eQuator.co.id – Bogor-RK. Perilaku beringas yang ditunjukkan para terduga teroris di Mako Brimob memantik keprihatinan sejumlah pihak. Diduga, perilaku tersebut berkaitan dengan jiwa radikal yang masih ada di benak para napiter (napi teroris).
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius mengatakan, semua napiter yang ada di Mako Brimob belum tersentuh deradikalisasi. “Lho, kita kan belum (deradikalisasi). Masih di dalam pengawasan densus,” ujarnya di Kantor Kepresidenan, Bogor, kemarin (10/5).
Suhardi menambahkan, BNPT dengan program deradikalisasinya baru bisa masuk setelah para napiter diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan. “Kalau di dalam ini belum ada. Di mako belum ada,” imbuhnya.
Sebagaimana biasanya, lanjut dia, selama di Mako Brimob, densus melakukan beberapa tahap. Mulai dari asesmen, klasifikasi tingkat radikalnya, baru kemudian di sebar ke Lapas. Setelah itu, barulah mereka mendapat deradikalisasi.
Oleh karenanya, Jenderal bintang tiga itu belum bisa memastikan, dari jaringan mana saja 155 napiter yang melakukan aksi pemberontakan di Mako Brimob. “Itu kan nanti, begitu mau disebarkan, kita dipanggil BNPT, dikasih tahu sama densus 88, ini orang seperti ini dan sebagainya,” tuturnya.
Dari Istana, usai tiba di Jakarta pada Rabu malam, presiden akhirnya angkat bicara terkait kasus pemberontakan di Mako Brimob. Pernyataan dikeluarkan setelah menerima laporan dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan kepala lembaga terkait di Istana Kepresidenan, Bogor.
Presiden Joko Widodo mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya pengendalian situasi dan pemulihan keamanan yang dilakukan oleh kepolisian. Sehingga semua narapidana terorisme sudah berhasil dikendalikan.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas nama rakyat dan negara kepada seluruh aparat keamanan yang terlibat,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Bogor, kemarin (10/5). Kepada prajurit yang gugur, presiden meminta kepolisian untuk memberikan kenaikan pangkat luar biasa.
Jokowi menegaskan, jika negara dan seluruh rakyat Indonesia tidak pernah takut dan tidak akan pernah memberikan ruang pada terorisme. “Dan juga upaya-upaya yang mengganggu keamanan negara,” imbuhnya.
Sementara itu, sekitar pukul 09.00 kemarin (10/5), beberapa polisi tampak memasang garis polisi di sekitar kamar jenazah RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Lokasi di sekitar kamar jenazah, yang terdapat masjid dan ruang VIP disterilkan. Beberapa orang yang ada di situ diminta untuk minggir.
Pukul 09.30, dua mobil ambulance warna hijau tua tiba di RS Polri . Dari ambulance kedua, diturunkan seorang pria dengan kursi ruda. Wajahnya ditutup masker, badannya ditutup selimut, kakinya tampak diikat dengan tali. Pria di kursi roda itu didorong oleh petugas. Di belakangnya tampak dua polisi bersenjata laras panjang mengawal.
Kepala Forensik RS Polri Kramajati Kombes Pol Edi Purnomo akhirnya membuka identitas pria yang didorong di kursi roda tersebut. Edi membenarkan jika pria tersebut adalah Wawan Kurniawan alias Abu Afif.
”Iya, masih diobservasi,” ujarnya saat dihubungi melalui pesan WhatsApp kemarin.
Abu Afif memang sempat masuk ke IGD RS Polri. Hanya sekitar 30 menit dia diperiksa di IGD. Selanjutnya, Abu Afif dirawat di kamar VIP RS Polri. ”Luka di bahu kiri,” ujar Edi. Namun Edi enggan menjelaskan lebih lanjut penyebab luka yang diderita Abu Afif.
Abu Afif diduga sebagai pemicu dan provokator kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, pada Selasa lalu (8/5). Pemicunya adalah makanan yang dikirim oleh keluarganya tak kunjung diberikan oleh petugas. Dia lalu memprovokasi napi lainnya untuk berontak, menjebol terali besi, dan menyerang petugas.
