Jiwa Terbelah

Oleh : Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Dia tidak pernah masuk SD atau SMP. Tidak juga SMA. Umur 17 tahun baru merasakan bangku sekolah. Tapi langsung bangku kuliah. Sempat terputus-putus. Tidak kuat bayar uang kuliah. Dan uang pondokan.
Orang tuanya tidak mau membiayai. Dikira umurnya sudah 18 tahun. Dosennya menawari bantuan uang. Sang dosen sungguh menyayangkan kalau dia putus kuliah. Dia tidak mau menerima bantuan. Dia pilih putus kuliah. Bekerja sebagai pelayan toko. Untuk cari biaya kuliah. Merangkap pembantu rumah tangga. Lalu kuliah lagi. Putus lagi. Kuliah lagi. Akhirnya dia lulus S1. Dengan nilai terbaik di universitasnya. Dua tahun kemudian meraih gelar doktor. Di universitas terbaik dunia.
Nama gadis ini Tara. Lengkapnya: Tara Westover.
Tara Westover (irishtimes.com)
Ayahnya sangat ‘Amerika’ dan ‘sangat fanatik’.
Tara tidak boleh sekolah. Sekolah itu hanya alat cuci otak pemerintah.
Kalau Tara sakit tidak boleh ke dokter. Dokter itu setan. Hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan orang sakit. Lantaran sakit itu bagian dari rencana Tuhan.
Pak Westover punya anak tujuh. Tara adalah anak bungsu. Setiap hari makan malam harus bersama. Sehabis makan malam Pak Westover melakukan pengajian. Semua anaknya harus ikut. Pak Westover membuka Al Kitab. Membacakan ayat-ayat yang ada di dalamnya. Sampai dua jam.
Itu belum cukup. Setelah itu Pak Westover masih mendoktrin anak-anaknya. Tentang surga. Tentang dosa. Tentang neraka.
Bercelana pendek adalah dosa: memperlihatkan kaki dan paha. Pakai make up juga dosa.
Anak-anak itu harus sekolah dari kehidupan. Harus mandiri. Tidak boleh menerima bantuan dari siapa pun. Termasuk dari pemerintah. Menerima bantuan itu seperti menjual kemerdekaan.
Sekeluarga harus kerja keras. Anak laki-laki harus bekerja pada ayahnya. Di ladang yang luas. Begitu bekerja ayahnya memberikan gaji. Sebaliknya orang tua juga tidak mau lagi memikirkan biaya hidup anaknya.
Sang ibu menjadi dukun bayi. Di kota kecil itu semua sama: melahirkan dibantumidwife. Dukun bayi. Tidak ada yang melahirkan di rumah sakit. Lahir dan mati adalah urusan Tuhan.
Kita ini seperti membicarakan keadaan zaman dulu di negara terbelakang. Padahal yang saya tulis ini kejadian sudah tahun 2000-an. Sudah masa kini. Yang di Indonesia pun kita sudah mengenal wifi.
Dan itu terjadi di negara modern Amerika. Di pedalaman Amerika. Di pegunungan negara bagian Idaho.
Sang ibu juga mengolah hasil pertanian. Membuat minyak dari biji-bijian. Dijual sebagai obat herbal.
Obat dari dokter, menurut prinsip mereka, adalah racun. Yang akan mengendap di tubuh secara permanen. Dan karena itu dosa.
Ada doktrin lain lagi: waspadalah kalau ada pegawai pemerintah datang ke kampung ini. Ayahnya selalu menakut-nakuti semua anaknya. Kalau ada petugas pemerintah yang datang, anak-anak harus sembunyi di rumah. Di ruang bawah tanah. Semua lampu dimatikan. Tidak boleh ada suara. Tidak boleh bercakap-cakap. Batuk pun tidak boleh.
Kalau ketahuan kamu akan ditembak. Mati. Mereka akan memaksa kalian untuk sekolah.
Pak Westover selalu menceritakan contoh nyata. Kejadian di kampung itu. Seorang anak ketahuan tidak sekolah. Ketika didatangi anak itu lari. Lalu ditembak. Kakaknya, yang ingin menolong, juga ditembak. Mati. Ibunya lari ke arah anaknya yang berlumur darah. Juga ditembak. Semua mati.
