Jelang Pilkada 2020, Siapkan Tim Antihoax

Pola Hoax Politik Relatif Sama di Berbagai Negara

ilustrasi. net

eQuator.co.id – JAKARTA–RK. Penyelenggaraan pilkada serentak 2020, sebagaimana pemilu 2019, diprediksi belum bisa lepas dari hoax. Sejumlah langkah antisipastif dilakukan KPU, agar potensi penyebaran hoax di pilkada 2020 bisa ditekan. Salah satunya, membentuk satu tim kerja yang khusus untuk menanggulangi hoax terkait pelaksanaan pilkada.

Hal itu disampaikan Komisioner KPU Wahyu Setiawan saat forum Focus Group Discussion (FGD) tentang analisis hoax selama dan pascapemilu 2019 di KPU kemarin (20/8). Tim tersebut tidak diambil dari SDM KPU, melainkan merekrut SDM dari luar KPU. Bekerja sama dengan pemerintah, juga LSM yang konsen pada hoax.

Tugas utama tim tersebut adalah menangkal hoax dengan cara yang kreatif. Dimulai dari mengisi kekosongan informasi dengan konten menarik perhatian masyarakat. Di sini KPU menjalankan fungsi sosialisasi dan pendidikan politik jelang pilkada.

’’Tim itu juga harus mampu mendeteksi potensi hoax dan membersihkannya jika hoax itu terlanjur beredar ke masyarakat,’’ terangnya.

Ruang lingkupnya adalah penyelenggaraan pilkada secara keseluruhan. Misalnya ada paslon yang telah ditetapkan KPU kemudian diserang terkait persyaratan calon. tim tersebut akan ikut menangkal. ’’Hoax itu akan marak di tahapan pencalonan, kampanye, dan tahap hasil pemilihan,’’ lanjutnya.

Pembentukan tim tersebut sedang dibahas dan akan bekerja efektif bersamaan dengan dimulainya tahapan-tahapan pilkada 2020. Momen tersebut juga sebagai ajang orientasi dnegan tujuan akhir pemilu 2024. Dengan persiapan yang panjang diharapkan kerja tim tersebut bisa lebih maksimal.

Dalam penanganan hoax pilkada, tim akan berjejaring dengan KPU di Provinsi dan Kabupaten/Kota. ’’Pola hoax-nya mirip-mirip sebenarnya. Locus (lokasi)-nya yang berbeda, tapi temanya sama,’’ tambah mantan komisioner KPU Provinsi Jateng itu. Pihaknya sudah mulai memetakan tipikal-tipikal hoax selama pemilu dan akan digunakan untuk mengantisipasi pilkada.

Tipikal hoax yang serupa itu dibenarkan oleh Pakar Komunikasi politik Henry Subiakto. Dia menjelaskan, pola-pola hoax yang beredar selama pemilu tidak jauh berbeda dengan yang muncul pada pemilu Amerika Serikat pada 2016. Isunya mirip, namun lokasinya berbeda. Henry mencontohkan hoax tujuh kontainer surat suara tercoblos. Sebelum muncul pada 2 Januari lalu, hoax serupa sudah ada di momen pemilu AS.

Pada 30 September 2016, website Christian Times Newspaper (CTN) mempublikasikan hal serupa. Koran itu menyebut ada sekitar 10 ribu surat suara yang telah ditandai sebelumnya untuk Hillary Clinton ditemukan di sebuah gudang di Ohio. Lengkap dengan foto tumpukan boks kontainer berwarna hitam. Padahal, itu adalah foto yang diambil pada 2015 di Birmingham, Inggris.

Henry menuturkan, berdasarkan pengalaman di AS, serangan hoax paling sering menyasar empat golongan. Yakni, kalangan mayoritas, masyarakat perkotaan, masyarakat yang berpendidikan, serta mereka yang fanatik dalam beragama. ’’Di Amerika, hoax menyasar kelompok mayoritas yakni kulit putih dan umat kristiani,’’ tutur pria yang juga Staf Ahli Menkominfo itu. Diciptakan sentimen antiasing dan Islam. Slogan Make America White Again tidak lagi tabu untuk ditampilkan.

Begitu pula di Indonesia, sasarannya adalah kalangan Islam dan pribumi. Sehingga muncul narasi-narasi antiasing yang serupa. Masyarakat perkotaan dan berpendidikan juga sering terpapar hoax karena mereka relatif sulit lepas dari gadget. ’’Sementara yang di desa, mereka sibuk bekerja di sawah, kebun, berdagang, atau nelayan, sehingga tidak sempat terpapar,’’ terang dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya itu.

Pemilu AS dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) adalah bukti sahih kekuatan hoax dalam politik. Itu akan dicatat dalam sejarah. Terbukti, Brexit menjadi langkah yang disesali masyarakat Inggris. Tapi nasi sudah menjadi bubur. (Jawa Pos/JPG)