Jenazah Korban Sulit Diidentifikasi

Tragedi Lion Air Lebih Parah dari Air Asia

Ilustrasi.NET

eQuator.co.idJAKARTA-RK. Proses identifikasi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 berada di tingkat kesulitan yang tinggi. Hingga kemarin (1/11) Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri belum bisa menambah jumlah korban yang teridentifikasi.

Bagian tubuh korban yang ditemukan belum representatif untuk diidentifikasi menggunakan metode struktur gigi dan sidik jari. Kondisi itu menuntun pada betapa parahnya tubrukan atau crash yang terjadi pada pesawat Lion Air JT 610. Bahkan, diprediksi crash yang terjadi pada Lion Air JT 610 lebih dahsyat dibanding pesawat Air Asia QZ 8501 yang jatuh di Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan.

Kepala Bidang DVI Polri Kombespol Lisda Cancer menuturkan, jenasah korban yang berupa body part atau bagian tubuh hanya memungkinkan penggunaan metode tes DNA. Artinya, body part yang ada memang tidak ada bagian gigi dan sidik jari. ”Ini yang terjadi,” jelasnya.

Bahkan, secara wujud body part yang diterima tim DVI ini hanya bagian-bagian kecil. Seperti, kulit, daging atau tulang. Bila dibandingkan dengan kondisi jenasah korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501 yang jatuh 2014 lalu, kondisi jenazah korban jatuhnya Lion Air lebih parah. ”Saat Air Asia, masih banyak jenasah yang utuh. Tapi, Lion Air ini jenasah korban sama sekali tidak ada yang utuh,” tuturnya.

Namun begitu, dia tidak bisa menyimpulkan apakah kondisi ini terjadi karena parahnya crash yang terjadi pada Lion Air JT 610. ”Apa yang menyebabkan, saya tidak bisa menyimpulkan. Nanti itu berhubungan dengan kewenangan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT),” ungkapnya.

Sementara Mantan Direktur Eksekutif DVI Kombespol (Purn) Anton Castilani menuturkan bahwa kondisi jenasah korban sebuah kecelakaan itu berbanding lurus dengan parahnya tubrukan yang terjadi dalam kecelakaan tersebut. ”Semakin rusak semakin tinggi dahsyat kecelakaannya,” jelasnya.

Kemungkinan hal itu terjadi karena gaya sentrifugal atau percepatan yang terjadi pada pesawat Lion Air JT 610 lebih besar. ”Tapi, untuk mengetahui bagaimana kecelakaan tentunya perlu kerjasama antara DVI dengan KNKT dan lainnya,” ujarnya.

Sebenarnya, mengetahui betapa parahnya kecelakaan berdasarkan kondisi jenasah ini bisa dilakukan. Namun, selama ini belum pernah dilakukan secara riil. ”Sebab, biasanya ini untuk kepentingan perusahaan pembuat pesawat, dalam konteks perbaikan desain agar lebih aman,” paparnya.

Dia menuturkan, kejadian kecelakaan ini memberikan kesadaran betapa pentingnya data antemortem bagi penumpang pesawat. Bila tidak bisa sepenuhnya untuk penumpang, setidaknya perlu untuk membuat regulasi mewajibkan data antemortem bagi yang berprofesi high risk, seperti TNI, Polri atau pegawai yang pekerjaannya memiliki potensi kecelakaan. ”Perlu data base antemortem agar saat terjadi sesuatu, tidak kesulitan lagi mencari antemortem,” jelasnya.

Sementara Wakarumkit RS Polri Kombespol Haryanto menjelaskan bahwa dari 189 korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610, baru didapatkan 152 sample DNA hingga kemarin. Dengan begitu, masih ada 37 keluarga penumpang yang belum bisa diambil sample DNA-nya. ”Ini kemungkinan karena dua sebab,” ujarnya.

Pertama, lanjutnya, dikarenakan satu keluarga menjadi korban di pesawat Lion Air JT 610 dan kedua, keluarga yang bisa diambil sample DNA tidak datang. ”Data dari tim Antemortem itu setidaknya ada dua keluarga, yang semua keluarga inti menjadi korban. dari ayah ibu dan anak,” tuturnya.

Satu keluarga berisi empat orang dan satu keluarga lainnya berisi tiga orang. Total, ada tujuh orang dari dua keluarga yang menjadi korban. ”Kami masih berupaya,” papar polisi dengan tiga melati di pundaknya tersebut.

FDR Sudah Diangkat

Satu dari dua black box pesawat Lion Air PK LQP sudah ditemukan pagi kemarin (1/11). Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto menduga kuat kotak hitam yang sebenarnya berwarna orange itu adalah Flight Data Recorder (FDR).