Anak-anak Pak Westover sangat ngeri mendengar semua itu: dosa, neraka, ditembak.
Tugas anak-anak perempuan adalah di dapur. Membantu pekerjaan ibu. Kalau sudah umur 15 atau 16 atau 17 dikawinkan. Menjadi ibu. Yang sudah tahu tugas seorang ibu.
Tiap hari ayahnya selalu marah. Selalu ada yang salah. Selalu ada pekerjaan yang tidak cepat selesai. Malas sedikit pasti dimarahi. Tidak rajin kerja dimarahi.
Mereka harus bisa menabung bahan makanan yang cukup. Juga bahan bakar. Bukan saja untuk menghadapi musim salju yang panjang. Juga untuk menghadapi hari yang sangat dahsyat: hari kiamat.
Hari kiamat itu sudah dekat. Yakni tanggal 1 Januari tahun 2000. Yang saat itu populer dengan sebutan Y2K.
Kian dekat dengan Y2K sang ayah kian menggencarkan ancamannya. Tidak hanya kepada anak-anaknya. Tapi juga kepada tetangganya. Kepada siapa saja yang ia temui. Kiamat sudah dekat.
Sang ibu tidak sekeras sang ayah. Tara melihat celah-celah kosong. Yakni di pagi hari sampai siang. Saat ayah dan saudara laki-lakinya bekerja di ladang. Di gunung.
Saat umur 11 tahun Tara memberanikan diri naik sepeda. Sejauh 1 mil. Dia ingin mendapat uang sendiri. Seperti kakak-kakak lakinya. Dengan bekerja di toko grosir kota itu.
Suatu saat pemilik toko akan pergi jauh. Dilihatnya Tara bisa dipercaya. Dan akan mampu menjaga toko itu.
Tara pun diajari cara mengadministrasikan penjualan. Diajari pula membuka komputer. Mengirim email. Dan browsing.
Tara juga dipinjami HP. Agar pemilik toko bisa mengontrol Tara setiap saat.
Umurnya menjadi 12 tahun. Mulai mengenal komputer. Juga mulai punya tabungan.
Saat Tara berumur 15 tahun kakak sulungnya sudah berumah tangga. Tinggal di kota lain. Hidupnya sudah bercampur dengan masyarakat modern.
Sang kakak menyarankan Tara untuk sekolah. Keluar dari tradisi keluarga.
Tentu Tara mau. Ia sering membayangkan bagaimana rasanya sekolah. Bagaimana pula merasakan punya teman.
Tapi apa mungkin?
Sang kakak menyarankan Tara belajar matematika. Dari buku. Lalu membuka website universitas. Untuk mempelajari tata-cara ikut ujian masuk.
Di sela-sela jualan Tara browsing di komputer. Dia temukan formulir ujian masuk. Tapi ia tidak paham di dua mata pelajaran: matematika dan bahasa Inggris.
Tara terus berupaya bisa menjawab. Tanya ibunya. Yang ternyata dulu pernah sekolah. Sebelum kawin dengan Westover. Dia kawin umur 15 tahun. Punya anak umur 16 tahun.
Tapi sang ibu sudah lupa. Keduanya terus mengutak-atik pertanyaan matematika itu. Tapi jawabnya selalu salah.
Tara tidak bisa bertanya pada kakak-kakaknya: tidak ada yang sekolah. Bahkan kakak-kakak lakinya itu seperti ayahnya. Selalu ikut mengontrol kehidupan Tara.
Suatu saat ketahuan. Tara  mencoba menggunakan lipstik. Di hajar habis. Hampir saja Tara mati. Kakaknya menganggap Tara berbuat dosa besar. Sampai wajahnya ditenggelamkan ke air di dalam toilet. Tidak bisa bernafas.