Wawan ditahan di Mako Brimob lantaran terlibat kasus terorisme. Dia ditangkap Densus 88 pada 24 Oktober 2017 dalam operasi serentak di empat lokasi.
Pada hari itu, Densus 88 menangkap lima orang di Riau. Salah satunya Wawan yang ditangkap di Pandau Permai, Pekanbaru. Dengan nama alias Abu Afif, dia merupakan pemimpin Amir Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Pekanbaru, Riau.
Wawan ditangkap karena memimpin baiat pada i’dad atau penyiapan kekuatan di Bukit Gema, Kabupaten Kampar, Riau. Dia juga disebut mengetahui adanya pelatihan menembak dan membuat bom yang dilakukan di Jambi. Tak hanya itu, Wawan juga disebut aktif mendorong anggota JAD Pekanbaru untuk melakukan teror dengan menyasar polisi dan kantor polisi di Riau.
Salah satu rekan Wawan yang hari itu juga ditangkap Densus 88 adalah Beny Syamsu alias Abu Ibrahim. Dia merupakan salah satu peserta pelatihan menembak dan merakit bom di Jambi. Dia juga terlibat dalam perencanaan aksi teror dengan menarget tiga kantor polisi di Pekanbaru. Beny inilah satu-satunya napi yang tewas dalam kerusuhan di rutan Mako Brimob.
Terjadi sejak Selasa sore (8/5) kericuhan berbuntut penyanderaan aparat kepolisian di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Mako Brimob, Depok, Jawa Barat (Jabar) mampu ditangani secara penuh oleh Polri Kamis pagi (10/5). Kepastian itu diperoleh pasca mereka berhasil memaksa 155 nara pidana (napi) kasus terorisme menyerah.
Operasi penanggulangan insiden itu dipimpin langsung oleh Wakapolri Komjen Pol Syafruddin. Setelah berhasil membebaskan Bripka Iwan Sarjana Kamis dini hari, aparat kepolisian sukses memaksa ratusan napi kasus terorisme di rutan tersebut menanggalkan senjata api yang sempat mereka rampas dari petugas.
Menko Polhukam Wiranto mengakui, operasi itu menyedot banyak energi. Sebab, turut menyita perhatian masyarakat luas. Baik di dalam maupun di luar negeri.
”Mereka (napi kasus terorisme) melakukan kekejaman dengan merampas senjata, menyandera, menyiksa, bahkan membunuh para petugas dengan cara-cara yang kejam,” ungkap dia kemarin (10/5).
Untuk itu, memerintah mengambil sikap tegas. Dengan menyiapkan opsi terbaik disamping upaya soft approach. ”Direncanakan serbuan untuk melucuti, melumpuhkan, para teroris,” ungkap Wiranto. Menurut pejabat asal Jogjakarta itu, rencana serbuan itu turut dibahas dalam rapat terbatas (ratas) di kantornya dua hari lalu (9/5).
Tentu saja, sambung Wiranto, dengan mempertimbangkan banyak aspek. Termasuk operasi yang dilakukan sesuai standar juga aturan dan ketentuan yang berlaku. Pasca Bripka Iwan Sarjana bebas dari aksi penyanderaan, aparat kepolisian yang dipimpin oleh Syafruddin bergerak semakin aktif. Sehingga mereka berhasil memaksa 145 dari total 155 napi menyerah.
Ditegaskannya, keberhasilan itu diawali dengan ultimatum yang disampaikan petugas kepada para napi. ”Bahwa kami akan melaksanakan serbuan. Menyerah atau mengambil risiko dari serbuan yang dilaksanakan aparat keamanan,” kata dia mencontohkan ultimatum yang disampaikan kepada para napi.
Selain mengultimatum para napi, mantan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itu menyebutkan bahwa aparat kepolisian juga memberi batas waktu. Yakni sampai sebelum matahari terbit. ”Di mana dengan batas waktu yang kami tentukan, kami akan melaksanakan serbuan,” imbuhnya. Ultimatum itu cukup ampuh.
