Jangan Takut Beli Ikat Pinggang

Oleh: Dahlan Iskan

Ilustrasi Ikat Pinggang

eQuator.co.id – Beredar luas. Di kalangan pengusaha. Lewat media sosial. Isinya: tawaran ikat pinggang.

Ekonomi lagi sulit. Dan masih akan sulit. Rupiah terus melemah. Inflasi akan terjadi. Bank mengetatkan pemberian kredit. Suku bunga akan tinggi. Buntutnya: akan ada PHK.

Anjurannya: berhematlah. Kendalikan pengeluaran. Jangan boros.

Siapkan uang yang cukup. Untuk jaga operasional perusahaan. Setidaknya untuk enam bulan.

Beri pengertian karyawan: untuk ikut berhemat. Agar jangan ada PHK. Bagi yang merencanakan proyek baru tunda dulu. Wait and see.

Anjuran seperti itu, yang beredar luas itu, sumbernya dari bank. Untuk mengingatkan nasabahnya. Agar waspada. Bank yang baik selalu menjaga nasabahnya. Saya setuju dengan anjuran seperti itu.

Turki, India, Iran dan banyak negara lagi sulit-sulitnya. Bahkan Iran sampai memecat dua menteri ekonominya. Dipecat oleh DPR-nya.

Kita juga lagi sulit. Jangan salahkan Sri Mulyani. Kalau kita tidak gagal di bidang ekspor, Sri Mulyani akan baik-baik saja. Kalau ambisi kita tidak berlebihan, semua akan baik-baik saja.

Tapi siapa mau all out menggalakkan ekspor? Politik, bagi mereka, lebih menggiurkan.

Apa boleh buat. Kita harus mengencangkan ikat pinggang. Siapa yang tidak mau ikat pinggang tanggung sendiri resikonya. Siapa yang belum punya ikat pinggang segeralah membelinya.

Saya sudah biasa mengencangkan ikat pinggang. Bagi pengusaha seumur saya, ini tidak baru.

Ikat pinggang pertama saya alami tahun 1988. Yang kedua di tahun 1998. Yang ketiga tahun 2008. Yang keempat tahun 2018 ini.

Terjadi tiap 10 tahun. Seperti ada mistiknya. Padahal tidak.

Saya masih ingat ikat pinggang pertama itu. Sumbernya: tight money policy. TMP. Begitu populer istilah TMP saat itu. Sedikit-sedikit beralasan TMP. Kebijakan uang ketat.

Kebijakan TMP bertujuan untuk mengendalikan inflasi. Ekonomi memang lagi ‘panas’ saat itu. Terlalu baik. Semua perusahaan ekspansi. Kalau tidak dikendalikan bisa ambruk.

Akibat TMP itu sulit sekali cari uang. Sulit cari kredit. Bunga bank 24 persen. Banyak yang di atas itu. Saya mengalami semua itu. Justru ketika baru 6 tahun terjun di bisnis. Yang seharusnya masih dalam tahap belajar bisnis.

Tapi pelajaran itu saya dapat: nenjalankan perusahaan dengan bunga 24 persen. Efisiensi kami lakukan habis-habisan. Bekerja lebih keras. Kami tidak pernah mengeluh. Tidak pernah minta tolong pemegang saham.

Kami berhasil lolos dari krisis. Bahkan lebih kokoh. Banyak perusahaan yang juga selamat. Juga lebih kuat.

Yang abai pada keadaan itu pada bangkrut. Ada yang kelak bisa bangkit lagi. Dengan susah payah. Banyak yang bangkrut selamanya.

Hal yang sama terjadi sepuluh tahun berikutnya. Lebih berat. Krismon itu. Tahun 1998 itu.

Saat itu kami sudah lebih kokoh. Berkat ujian di tahun 1988.

Tapi kami tidak lengah. Tetap kencangkan ikat pinggang. Ratusan ide, puluhan terobosan, penghematan, kerja lebih keras kami lakukan.

Karyawan pun saya larang beli baju baru. Tidak boleh pakai dasi. Ke kantor boleh pakai sandal. Mutasi besar-besaran dilakukan. Karyawan berkorban habis-habisan. Mau kerja apa saja. Termasuk di luar bidangnya.

Salah satu karyawan ganti bicara. Di rapat umum perusahaan. “Pak Dahlan juga harus berhemat. Tidak boleh lagi naik mercy,” katanya.

Saya ingat nama karyawan itu. Ia wartawan. Yang biasa kalem. Pendiam. Kali itu berani bicara begitu kepada bos besarnya. Di depan umum pula. Namanya akan abadi di hati saya: Budi Kristanto.

Saya pun spontan memutuskan. ”Sejak rapat ini saya tidak naik mercy,” kata saya saat itu.

Saya pilih naik Hyundai kecil. Bekas. Mercy dikandangkan. Dua tahun kemudian diketahui: mercy itu rusak. Tidak pernah dipanasi.

Tapi perusahaan lolos dari krisis. Menjadi sangat kokoh. Bahkan luar biasa kuat.

Ketika terjadi krisis lagi sepuluh tahun kemudian: sepele. Krisis di tahun 2008 tidak terasa apa-apa di perusahaan kami. Padahal begitu banyak perusahaan kelimpungan.

Saat terjadi krisis tahun ini saya sudah pensiun total. Tidak ikut merasakan. Tidak ikut mengalaminya. Tapi prinsipnya sama: Jangan takut ikat pinggang. Sepanjang tujuannya untuk kelangsungan perusahaan.

Ingat. Saya pernah tiga kali mengalaminya. Dengan bunga 24 persen. Bahkan pernah 29 persen.

Jangan mikir politik. Pikirkan perusahaan. Dan jaga karyawan Anda. (dis)