Isinya data-data penerbangan seperti ketinggian, arah, dan kecepatan pesawat. FDR punya kapasitas merekam selama 25 jam dari penerbangan. Sehingga data penerbangan sebelumnya pun bisa terbaca dari FDR.

Selain FDR, ada pula Cocpit Voice Recorder (CVR) yang berisi rekaman percakapan pilot dengan copilot dan kru kabin, suara di kokpit, serta percakapan dengan petugas menara pengawas. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknlogi (BPPT) yang menemukan titik FDR dengan peralatan canggih di Kapal Baruna Jaya I itu yakin bisa mendeteksi pula lokasi CVR hari ini (2/11).

Sekitar pukul 18.20, FDR yang dimasukan ke dalam kotak khusus berisi air itu tiba di dermaga JICT oleh Kapal RIB Taifib. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, bersama Ketua KNKT Soerjanto, dan Kepala Balai Teknlogi Survei Kelautan BPPT M.

Ilyas menjelaskan temuan yang bisa menjadi petunjuk penyebab Lion Air penerbangangan Jakarta-Pangkal Pinang itu celaka. ”Semoga dengan diperolehnya FDR ini kami harapkan, kita bisa meneliti lebih jauh,” kata Menteri Budi.

Kepala KNKT Soerjanto menuturkan FDR yang ditemukan itu sudah lepas dari cangkang. Hanya menyisakan crash protection box yang berisi kartu memori. Nah di kartu itulah data-data penerbangan tersimpan. Sehingga bisa dianalisis untuk menemukan petunjuk utama penyebab kecelakaan pesawat Lion Air. Butuh waktu dua hingga tiga pekan untuk menganalisis data. Dia memastikan penyelidikan yang sepenuhnya di Indonesia itu akan independen.

”Tidak ada kaitannya  Airbus dengan ini ya. Kami menyelidikinya masalah kenapa kecelakaan ini ya independen,” tegas dia. Dia yakin bahwa benda yang dari kejauhan terlihat seperti tabung itu adalah FDR. Tapi, untuk memastikan perlu ada penelitian lebih lanjut di laboratorium.

Setiap pesawat terbang dilengkapi dua unit black box. Yakni flight data recorder (FDR) yang berada di kabin bagian belakang. Serta voice cockpit recorder (VCR) yang berada di kargo bagian belakang. Lantas black box Lion Air PK-LQP jenis apa yang berhasil ditemukan kemarin?

Sampai tadi malam KNKT belum bisa memastikannya. Investigator KNKT Ony Suryo Wibowo mengatakan, jenis black box baru diketahui setelah file di dalamnya berhasil diunduh. “Mohon doanya supaya black box satunya lagi bisa ditemukan,” katanya.

Ony menjelaskan KNKT memiliki waktu 30 hari sejak kecelakaan terjadi untuk menyusun preliminary report. Kemudian laporan awal tersebut akan disampaikan ke Kemenhub.

Dia menjelaskan preliminary report tersebut berisi data-data faktual. Seperti data cuaca, kronologi kejadian, kru yang terlibat, dan lainnya. “Belum ada data analisis penyebab kecelakaan,” katanya. Dia juga menegaskan data preliminary report akan disampaikan juga ke publik sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Pesawat Lion Air yang jatuh merupakan pesawat baru. Masih berusia 70 hari operasional. Dengan total jam terbang sekitar 800 jam atau sekitar 12 jam/hari. Lantas apakah durasi jam terbang per hari itu ideal atau layak?

Ony menegaskan tidak ada acuan kelayakannya jam terbang pesawat setiap harinya. Yang penting adalah perawatannya. Ketika ada komponen yang bermasalah, harus segera diperbaiki. “Sejujurnya mau berapa jam terserah. Yang penting operasinya sesuai prosedur,” katanya.

Dia lantas mengatakan bahwa proses download data black box sampai analisisnya dilakukan di Indonesia. Meskipun begitu tim dari National Transportation Safety Board (NTSB) dari Amerika, Boeing, Federal Aviation Federation (FAF), serta dari General Electronic telah tiba di KNKT untuk ikut melakukan koordinasi.

Dari black box yang berhasil ditemukan, terlihat bahwa benturan pesawat begitu keras. Sebab bagian black box terpisah menjadi dua. Padahal diantara keduanya merupakan satu rangkaian besi yang utuh. “Bisa dibayangkan. Besi saja sampai patah,” tutur dia.