Meski tidak semua napi langsung menyerahkan diri, namun sebagian besar di antaranya memilih untuk keluar satu per satu dari rutan yang sempat mereka kuasai. ”Tidak ada tawar menawar, mereka menyerah tanpa syarat dan kami minta keluar satu per satu,” tutur Wiranto. Mereka keluar tanpa senjata tajam maupun senjata api.
Terhadap sepuluh napi lain yang bersikeras bertahan di dalam rutan, lanjut Wiranto, aparat melukan serbuan sesuai rencana. ”Tadi, kami saksikan bunyi tembakan, bunyi bom, granat asap, granat air mata, dan penyisiran yang dilakukan aparat keamanan,” beber dia. Semua itu dilakukan untuk memukul mundur sepuluh napi dan sterilisasi lokasi penyanderaan.
Apabila merujuk dentuman ledakan serta suara rentetan senjata api yang terdengar awak media, serbuan itu tidak berlangsung lama. Hanya beberapa menit saja, suara-suara itu sudah tidak terdengar lagi.
”Ternyata di dalam serbuan tersebut sepuluh sisa (napi) teroris menyerah,” bebernya. Sehingga seluruh napi yang sempat menguasai rutan tersebut tidak lagi punya kuasa.
Sejatinya, jumlah keseluruhan napi yang turut andil dalam kericuhan dan penyanderaan panjang itu sebanyak 156 orang. Namun, seorang di antaranya meninggal dunia. Dia adalah Beny Samsu, napi kasus terorisme yang berasal dari Sumatera Barat (Sumbar). Jadi, hanya 155 napi yang sempat adu ngotot dengan petugas.
Meski ledakan serta suara rententan senjata api terdengar keras, aparat kepolisian memastikan tidak ada korban jiwa. Baik dari aparat maupun napi. Berdasar perhitungan Syafruddin, operasi yang dia pimpin berlangsung selama kurang lebih 40 jam. Selama itu, sejumlah peristiwa memilukan terjadi. Termasuk gugurnya lima aparat kepolisian.
Syafruddin juga tidak mengelak, selama operasi berlangsung para napi sudah punya senjata api yang cukup berbahaya. Bahkan, ada yang bisa digunakan untuk menembak dari jarak jauh. ”Ada senjata panjang yang jarak tembaknya 500 sampai 800 meter,” imbuhnya. Karena itu, dia dan anak buahnya sangat hati-hati selama operasi tersebut dilaksanakan.
Tidak hanya itu, aparat kepolisian juga menitikberatkan upaya soft approach selama operasi tersebut berjalan. ”Dan mengutamakan persuasif walaupun anggota (Polri) yang bertugas dibantai secara sadis oleh mereka,” kata dia. Langkah itu dipilih oleh dirinya tidak lain guna menekan semaksimal mungkin potensi bertambahnya korban jiwa.
Mantan kepala Polda Kalimantan Selatan (Kalsel) itu pun menegaskan kembali bahwa ledakan dan tembakan senjata api yang suaranya terdengar cukup jauh tidak sampai menyebabkan munculnya korban jiwa. ”Sampai dengan finish (operasi) tidak ada korban jiwa,” imbuh Syafruddin. ”Semuanya menyerahkan diri dan semua dievakuasi dengan baik,” tambahnya.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa, ledakan yang terdengar oleh awak media juga merupakan bagian proses sterilisasi. Sebab, para napi juga sempat mengambil barang bukti berupa bom yang diamankan petugas dari penanggulangan kasus terorisme sebelumnya. Sterilisasi dipimpin langsung oleh dankor Brimob dan kepala Polda Metro Jaya.
Ketika ditanya berkaitan dengan hal itu, Dankor Brimob Irjen Pol Rudy Sufahriadi menyampaikan bahwa ledakan bersumber dari tembok yang diledakan petugas. ”Karena patut diduga dan mereka (napi terorisme yang menyerahkan diri lebih dulu) juga sudah sampaikan bahwa mereka menyimpan bom-bom,” bebernya.
