Jantung Bocor

Oleh Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Siapa tahu. Anda adalah anak muda. Yang tertarik beri pertolongan ini: bikin aplikasi. Untuk antrean operasi jantung BPJS. Atau operasi apa saja. Bahkan yang bukan operasi. Yang modern. Yang bisa diakses dari desa sekali pun.
Agar jangan lagi seperti sekarang. Seperti dia ini.

Perempuan ini merasa sangat terpaksa. Menghubungi saya dari HK. Dia TKI di sana. “Sepupu saya pinsan-pinsan terus. Sekarang ini juga lagi pinsan,” tulisnya dalam WA. Pekan lalu.

Dia kenal saya. Saya, duluuuu, memang sering ke Hongkong. Sering juga menghadiri forum yang mereka adakan.

Sepupunya itu tinggal di desa. Di pelosok Magetan. Di desa kelahiran saya. Namanya Ria. Berarti Ria sepupu saya juga.

Saya pun mendadak pulang ke Surabaya. Terutama setelah mendapat penjelasan tambahan: Ria sakit jantung. Jantungnya bocor. Dokterlah  yang mengatakan itu. Kepada Ria. Juga kepada sepupunya di Hongkong itu.

Saya pun membayangkan jangan-jangan Ria akan meninggal mendadak. Umurnya baru 26 tahun.

Saya belum bisa membedakan  mana sakit jantung yang berbahaya dan yang sangat berbahaya. Begitu dengar ‘pingsan-pingsan’ saya pun ikut panik.

Pengetahuan masyarakat umumnya mirip: sakit jantung itu bisa membuat penderitanya mendadak meninggal. Tidak membeda-bedakan jenis sakit jantungnya.

Sebenarnya Ria tidak ingin minta tolong saya. Dia dan suaminya bisa urus sendiri. Ria lulusan IKIP Madiun. Suaminya lulusan STM. Mereka sudah ke rumah sakit di Madiun. Beberapa kali. Tapi RSUD Madiun tidak memiliki fasilitas operasi jantung.

Dirujuklah ke RSUD DR Sutomo Surabaya. Mereka pun ke Surabaya. Tidak memberi tahu saya. Tidak mampir rumah saya. Di Surabaya Ria dilayani  dengan baik. Tapi memang harus dioperasi. Berbagai pemeriksaan tambahan harus dilakukan. Ria bolak-balik Magetan-Surabaya.

Tanggal 4 Maret lalu Ria mendapat nomor antrean: 154. Tidak ada gambaran kapan operasi bisa dilakukan. “Mungkin tiga bulan lagi. Antreannya panjang,” Itulah penjelasan yang dia terima.

Ria pun pulang ke desa lagi.

Dia terus menunggu tilpon dari rumah sakit Surabaya. Menunggu panggilan untuk  dioperasi. Yang dinanti tidak pernah datang.

Ria terus saja pingsan-pingsan. Suaminya membelikannya tabung oxygen. Setiap pingsan diberi oxygen. “Ini nyawanya dik Ria,” ujar Dani, sang suami. Sambil menunjuk tabung oxygen. Yang tiap tiga hari harus diisi.

Tentu Dani juga menelepon ke rumah sakit Surabaya. Beberapa kali. Jawabnya sama: belum ada jadwal operasi untuk Ria. Tunggu saja. Akan ditelpon.

Mereka tahu penerima telpon di Surabaya juga sangat sibuk. Mereka sudah bisa membayangkan betapa hiruk-pikuknya rumah sakit besar. Apalagi di bagian BPJS. Mungkin tidak ada waktu untuk menelepon. Mereka khawatir kelewatan giliran. Maka mereka pun kembali ke Surabaya. Jawabnya masih  sama: belum ada tanggal giliran.

Balik lagi ke desa.

Balik lagi pingsan-pingsan.

Hari itu pingsannya lebih lama. Lebih setengah jam. Keluarga panik. Lalu menghubungi saya. Saya pun memutuskan pulang ke Surabaya. “Sesekali menolong keluarga sendiri,” kata hati saya.

Kepada saya Ria menegaskan sikapnya. “Saya tidak mau menyerobot antrean,” ujar Ria. “Saya berdosa kalau yang saya serobot meninggal sebelum saya,” katanya.

Setuju.

Saya juga tidak punya niat menyerobot antrean. Saya akan carikan jalan lain. Dan yang utama saya harus tahu: seberapa serius problem jantungnya. Kok sudah pingsan-pingsan begitu lama masih bisa bertahan.

Saya pun bertemu dokter ahli jantung: Heroe Subroto. Yang keahlian utamanya adalah bedah jantung anak-anak. Rekornya: mengoperasi  jantung bayi berumur 3 minggu.