Akibat benturan yang kuat sampai black box patah, ada kemungkinan bagian cangkang atau penyimpan memorinya rusak. Sehingga tidak bisa terbaca. Namun Ony menegaskan black box itu bukan satu-satunya instrumen bagi KNKT untuk melakukan investigasi. Data pergerakan pesawat melalui radar, catatan pengecekan pesawat, bahkan sampai puing pecahan pesawat juga bisa jadi instrumen investigasi.

Namun dia berharap bagian vital black box yang berhasil ditemukan tidak ada masalah. Kemudian bisa diunduh data di dalamnya. “Proses download sekitar dua jam,” pungkasnya.

Temuan black box oleh Kapal Baruna Jaya milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dibarengi deteksi cukup signifikan dari KRI Rigel 933. Kamis (1/11) kapal tersebut mendapati serpihan dalam jumlah banyak pada koordinat 05 48’ 46.42”S, 107 07’ 36.88”E di area pencarian. Serpihan itu memanjang seperti badan pesawat dengan panjang kurang lebih 30 meter. Hanya saja semuanya dalam bentuk pecahan.

Keterangan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair) Komando Armada I Kolonel Laut E. Monang Sitompul disela penyelaman kemarin siang. ”Di bawah itu memang ada bodi pesawat, panjang sampai 30 meter,” terang dia. Hanya saja temuan tersebut sudah tidak utuh. ”Hancur dia, seperti kulit jeruk sudah terbuka,” tambah perwira menengah TNI AL yang biasa dipanggil Monang itu.

Pasca KRI Rigel 933 menemukan objek tersebut, 25 penyelam Dislambair yang sejak hari pertama pencarian sudah berada di atas kapal milik Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal) langsung turun tangan. Dijemput Landing Craft Unit (LCU) 2 KRI Banda Aceh 593, mereka mulai menyelam sekitar pukul 09.45 kemarin. ”Ada 25 orang itu menyelam semua,” ungkap Monang.

Dalam penyelaman kemarin, mereka turut membawa kamera bawah air untuk merekam objek di dasar laut. Menurut Monang, semua penyelam Dislambair Komando Armada I masuk sampai kedalaman 30 meter. Dari sana mereka melihat serpihan tersebut. ”Banyak sekali di situ. Potongan-potongan itu memanjang,” terang dia. Namun demikian, tidak ada serpihan berukuran besar. Semua sudah tercerai berai menjadi ukuran kecil.

Dirops Pushidrosal Kolonel Laut Haris Djoko Nugroho yang juga turun langsung dalam pencarian pesawat Lion Air JT 610 beregistrasi PK-LQP pun menyampaikan, KRI Rigel 933 memang menemukan objek di dasar laut yang kondisinya sudah terpecah. ”Jadi, ada mayat, ada puing-puing bagian belakang dari pesawat,” terang dia kemarin. Dia yakin betul akan temuan tersebut sebab temuan KRI Rigel 933 sudah dianalisa oleh timnya.

Karena itu, laporan tersebut juga disampaikan kepada Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) SAR Lion Air JT 610 Kolonel Laut Isswarto. ”Alhamdulillah hari ini (kemarin) ditemukan,” imbuhnya. Dia pun menunjukan langsung hasil temuan KRI Rigel 933 yang sudah diangkat oleh penyelam Dislambair Koarmada I ke permukaan laut. Meski belum seluruhnya, namun potongan pesawat yang ditunjukan Haris jauh lebih besar dari temuan sebelumnya.

Bersama potongan pesawat, juga turut ditunjukan temuan potongan tubuh dari jenazah korban yang diambil oleh penyelam dari dalam air. Berdasar pantauan Jawa Pos lokasi objek dalam air yang ditemukan KRI Rigel 933 tidak jauh dari lokasi temuan objek oleh Kapal Baruna Jaya. Lantaran black box sudah tidak pada tempatnya, bisa jadi alat rekam penerbangan itu terpental keluar saat kecelakaan JT 610 terjadi.

Menurut Isswarto lokasi temuan objek-objek itu tidak terlalu jauh dari koordinat awal hilang, jatuh, dan tenggelamnya JT 610. Jaraknya, sambung dia, sekitar 200 meter. ”Ke arah selatan,” ujarnya. Dia pun menyebutkan temuan bagian badan pesawat sudah tidak utuh. Hanya saja, tersebar berdekatan satu sama lain. Sehingga membentuk badan pesawat. ”Setelah diselami ternyata terpecah-pecah,” tambah dia.