Kuatnya tekad Tara membuat dia berani merayu ayahnya. Dengan resiko akan diusut dan dimarahi. Tara merasa ayahnya pasti tahu hitungan matematika. Dia lihat ayahnya selalu mengutak-atik peralatan. Sampai menghitung detil. Misalnya saat sang ayah membuat senjata. Dan memproduksi peluru. Di ruang bawah tanah. Untuk melawan kalau ada petugas pajak datang. Dia tidak mau membayar pajak. Tidak ada peranan pemerintah pada hidupnya. Sedang tanah di situ ia peroleh dari Tuhan.
Tara berhasil. Sang ayah tahu jawabnya. Tapi tidak tahu caranya bagaimana bisa sampai pada jawaban itu. Sang ayah pun naik pitam. Marah besar. Pada istrinya. Mengapa tidak bisa mengajari Tara hal seperti itu.
Setelah merasa bisa Tara memasukkan kertas ujian itu lewat email. Dapat nilai 27. Gagal masuk sekolah. Nilai terendah yang diterima adalah 28.
Tara terus belajar sendiri. Tahun berikutnya ia masukkan kertas ujian. Dapat nilai 80. Tara diterima.
Yang sulit adalah: bagaimana cara memberitahu ayahnya. Bagaimana bisa mendapat izin sekolah. Asumsi awalnya: pasti tidak diizinkan. Dan memang tidak diizinkan. Bahkan mendapat marah.
Tara juga curi-curi ikut latihan tari. Di sebelah gereja. Tempatnya selalu ikut sekolah Minggu.
Tapi Tara tidak berani pakai baju tari. Dosa. Juga memang tidak punya. Padahal dia punya bakat.
Dari latihan tari itulah Tara ikut paduan suara gereja. Di situlah ayahnya tahu: Tara membuat dadanya bangga. Anaknya tampil di grup nyanyi gereja.
Lalu Tara mendapat tawaran menjadi penyanyi di paduan suara tingkat kota. Dia menjadi penyanyi solonya. Dia pun terpilih saat akan ada acara besar. Tapi harus latihan lebih intensif. Berarti harus sering meninggalkan rumah. Kadang malam hari. Tidak mungkin. Tidak akan diizinkan.
Setelah berbagai rayuan akhirnya ayahnya mengizinkan. Harus didampingi sang ibu. Ibunya juga kesenangan.
Waktu tiba hari pementasan sang ayah ternyata ingin menyaksikan. Diam-diam. Tahu-tahu sang ayah antre di loket karcis. Duduk di deretan kursi paling depan pula.
Saat Tara tampil di panggung matanya sering curi-curi wajah ayahnya. Tapi suara Tara memang hebat. Selesai pertunjukan Tara sudah siap akan diapakan saja oleh ayahnya. Ternyata ayahnya memujinya. Merangkulnya. Dan memberikan beberapa saran.
Tahun berikutnya, saat Tara umur 17 tahun, dia berani kan minta izin ayahnya: sekolah. Reaksi pertama sang ayah sangat marah. Dianggap akan melawan Tuhan. Akan menjadi kafir. Akan menjadi sosialis.
Tapi akhirnya sang ayah mengizinkan. Hanya saja sang ayah tidak akan memberi uang sepeser pun. Ayahnya mengira umur Tara sudah 18 tahun. Sudah di luar tanggungjawabnya. Tapi Tara tidak risau. Dia punya tabungan dari kerja diam-diamnya.
Waktu wisuda ayahnya tidak mau datang. Padahal anaknya juara. Sang ayah melihat anaknya sudah tersesat terlalu jauh.
Waktu Tara mendapat beasiswa ke Inggris ayahnya semakin no hope. Leluhurnya dulu meninggalkan Eropa untuk menghindari dosa. Kok malah anaknya akan sekolah di pusat dosa.
Padahal beasiswa itu dari universitas terbaik di dunia: Cambridge University. London.
Tara sendiri juga tidak bisa berangkat. Tidak punya paspor. Untuk bikin paspor harus ada akta kelahiran. Akhirnya bibinyalah (adik ibu) yang bersumpah di pengadilan. Bahwa Tara lahir pada tanggal itu. Satu tanggal yang Tara sendiri yang menentukan.