Bom tersebut, sambung Rudy, diperoleh para napi dari barang sitaan petugas. ”Itu belum sempat digudangkan oleh penyidik densus di ruang pemeriksaan, itu yang mereka ambil,” ujarnya. ”Itu lah yang mereka jadikan bom buat ranjau nanti di sini, dan sudah kami ledakan semua,” bebernya. Sayang, dia enggan menyebutkan berapa jumlah bom tersebut.
Menyambung pernyataan Rudy, Syafruddin menilai, dia dan anak buahnya sudah berhasil melaksanakan operasi penanggulangan dengan baik. Semuanya, kata dia, berkat kerja keras, ketangguhan, kesabaran, dan keihklasan semua pihak yang turut serta dalam operasi tersebut. ”Semua sudah ditanggulangi dengan baik,” kata pria asal Ujung Pandang itu.
Sebagai langkah tindak lanjut atas operasi tersebut, ratusan napi kasus terorisme itu kemudian dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan (lapas) di Nusakambangan. Berdasar informasi yang diterima Jawa Pos dari Ditjen Pas Kemenkumham, lapas yang dipakai untuk menampung para napi adalah Lapas Batu, Lapas Pasir Putih, dan Lapas Besi.
Berdasar keterangan Syafruddin di Kantor Istana Kepresidenan Bogor kemarin, dari total 155 napi hanya 145 yang sudah dipindahkan ke lapas di Nusakambangan. Sementara itu, sepuluh napi lainnya masih belum dipindahkan.“Masih di Mako sepuluh itu,” ujar dia. Menurutnya kebijakan itu bukan tanpa alasan. Sebab ada rekomendasi dari tim investigasi. “Ini evaluasi tim investigasi,” imbuhnya.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian langsung menuju ke Mako Brimob pasca tiba di Indonesia usai melaksanakan tugas negara undangan Raja Abdul Aziz. mantan Kadensus tersebut menuturkan, operasi pembebasan satu sandera dari aparat yakni, Brigadir Iwan Sarjana dilakukan dengan mulus. Tidak ada korban meninggal dunia menunjukkan kesuksesan operasi ini.
”Semua perlu mengetahui bahwa indikator kesuksesan pembebasan sandera adalah sandera hidup,” terangnya.
Hanya ada dua tahanan teroris yang mengalami luka. Luka pada bagian tangan dan dada. Kondisi ini menunjukkan bahwa Polri menjalankan tugas dengan meminimalkan korban.
”Terima kasih pada semuanya, Menkopolhukam dan Wakapolri yang memimpin di lapangan,” terangnya ditemui di depan Gerbang Utama Mako Brimob kemarin.
Dukungan Presiden Jokowi dalam operasi ini juga membuat operasi menjadi lebih baik. Presiden telah menginstruksikan tindakan tegas. ”Tidak boleh kalah dengan terorisme. Kami pun juga menjadi percaya diri,” ungkapnya.
Operasi ini melibatkan sekitar 850 personal yang mengepung rutan Mako Brimob dengan 155 tahanan dan napi teroris. Kondisi kritis ini mampu dilalui, namun bukan berarti tidak ada kelemahannya yang perlu diperbaiki.
”Evaluasi menunjukkan bahwa rutan Mako Brimob memang tidak layak untuk menahan dan memenjara napi kasus terorisme,” ungkapnya.
Kapasitas rutan tersebut maksimal hanya 90 orang. Namun, kenyataannya diisi oleh 156 tahanan dan narapidana. kondisi over kapasitas ini yang membuat Polri memindahkan 145 tahanan dan napi yang sudah menyerah ke Lapas di Nusakambangan. ”Rutan ini awalnya malah untuk memenjara anggota yang melanggar. Jelas ini bukan lapas dengan maximum security,” paparnya.
Untuk lima korban meninggal dan satu selamat, merupakan tim pemberkasan. Bukan merupakan tim pemukul, mereka memang memiliki senjata. Namun, tugasnya melakukan penyidikan. ”Memeriksa terduga teroris,” ungkapnya.