Sampai kemarin, Isswarto menyebut, belum ditemukan badan pesawat berukuran besar. Namun demikian, Tim SAR Gabungan yang bertugas dalam pencarian JT 610 masih terus berusah mencari. Mereka ingin memastikan ada atau tidak jenazah penumpang yang masih terjebak dalam bodi utama pesawat . ”Dislambair juga masih bekerja di bawah air. Sehingga kita tunggu saja hasil seluruhnya. Semoga masih ada bagian yang lebih besar,” ujarnya.

Meski belum ada potong pesawat dalam ukuran besar yang ditemukan, Isswarto yakin betul temuan KRI Rigel 933 yang kemudian diselami oleh Dislambair Koarmada I adalah bagian dari badan JT 610. ”Sudah yakin bawa itu pesawat Lion (Air yang tenggelam di Perairan Karawang),” ungkap dia. Serupa dengan temuan bagian pesawat, petugas masih belum menemukan jenazah utuh. Semua temuan jenazah serupa hasil pencarian sebelumnya.

Ada bagian-bagian tubuh jenazah korban yang mereka temukan. Baik tangan, kaki, maupun bagian lainnya. Lebih lanjut, dia memastikan bahwa, temuan black box tidak lantas menghentikan pencarian jenazah korban. Tugas itu tetap dilanjutkan. ”Kami akan tetap mencari, tugas kami tetap harus menuntaskan pencarian terhadap puing maupun jenazah korban,” ungkap Isswarto.

Temuan Black Box

Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT M. Ilyas mengungkapkan sejak hari kedua pencarian atau Selasa (30/10) sebenarnya sinyal dari black box itu sudah diketahui. Tapi, para peneliti masih belum sepenuhnya yakin.

Hingga berulangkali dipastikan petugas di Kapal Baruna Jaya I yang membawa alat Multibeam Echosounder Hydrosweeps DS, Side Scan Sonar Edgetech 4125, G-882 Marine Magnetometer, dan Remote Operated Vehicle (ROV)-Seaeye 12196 Falcon.

”Sinyal itu dipastikan dengan Ping Locator milik KNKT Indonesia dan Singapura. Ada sumber frekuensi dari black box. Kami pastikan lagi dengan transponder,” kata Ilyas.

Caranya, menurut Ilyas, dengan mengirimkan sinyal berkekuatan 37,5 kilohertz sesuai dengan sinyal yang dimliki black box. Dengan alat penerima sinyal itu bisa dideteksi lokasinya dengan metode triangulasi data. Jadi, pengecekan dengan cara menembakan sinyal itu dari tiga lokasi berbeda. Titik lokasi itu lantas diberikan kepada penyelam dari TNI dan Basarnas.

Penyelam yang membawa ping locator milik KNKT mendeteksi ke area yang lebih kecil. Cara kerjanya semakin dekat dengan lokasi semakin terdengar suara ping. Hingga akhirnya Anggota Batalyon Intai Amfibi 1 Marinir Sertu Hendra Syahputra menemukan FDR di kedalaman 35 meter. Lokasi koordinat temuan itu di S 05 48 48.051 – E 107 07 37.622 dan koordinat S 05 48 46.545 – E 107 07 38. Temuan itu sekitar pukul 10.30.

Hari ini (2/11), tim dari BPPT masih punya pekerjaan besar untuk mencari VCR. Lokasinya sebenarnya sudah diketahui kemarin. Tapi, lokasi perkiraan itu berada sekitar 250 meter dari pipa pertamina. Sehingga kapal Baruna Jaya pun harus bergeser hingga 600 meter dari lokasi yang diduga VCR yang ditandai dengan inisial C 31 itu. Sesuai standart, kapal hanya boleh lego jangkar dengan jarak lebih dari 550 meter dari pipa.

”Sudah tidak terdengar lagi pingnya. Tidak terdekteksi kami punya kapal. Dan tadi juga turun dengan rubber boat, dengan ping loacater dan KNKT singapura dan Indonesia tidak ada bunyi,” ujarnya.

Sore kemarin ada penyelaman oleh anggota TNI dan Basarnas dengan membawa ping locater untuk mencari lokasi VCR. ”Mudah-mudahan mengetahui oh sudah ada bunyi. Berarti masih disitu,” kata Ilyas.

Strategi yang akan dilakukan tim di kapal BPPT itu hari ini dengan tetap menurunkan jangkar 600 meter dari pipa pertamina. Tapi, dengan ROV yang punya kabel sepanjang 1.200 meter itu bisa menjelajah ke lokasi tersebut. ”Bunyi ping tidak terdengar itu bisa jadi karena lumpur. Informasi dari penyelam lumpur bisa selutut,” ungkap dia. (Jawa Pos/JPG)