Saat tiba di Cambridge, Tara menjadi anak kampung satu-satunya di kampus dunia itu. Termasuk Tara tidak punya baju untuk dansa. Atau untuk jamuan makan. Tapi dia tidak peduli. Jiwa mandirinya sangat kuat.
Saat diminta membuat karya tulis pertama, guru besar di sana terpana: belum pernah ada calon mahasiswa S2 yang punya karya tulis sebagus Tara.
Beasiswa itu berlanjut ke tingkat doktor. Itu setelah tim guru besar Cambridge menyatakan karya tulis Tara untuk lulus master sudah menyamai disertasi doktor. Pun doktor itu boleh diambil di Cambridge atau Harvard, Boston.
Tara memutuskan tetap di Cambridge. Hanya saja dia juga mengambil di Harvard selama enam bulan.
Suatu saat ayahnya datang ke Boston. Bersama ibunya. Tidak mau di hotel. Ingin tidur sekamar di asrama Tara. Sang ayah tidur di ranjang. Sang ibu di kursi. Tara sendiri di lantai. Tanpa kasur.
Tidur bersama itu ternyata sengaja dilakukan sang ayah. Sebagai cara paling intensif. Untuk menginsyafkan Tara. Agar bisa kembali ke jalan iman.
Setelah seminggu di Boston sang ayah kehabisan harapan. Tara sudah terlalu jauh tersesat. Sang ayah pulang dengan penuh kekecewaan.
Tara akhirnya meraih gelar doktor. Di umurnya yang 27 tahun. Dengan disertasi tentang filsafat sejarah. Terkait dengan Gereja Mormon dalam sejarah. Disertasi pertama di bidangnya. Judulnya: The Family, Morality, and Social Science in Anglo American Cooperative Thought, 1813-1890. Tahun 2014 itu dia bergelar doktor.
Kisah hidupnya itu dia tulis di buku pertamanya. Semua. Dalam sebuah buku tebal. Buku baru. Berjudul ‘Educated’. Yang baru selesai saya baca.
Tidak ada yang disembunyikan Tara. Sangat detil. Penuh warna. Termasuk warna kehidupan sehari-hari keluarga Westover. Sejak masa kecilnya. Dengan konflik-konfliknya. Dengan darahnya. Dengan air matanya.
Sudah lebih tiga tahun Tara tidak bertemu ayahnya. Tidak mau pulang ke Idaho. Terakhir dia pulang untuk melepas rindu pada kampungnya. Pada pegunungan Buck Peak. Pada tempat-tempat kecilnya: gereja, latihan tari, kudanya dan tempat tampil di paduan suara. Dan musim saljunya. Dia tidak mampir ke rumahnya. Hanya lewat di depannya.
Dia sendiri mengaku mengalami gejala kejiwaan: jiwa terbelah. Jiwa yang ganda. Di dalamnya ada pribadi Tara dewasa. Tapi juga terus hidup Tara yang lain. Tara masa remaja. Masa pemberontakan. Sampai kepalanya dibenamkan ke air di dalam toilet.
Gejala kejiwaan itu pula yang dialami ayahnya. Dalam derajat yang sangat tinggi. Juga kakaknya.
Ini penting untuk kita. Bagaimana parenting. Bagaimana dewasa dalam keluarga. Dan bagaimana menangani kalangan ekstrim dengan ilmu pengetahuan. Bukan dengan kekerasan.
Saya tidak bisa membayangkan reaksi sang ayah. Kalau membaca buku ini. Di hari tuanya. Di pegunungan Idaho.
Yang aliran gereja Mormonnya sangat konservatif. Lebih konservatif dari pusat Mormon di Salt Lake City. Yang memiliki universitas terkemuka: Brigham Young University (BYU). Tempat Tara pertama merasakan sekolah dulu.
Sayang saya tidak ada jadwal lewat Idaho. Saya sudah menjelajah kawasan itu dua tahun lalu.
Tapi saya tetap ingin ke sana lagi. Sekali lagi. Siapa tahu bisa ketemu Pak Westover. Kapan-kapan.(Dahlan Iskan)