.
Penandatanganan perjanjian dagang tahap satu dengan Tiongkok Rabu lalu juga dijual habis oleh Trump.
“Baru sekali ini ada Presiden Amerika yang bisa membuat Tiongkok duduk di meja perundingan,” ujar Trump.
Itu memang betul. Tapi mengapa saya belum mau segera menuliskan hasil perundingan itu?
Saya masih harus menunggu berapa dolar sumbangan kampanye yang diminta dari kepuasan publik yang satu ini.
Hampir saja Trump juga jualan Korea Utara. Tapi nilai Kim Jong-un mungkin hanya dianggap satu dolar.
Bagi Tiongkok hasil perjanjian tahap satu itu masih dianggap win-win. Tiongkok memang harus menambah pembelian produk Amerika senilai USD 200 miliar. Selama tahun 2020 dan 2021.
Tapi barang-barang itu memang yang sangat diperlukan Tiongkok. Misalnya kedelai. Maka begitu tanda-tangan dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, kesibukan Tiongkok bukan berpikir dari mana mencari uangnya.
Dana, ia punya. Yang diutang Amerika saja lebih USD 1 triliun. Yang membuat Tiongkok kepikiran adalah: impor barang serupa dari mana yang harus dikurangi.
Itu yang membuat rekan-rekan dagang Tiongkok was-was. Maka Tiongkok pun sibuk menenangkan mereka. “Perjanjian dengan Amerika ini tidak akan mengganggu hubungan kita selama ini,” begitu penjelasan resmi Tiongkok.
Tapi, mana bisa. Yang paling sewot adalah negara-negara Eropa Serikat. Perjanjian Amerika-Tiongkok itu dianggap preman yang merusak hukum pasar bebas.
Dengan perjanjian seperti itu perdagangan, kata Eropa Serikat, tidak lagi didasari keperluan dan harga. Tapi didasarkan tekanan. Tapi Trump tidak peduli hukum seperti itu. Yang penting Amerika dulu. To make Trump great again.
Bahkan ia kini lagi menekan Eropa Serikat. Agar ikut memberi sanksi kepada Iran. Kalau tidak, kata Trump, justru Eropa yang akan ia beri sanksi. Mobil produk Eropa Serikat yang dipasarkan di Amerika akan dikenai bea masuk 25 persen.
Iran benar-benar dagangan yang seksi. Tapi ke mana Xi Jinping hari Rabu itu? Kok tidak ke Washington? Sehingga Trump hanya bisa jualan Tiongkok tanpa satu paket dengan Xi Jinpingnya?
Hari itu Xi Jinping jualan sendiri –daripada hanya jadi barang dagangan di Washington.
Ia ke Myanmar. Jualan Obor. Banyak proyek One Belt One Road di tetangga selatannya itu: mulai bendungan besar di pedalaman sampai pelabuhan raksasa di pantai pantai selatan.
Maka kalau proyek USD 1 triliun di Myanmar itu selesai, India menjadi terkepung oleh tiga pelabuhan raksasa: Gwardar (Pakistan) di Baratnya, Colombo (Srilanka) di Selatannya dan Rohinya (Myanmar) di Timurnya.
Amerika baru saja menang di Washington. Tapi kalah terus di Asia. (Dahlan Iskan)