Dokter Heroe ingat saya. Ia pernah ke RS Tianjin. Untuk mempelajari transplant hati di sana. Bersama beberapa dokter lain dari Surabaya.

Setelah membaca berkas pemeriksaan RS Madiun dokter Heroe mengambil kertas. Untuk menggambar jantung.

Jantung Ria memang bocor. Antara bilik kiri dan bilik kanan.  Tapi penjelasannya itu membuat saya agak tenang. Saya berkesimpulan Ria tidak akan mati mendadak. Tidak seperti penderita serangan jantung.

Bocornya sekat itu membuat darah dari bilik satu mengalir ke bilik lain. Tapi karena perbedaan tekanan maka darah dari bilik kiri lah yang masuk ke bilik kanan.

Bilik kiri adalah bilik yang menerima darah yang sudah ‘dibersihkan’ dari paru-paru. Darah ‘bersih’ itu harus dipompa ke seluruh tubuh. Agar kita terus hidup. Pompa itu begitu kuat. Agar darah bisa sampai ke bagian terjauh dari jantung.

Pompa di bilik kanan tidak begitu kuat. Hanya memompa darah ‘kotor’ ke paru. Yang jaraknya dekat. Untuk ‘dibersihkan’ di paru.

Maka, ‘darah bersih’ – lah yang masuk ke bilik ‘darah kotor’. Darah ‘kotor’ tidak masuk ke bilik ‘darah bersih’ – – kalah tekanan itu tadi.

Tapi ada akibat lain: bilik kanan di jantung Ria membesar. Tidak kuat menerima tambahan darah. Pun tidak kuat menerima tambahan tekanan. Sebagian tekanan itu di transfer ke paru. Akibatnya fungsi paru terganggu.

Itulah yang membuat Ria sesak nafas. Lalu pingsan.

Penjelasan itu saya jelaskan ulang ke Ria. Dengan bahasa kampung saya. Ria juga kian tenang. Dia tahu sekarang: harus hemat oxygen. Tidak berjalan cepat, tidak naik tangga, tidak menjinjing sesuatu, tidak emosi dan tidak menggendong bayinya. Yang kini berumur tiga bulan.

Itulah yang harus dilakukan Ria. Sambil menunggu giliran dioperasi. Untuk menambal  bocornya itu.

Sebenarnya Ria sudah lama tahu: jantungnya bocor. Sejak kelas 1 SD. Tapi tidak pernah dilakukan tindakan apa-apa. Toh masih bisa sekolah. Masih bisa bermain. Dan lagi dari mana biaya untuk operasi. Orang tuanya ikut orang tuanya. Yang menempati rumah orang tua saya. Yakni rumah saya waktu kecil dulu.

Memang saat kecil itu sesekali Ria pinsan. Saat ikut upacara bendera di sekolah. Tapi selalu saja sembuh sendiri. Kian lama kian jarang pinsan. Teman-temannya menganggap pingsannya Ria itu biasa. Nanti kan siuman sendiri.

Setelah kawin Ria tidak segera sukses punya anak. Selalu keguguran. Dia sudah lupa kalau punya problem jantung. Suaminya juga tidak tahu kalau ia mengawini gadis berjantung bocor.

Saat hamil ketiga Ria lebih hati-hari. Alhamdulillah. Sampai janin berumur 7 minggu tidak keguguran. Tapi kian besar janinnya kian sesak dadanya. Mulai pingsan-pinsan lagi.

Hamil delapan bulan Ria sudah tidak kuat. Dia pun kaget: kok bayinya berhenti bergerak.

Dokter kandungan memutuskan operasi cesar. Selamat. Lahir bayi laki-laki seberat 2,1 kg. Tanpa tangisan. Tanpa gerak. Langsung dimasukkan perawatan khusus.

“Telat sedikit anak itu meninggal. Ibunya juga,” ujar dokter seperti yang diingat Ria.

Alhamdulillah.

Tapi Ria pingsan-pingsan terus. Sampai dokter memutuskan untuk harus operasi jantung. Dan harus antre panjang itu.

Tentu Ria bukan satu-satunya kasus.

Yang membuat dia selalu was-was adalah pertanyaan ini: apakah akan meninggal sebelum dapat giliran operasi. Dan kapan jadwal itu.

Was-was itu sebenarnya tidak perlu kalau ada aplikasi sistem antre operasi jantung BPJS. Yang bisa diakses pasien. Kalau perlu bisa lewat HP.

Ria pun kini sudah lebih tenang dan sabar.

Sampai sekarang Ria belum pernah merasakan menggendong bayinya. Juga belum pernah menyusuinya. Kalau kangen dia duduk. Lalu memangku si bayi. Tidak bisa lama. (Dahlan Iskan)