Selanjutnya, Polri akan berupaya mencari lokasi untuk rutan baru yang memang cocok menjadi rutan dengan maximum security. Hal tersebut cukup urgent untuk segera direalisasikan. ”Saya akan meminta bantuan Menteri keuangan,” ujarnya.
Terkait keluarga lima korban personal Polri, Tito mengaku akan berbuat lebih pada keluarga korban. Menurutnya, bersama dengan istrinya akan mendatangi satu per satu keluarga korban. ”Mereka anak-anak Saya,” jelasnya.
Menurutnya, anak korban akan diperhatikan hingga besar. Dalam segi pendidikan hingga semunya akan menjadi tanggung jawab Kapolri. ”Saya yang tangani,” terang jenderal berbintang empat tersebut
Sementara itu, pengamat terorisme M. Jibriel Abdul Rahman menuturkan, kondisi di dalam rutan sebenarnya cukup baik. Namun, tentunya ada beberapa Hal yang perlu menjadi catatan. ”Khususnya memperlakukan tahanan dan napi dengan baik,” jelasnya.
Dia mengaku mengenal salah seorang korban. Yakni Briptu Syukron Fadhli. Menurutnya pria yang pernah setahun ditahan di Rutan Mako Brimob itu, Syukron adalah polisi yang rajin ibadah. ”Saya tau benar dia kuat ibadahnya,” paparnya.
Kepada tahanan perlakuannya juga relatif baik. Walau pernah makanan dari kiriman keluarga ditendang olehnya. ”Pernah sekali makanan saya waktu di sana ditendang. Tapi, saya yakin itu karena dia sedang ada masalah. Setelahnya dia biasa membolehkan makanan keluarga untuk saya,” ujarnya.
Di sisi lain, Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM) Achmad Michdan menilai kerusuhan yang terjadi di Rutan Mako Brimob adalah akumulasi kemarahan para napi. Selama ini, menurut Michdan, banyak perlakuan petugas yang dianggap tidak manusiawi.
Terkait insiden makanan, menurut Michdan memang sudah tradisi setiap menjelang bulan Ramadhan, keluarga para napi membawakan makanan dari rumah. Makanan ini amat dinantikan oleh para napi. Pasalnya, makanan yang diberikan oleh pihak rutan, menurut Michdan sangat kurang. Baik dari nilai nutrisi maupun porsi.
“Biasanya setiap Ramadhan, mereka boleh bawa makanan, sekarang tidak boleh, harus diperiksa segala macam, mungkin sudah SOP-nya,” kata Michdan di Jakarta kemarin (10/5).
Menurut Michdan, hampir separo keluarga para napi biasanya berkunjung sebelum Ramadhan. Dia mengaku terakhir kali melakukan kontak dengan salah seorang klien-nya di dalam rutan pada selasa malam (8/5) malam sekitar pukul 20.30 WIB. Si klien yang tak disebut namanya oleh Michdan ini mengabarkan dari dalam penjara melalui telepon.
“Katanya ia dengar suara tembakan, pak ada korban,” tutur Michdan.
Meski demikian, Michdan menyebut makanan bukan faktor satu-satunya. Banyak perlakukan petugas yang tidak disukai para napi. Mulai dari proses penangkapan, penahanan, sampai pengadilan. “Mestinya tangkap saja baik-baik,” kata Michdan
Belum lagi perlakuan yang diterima oleh keluarga napi. Misalnya untuk menjenguk, istri para napi tersebut harus membuka baju terlebih dahulu sebagai bagian dari proses pemeriksaan. Meskipun yang melakukan proses ini sesama wanita (polwan). Hal ini tetap saja menimbulkan kemarahan saat sang istri bercerita pada suaminya.
“Secara Islam, itu sangat melanggar privasi,” kata Michdan.
Selain itu, Michdan menyebut, banyak dari napi yang statusnya masih dalam proses penuntutan perkara, namun mereka tidak mendapatkan haknya untuk didampingi tim kuasa hukum secara memadai. (Jawa Pos/JPG)